Besok …
Bagaimana jika "hari esok" yang kau alami ternyata berbeda dari semua definisi waktu yang pernah terlintas dalam pikiranmu?
.
.
Created by : jitan88 | 2013 |
Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto.
Semua nama tokoh dan lokasi yang tercantum tapi tidak terhubung dengan cerita Naruto yang sebenarnya adalah fiktif dari hasil pemikiran penulis.
Genre : Sci-Fi & Romance
Rating T, Alternate Universe, OOC, typo
.
.
Dalam kegelapan aku merasa dingin, tapi kedua kelopak mataku terlalu berat untuk terbuka. Sepertinya tubuhku kelelahan. Apa boleh buat, setelah kemarin menyelesaikan seluruh soal ujian akhir semester yang sulit itu, sel-sel otakku memang butuh istirahat. Ya, karena itulah aku berhak atas satu hari bebas untuk memanjakan diri. Kegiatan kuliahku tidak perlu dikhawatirkan, karena setelah melaksanakan ujian kemarin, sekarang kami tinggal menunggu hasil nilai dikirimkan melalui email. Bagus atau tidaknya prestasiku … yah, akan kupikirkan nanti. Pokoknya, hari ini sudah kuputuskan untuk hibernasi dari semua aktivitas. Aku mau bersantai di depan televisi dan menonton seharian!
Oh iya, ngomong-ngomong … kenapa hari ini dingin sekali ya? Padahal kemarin aku nyaris menelan semua persediaan es krim karena cuaca panas tak tertahankan, bahkan kukira seluruh daratan Jepang akan mengering karenanya. Hmm, apa-apaan sih dengan perubahan cuaca? Iklim panas seperti kemarin mana mungkin langsung berubah drastis dan sekarang justru turun hujan—lho tunggu, hujan?!
Benar juga … basah.
Titik-titik air itu terasa nyata, membasahi tubuhku yang masih kelelahan di atas tempat tidur. Ya ampun, ini gawat! Jangan bilang atap rumahku bocor dan kamar ini jadi salah satu korbannya? Wah, hari liburku bisa kacau kalau begini. Bukannya bersantai, sekarang aku harus menjemur kasur … oh, sungguh sial nasibku. Tapi tidak, tidak … masih ada kesempatan untuk menyelamatkan hari ini! Sebelum kebocorannya bertambah, aku harus segera bangun dan melihat seberapa parah keadaannya—lalu melakukan sesuatu—ya, semata-mata untuk menyelamatkan hari liburku yang berharga.
Yosh, saatnya bangun, Sakura!
.
Aku mengerjap, anehnya tubuhku benar-benar mati rasa. Semuanya kaku—ugh, apa ini karena efek samping dari soal ujian kemarin? Soal-soal itu terlalu sulit dan mungkinkah sampai membuat otakku kram? Sekali lagi aku mencoba bangun namun setiap inchi tubuhku tetap protes dan menolak untuk bergerak. Sayup-sayup aku mendengar suara dari kejauhan … seperti memanggilku. Lalu perlahan-lahan, aku merasa tubuhku seperti ditepuk oleh sesuatu.
"Hei, apa Nona … bisa mendengarku?"
Nona? Apa dia sedang memanggilku, ya?
Emerald yang setengah terbuka dan belum terfokus ini menangkap sebuah siluet … ada seseorang di sampingku.
Lelucon apa ini—siapa yang berani seenaknya masuk ke kamarku?!
.
"Bangunlah!"
Si-siapa dia?! Jujur saja, aku mulai ketakutan … karena seingatku tidak ada tamu yang bermalam di rumah, dan kedua orang tuaku pasti sudah lama berangkat kerja.
Intinya, seharusnya aku sendirian.
.
.
Mataku akhirnya terbuka dan menatap sesosok pria—yang sepertinya—berusia seumuran denganku, rambutnya dipotong pendek berwarna hitam, senada dengan iris matanya. Aku tidak mengenalnya sama sekali, bahkan tidak pernah melihatnya selama dua puluh dua tahun hidup di Tokyo. Kulitnya yang putih namun pucat itu bersentuhan dengan permukaan kulitku, perlahan ia membantuku duduk. Ia bertanya apa aku baik-baik saja, tapi kuabaikan karena penglihatanku lebih tertarik dengan pemandangan … yang seharusnya merupakan ruangan kamar tidurku. Secara spontan aku mengerutkan alis, kebingungan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan merasa ada kejanggalan yang terlihat begitu nyata.
Hal pertama yang kusadari setelah bangun tidur adalah; sepertinya aku masih bermimpi.
Aku dikelilingi genangan air keruh, tanahnya basah akibat hujan dan menjadi lengket seperti lumpur. Sudah kucoba mengerjapkan mata beberapa kali, mencubit tanganku sendiri sampai meringis nyeri … tapi semuanya tidak membantu. Aku benar-benar bingung sekarang, apa ini mimpi? Bukannya berada di rumah—tepatnya di atas tempat tidurku yang nyaman,—nyatanya aku duduk di sebuah, entahlah … semacam kotak peti aneh berukuran 2x1 meter yang penutupnya terbuka. Artinya, sejak tadi aku tertidur di atas sebuah peti, dalam pose terlentang dan terbujur kaku layaknya mumi, vampir, dan makhluk sejenis lainnya? Pantas saja seluruh tubuhku terasa kaku!
Sebenarnya apa yang terjadi?
.
"Nona, kau baik-baik saja?" tanya pria itu sekali lagi, sementara aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong, "Apa kau bisa mengerti apa yang kukatakan?"
Aku mengangguk pelan.
"Syukurlah," aku melihat ia tersenyum. Mengesampingkan semua rasa heran dalam benakku, pria ini ternyata memiliki eye-smile yang manis, "kalau boleh tahu … siapa namamu, Nona?"
"A-Aku … Sakura Haruno," suaraku terdengar serak, sepertinya aku butuh minum, "dan kau … siapa?"
"Namaku Sai, Nona Sakura. Kenapa Anda bisa berada di—ah, maaf. Pertama-tama … biar kubantu Anda berdiri dulu, daerah ini tidak aman." dengan sopan ia mengulurkan tangan untuk kuraih sebagai pegangan. Aku menurut begitu saja pada saran orang asing ini. Begitu menyambut uluran tangannya, dalam sekejap ia menarik tubuhku keluar dari kotak peti sempit itu dan aku bisa merasakan kedua kakiku telah menapaki tanah.
.
Lagi-lagi aku terhuyung, seluruh persendian kakiku terasa lemas seperti bayi yang baru belajar berjalan. Untungnya pria bernama Sai ini menahan bobot tubuhku yang kembali merosot hingga terduduk di atas tanah yang basah dan lembek. Aku termenung beberapa saat, terkejut dengan respon motorik yang seakan lumpuh. Seketika itu juga kulirik keadaan tubuhku, titik-titik hujan kini telah membasahi seluruh pakaian dan aku basah kuyup. Hmm … ternyata aku mengenakan kemeja lengan pendek berwarna kuning, skinny jeans hitam, dan sepatu kets kesayanganku. Lebih parahnya lagi, sepatu dan celanaku kotor karena aku jatuh dan akhirnya duduk di tanah berlumpur.
Huh, walau dilihat dari segi manapun … ini juga bukan pakaian untuk tidur, 'kan?
"Sebenarnya apa yang Nona lakukan di tempat ini?" Sai berjongkok dan menatapku dengan tatapan datar. Aku tidak menjawab apapun, hanya balas menatapnya, "Nona tahu daerah ini sangat rawan, pergerakan tanahnya labil dan mudah amblas. Sebaiknya kita segera pindah."
Aku yang sekarang benar-benar tampak seperti orang linglung, "I-Ini … sebenarnya dimana?"
"Saat ini kita berada di 72th Aomori Street, East Konoha." sedetik kemudian Sai menangkap raut wajahku yang berjengit tidak mengerti, "Apa Nona tersesat?"
Aku mengangguk.
Jelas-jelas aku tersesat, East Konoha itu ada di belahan bumi sebelah mana?!
"Nona Sakura berasal darimana?"
"Je-Jepang … aku dari Tokyo, Jepang." Jawabku pelan dan aku melihat ia menatapku dengan pandangan berkerut … seperti berhadapan dengan gadis gila.
.
.
.
HEGEMONY
CHAPTER 1 : NIGHTMARE
.
.
TAKA Corporation – Konoha
"Konoha kembali berduka. Salah satu putra kebanggaan bangsa; Kiba Inuzuka, dikabarkan baru saja menghembuskan napas terakhirnya setelah menjalani operasi. Menurut dokter Tsunade selaku Kepala Rumah Sakit Pusat Konoha, Kiba mengalami kecelakaan lalu lintas yang cukup parah. Ketika tiba di rumah sakit kondisinya sudah sangat lemah dan kehilangan banyak darah. Proses operasi tidak berjalan dengan maksimal karena kesadaran pasien semakin menurun. Saat ini ribuan rakyat menangisi kepergian salah satu dari…."
Layar monitor itu langsung padam ketika pria ini menjentikkan jari.
Ia melirik, sebuah gelang di pergelangan tangannya mengeluarkan cahaya berwarna kekuningan, berkedip dua kali. Dari dalam laci meja kerja ia menarik sebuah kotak hitam kecil dan menekan nomor kombinasinya, iris onyx-nya menatap tabung berisi cairan bening dan sebuah injektor. Jemarinya secara terampil memasang tabung pada injektor, lalu sedetik kemudian menyuntikkan benda tersebut pada tangannya sendiri. Hanya dalam waktu sepersekian detik, proses injeksi itu mengakibatkan perpindahan cairan dalam tabung kini masuk ke dalam aliran darahnya. Bersandar pada kursi kebesarannya yang nyaman, ia menghela napas dalam-dalam seraya memejamkan mata sejenak … sebelum terganggu oleh datangnya telepon masuk. Ia berdecak kesal.
.
"Ya, ada apa?" pria berambut raven ini menjawab panggilan tanpa membuka matanya, "Kau sudah menemukan tanda-tanda di sana?"
"Tidak. Tidak ada bukti apapun, Tuan," lawan bicaranya membalas, "tapi saya menemukan seorang wanita asing … sepertinya dia tersesat, dan saya berinisiatif untuk mempertemukannya dengan Tuan."
"Hn? Kau pikir kediamanku adalah tempat penampungan orang-orang hilang, Sai?" pria ini menggelengkan kepalanya, "Urus kepulangannya dan segera enyahkan dia dari rumahku."
"Maafkan kelancangan saya, tapi … sepertinya Tuan memang harus menemuinya. Saya tidak dapat mengatasi masalah ini karena keterbatasan data dari identitas wanita tersebut."
Satu alisnya terangkat.
"Apa maksudmu dengan keterbatasan data? Apakah identitasnya dilindungi protokol keamanan? Kau tahu kita punya akses untuk membukanya," tidak lagi memejamkan mata dan bersandar, pria itu kini berdiri dan berjalan menuju pintu keluar yang terbuka otomatis.
"Bukan, Tuan. Identitasnya sama sekali tidak terdeteksi … wanita ini mengatakan bahwa ia tidak berasal dari Konoha," suara Sai masih tertangkap jelas ketika ia menuruni beberapa anak tangga menuju sebuah ruangan penuh dengan kendaraan, "tapi dari Tokyo, Jepang."
Langkahnya terhenti beberapa saat.
"Aku akan pulang sekarang," ujarnya singkat. Ia merentangkan tangan kanan selama dua detik, dan dari arah seberang terdengar sebuah alarm mobil yang menyala; merespon sinyal milik pria ini. Duduk manis di jok kendaraannya yang nyaman, ia bergumam kecil, "sial, lagi-lagi waktu istirahatku akan terganggu."
.
.
.
Perjalanan dari East Konoha menuju kediaman Sai memakan waktu sekitar satu jam, dan jangan tanya bagaimana caranya aku bisa berada di dalam mobil ini. Setelah aku menyebut Jepang sebagai negara asal, Sai hanya diam dan memapah—maksudnya menggendong—tubuhku yang masih sulit digerakkan. Lalu ia seenaknya membawaku menuju mobilnya yang … futuristik. Seperti film bergaya futuristik ala Hollywood, benda yang disebut "mobil" ini peralatannya begitu modern. Kendaraan ini berjalan tanpa roda, bahkan melayang di udara dan melesat dengan kecepatan tinggi! Oh Tuhan … setengah perjalanan aku lalui dengan memejamkan mata. Ketakutan ketika alat transportasi ini terbang dan berselisipan dengan kendaraan lain yang sama-sama melayang. Mengerikan.
Tolong bangunkan aku dari mimpi ini … ya Tuhan, demi apapun … aku lebih merindukan monorel dan Shinkansen Jepang, sungguh!
"Kita sudah sampai, Nona Sakura," kata Sai dengan lembut, membuyarkan semua sumpah serapah yang kuucapkan dalam hati, "Tuan sedang berada dalam perjalanan pulang, sebaiknya Nona menunggu di dalam."
Aku menatap heran, Sai sendiri berbicara dan berbahasa sama denganku. Tapi kenapa dia menyebut … Konoha? Setahuku, dalam ilmu geografi tidak pernah ada "Konoha" sebagai salah satu nama negara.
Setelah Sai membantu melepaskan safety belt, pintu kendaraan ini otomatis terbuka ke atas … dan lagi-lagi aku takjub melihatnya. Saking takjubnya, aku tidak sanggup mengatakan apa-apa kecuali melongo. Sai menepuk pundakku, "Apa kaki Nona masih mati rasa? Sebentar, saya akan membantu—"
"Ah, ti-tidak perlu! Aku bisa, aku bisa jalan sendiri kok!" spontan aku menggelengkan kepala berulang kali, setengah panik. Mana mungkin aku membiarkan pria asing ini lagi-lagi menggendongku ala bridal style? Sadarlah Sakura Haruno, ini bukan saatnya membayangkan adegan romantis seperti yang sering kau lihat di film drama!
Aku memberanikan diri untuk menggerakkan kaki hingga menyentuh tanah dan ... yeah, aku berhasil berdiri! Sepertinya sensor motorik tubuhku sudah kembali, aku bisa merasakan kedua kaki ini kuat menopang bobotku sendiri.
.
Tepat di hadapanku telah menjulang sebuah bangunan mewah bergaya minimalis; kombinasi warna hitam dan putihnya membuatku merasa benar-benar seperti … berada di masa depan. Bangunannya modern dan megah, sudah pasti luas bangunannya berkali-kali lipat dari rumahku yang sederhana. Sai terdiam di depan gerbang masuk, ia hanya menunggu sampai kesadaranku kembali. Sadar kalau ia terus menatapku yang masih ternganga ketika melihat bangunan ini, aku mengangguk kikuk, berusaha menyembunyikan rona merah karena malu.
"Ayo, kita masuk ke dalam," sambil menjinjing ransel cokelat milikku, Sai tersenyum.
Oh iya, di peti hitam yang menjadi tempat tidurku sebelumnya juga terdapat sebuah ransel cokelat; itu tas yang biasa kugunakan ke kampus. Tapi belum sempat kubuka isinya karena Sai cepat-cepat mengambil tas itu lalu membawaku pergi dari sana.
Mengikuti langkah Sai, pupil emerald milikku terbelalak ketika menapaki isi rumah. Interior bangunan mewah dari kediaman ini tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Masih bergaya minimalis yang didominasi warna putih dan hitam, sebagian furniturnya berwarna coklat lembut. Warna kayunya mengesankan suasana hangat sekaligus mewah, disertai lampu-lampu yang menyala otomatis berdasarkan sensor gerak semakin membuatku berdecak kagum. Aku seperti berada di sebuah istana di dunia masa depan. Melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan besar dengan sofa panjang berwarna abu-abu, Sai mempersilahkan aku duduk dan menunggu.
.
Hanya pergi selama beberapa menit, pria itu akhirnya kembali dengan senyum manisnya.
"Selamat datang di Uchiha's Residence, Nona Sakura," ia membungkuk hormat lalu menaruh beberapa potong pakaian bersih di sofa, "pakaian Nona basah karena hujan, sebaiknya Nona segera mengeringkan diri sambil menunggu Tuan Uchiha kembali. Mari, saya antar menuju kamar ganti."
Aku mengangguk pasrah dan mengikutinya, menatap punggung pria ini dari belakang. Berbeda dengan penampilan sebelumnya, Sai telah mengganti pakaiannya dengan setelan hitam yang membalut rapi seluruh tubuhnya. Patut diakui, dia terlihat tampan; salah satu hal yang tidak kusadari ketika kami bertemu di East Konoha.
Kami tiba di sebuah ruangan yang terlihat seperti kamar mandi. Begitu Sai melangkahkan kaki ke dalam; lampu ruangan itu menyala, demikian juga lampu cermin yang berada tepat di seberang wastafel. Beberapa benda seperti shower dalam bilik mandi juga toilet masih tampak familiar, kecuali sebuah layar monitor yang terpasang di salah satu dinding ... aku tidak tahu apa fungsinya.
Oh, selain itu … ada satu hal yang mengganggu pikiranku; kenapa kamar mandi ini tidak berpintu?!
.
"Sai-san, eh—maaf, apa ruangan ini tidak memiliki pintu?"
"Pintu?" Sai malah balas bertanya, "Nona Sakura sudah melewati pintu utama tadi … ketika kita pertama kali masuk. Apa ada masalah?"
"Hah? I-Iya aku tahu pintu itu, tapi maksudku … pintu ruangan ini. Pintu yang membatasi ruang sebelah dengan kamar mandi," aku bahkan mengarahkan jari telunjuk sebagai bantuan, menunjuk ruangan luar dan kamar mandi ini, "semacam pelindung, sekat. Kenapa tidak ada?"
"Apa maksud Nona? Kami memang tidak lagi menggunakan pintu untuk menyekat ruangan, selain kamar tidur dan pintu gerbang depan. Ini salah satu keputusan dari para ahli arsitektur dan interior se-Konoha untuk meminimalisasi penggunaan material yang kurang dibutuhkan," Sai tetap tersenyum menanggapi raut wajahku yang benar-benar tak terkontrol karena keheranan. Pria ini membuka pintu bilik mandi yang terbuat dari kaca lalu menyalakan airnya, "Sebaiknya Nona Sakura segera bersiap-siap, Tuan Uchiha sebentar lagi tiba."
Aku berjengit keheranan namun Sai mengacuhkannya.
Jadi, apa ini artinya aku harus mandi tanpa tirai penutup atau pintu?
.
.
"Je-Jepang … aku dari Tokyo, Jepang."
Setelah mengatakannya, ia menatapku dengan pandangan berkerut … seperti berhadapan dengan gadis gila. Lho, memangnya jawabanku aneh, ya? Dia tampak menerawang beberapa saat sebelum akhirnya mengambil sebuah ransel cokelat dan memberikannya untukku. Tiba-tiba juga ia berinisiatif untuk mengangkat tubuhku dari permukaan tanah, membopong tubuhku tanpa kesulitan.
"He-Hei! Apa yang kau lakukan?!" sontak aku protes ketika ia tiba-tiba menggendong tubuhku dengan kedua tangannya, "Lepaskan aku!"
"Saya membantu Nona karena kesulitan berjalan, akan segera saya turunkan ketika kita sudah berada di mobil," Sai mulai berjalan santai melewati genangan air dan lumpur yang mengotori celana juga sepatunya, "kita harus menghindari tempat ini secepatnya, di sini daratannya mudah amblas."
Dia menatap lurus sementara aku pun ikut mengedarkan pandangan ke sekitar; kami seperti berada di sebuah kubangan yang penuh genangan air juga lumpur. Langit begitu mendung dan hujan tak henti-hentinya membasahi tubuh kami berdua, Sai menaiki anak-anak tangga kecil yang licin, dengan hati-hati ia membawaku ke sebuah benda aneh. Bentuknya seperti mobil mewah, hanya saja tidak memiliki roda.
"Benda apa itu? Kau … mau membawaku kemana?" Aku segera memalingkan wajah dan menatap lurus pada mata pria yang tengah menggendongku, "Aku ingin pulang ke Tokyo, tolong bantu aku!"
"Ini mobil," tanpa banyak penjelasan Sai sudah menaruhku di jok penumpang dan memasangkan sabuk pengaman sementara aku masih terperangah, "saya akan membawa Nona menuju kediamanku di pusat kota. Di sana ada seseorang yang bisa membantu menjelaskan masalah Nona."
Aku hanya mengangguk mengerti.
Ada yang bisa menolongku? Syukurlah …
.
.
Ayah … ibu, kalian ada di mana?
Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Semua yang kurasakan selama satu setengah jam terakhir ini bisa dibilang ajaib sekaligus mimpi buruk. Melalui penafsiran tak berdasar yang mampu terpikir olehku, sepertinya aku terdampar di sebuah negara bernama Konoha; yang namanya tidak pernah kudengar di benua manapun. Aku sendiri tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi ... atau bagaimana caranya aku bisa sampai di tempat ini. Namun satu hal yang pasti, aku harus mencari cara untuk pulang ke Jepang!
Sebisa mungkin aku menenangkan pikiran lewat bulir-bulir air yang mengaliri permukaan kulitku. Kalau memang ini semua bukan mimpi … maka aku harus tetap tenang. Berpikir positif adalah yang paling kau butuhkan saat ini, Sakura Haruno! Bisa saja 'kan ini hanya ulah salah satu program televisi yang suka mengerjai penonton, mungkin mereka sedang memasang candid camera—uh, KAMERA?! Kalau begitu ada kemungkinan tubuh polosku ini sedang direkam dan ditonton gratis?!
Menyebut kata "kamera" sukses membuat perasaanku bertambah kacau. Cepat-cepat aku keluar dari bilik mandi dan mengeringkan tubuh menggunakan handuk yang telah tersedia. Membelitkan handuk putih itu di sekitar tubuh, aku berjingkat kecil untuk mengambil pakaian. Entah bagaimana caranya, Sai menyiapkan pakaian yang ukurannya sangat pas untuk kukenakan. Aku tersenyum kecil menatap t-shirt berwarna putih dengan gambar buah ceri besar berwarna merah di tengah-tengahnya, rupanya cowok murah senyum itu cukup pandai memilih pakaian untukku.
Baru saja bersiap berpakaian, tiba-tiba aku seperti mendengar suara langkah kaki mendekat—
.
"Siapa kau?"
.
DEGG!
Tubuhku membatu mendengar suara pria asing.
Ada satu sosok pria yang bersandar tepat di dinding pembatas antara kamar mandi dan ruangan sebelah. Pria itu dengan tenang menyelipkan kedua tangan pada saku celana, seakan menikmati pemandangan saat dia … melihat tubuhku … yang hanya dibalut handuk?!
"Hn? Apa jangan-jangan kau wanita yang diceritakan Sai?" alisnya terangkat saat menatapku yang tengah pucat pasi, "Hei, kenapa kau—"
"KYAAAAAAA!" aku berteriak sekencang-kencangnya, lalu spontan melempari wajahnya dengan salah satu pakaian bersih yang kugenggam, "PERGI KAU, DASAR MESUM!"
.
.
.
"Bisa kau jelaskan kenapa nona pink ini bisa mandi di kamarku? Lalu dia juga melempari wajahku dengan pakaian, benar-benar tidak sopan. Apa penjelasanmu, Sai?" pria mesum ini bertanya dengan nada datar.
"HE-HEI! Kau yang tidak sopan! Seenaknya mengintip seorang cewek yang tidak berpakaian—"
"Pakaiannya basah dan seperti yang Tuan ketahui, kamar mandi yang bisa digunakan hanya ada satu," ucapan lembut Sai memotong emosiku yang meluap-luap. Menengahi atmosfir panas di antara kami berdua, Sai membungkuk hormat pada pria mesum itu, "Tuan, ini Nona Sakura Haruno yang saya ceritakan di telepon. Lalu … Nona Sakura, perkenalkan; beliau adalah Tuan Sasuke Uchiha, pemilik kediaman ini. Beliau-lah yang akan membantumu soal Jepang."
A-APA?! Aku shock mendengarnya.
Emerald-ku masih menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Pria mesum yang masuk seenaknya ketika aku mau berpakaian adalah pemilik kediaman mewah ini?!
Di hadapanku berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan postur sekitar 168 cm, kedua tangannya terselip di saku celana. Pria yang mengenakan kemeja biru navy ini memiliki rambut hitam dengan poni sepanjang dagu, rambut bagian belakangnya yang mencuat mengingatkanku pada … ehm, pantat ayam. Kami hanya berdiri mematung di ruangan besar dengan sofa abu-abu tanpa berbicara sepatah kata pun. Onyx-nya menatapku dengan intens, serasa menelanjangiku dalam diam ... dan terus terang, aku merasa risih dengan tatapannya yang mengintimidasi. Rasanya kikuk ketika dia melihat tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki, menyebalkan.
Patut diingat juga, setelah lima belas menit yang lalu aku melemparnya dengan pakaian karena melihatku yang—nyaris—tanpa pakaian … ia hanya mendengus lalu keluar dari ruangan tanpa meminta maaf! Argh, dia benar-benar sosok tuan muda yang tidak punya sopan santun!
.
"Apa kau kenal orang yang bernama Fugaku?"
"Eh? Ma-maaf, siapa?" pertanyaan antah berantah dari pria itu membuatku bingung.
"Fugaku Uchiha. Pernah mendengar namanya di Jepang?"
Aku hanya menggelengkan kepala dan sekilas melihatnya menghela napas. Dengan satu gerakan tangan Sasuke Uchiha menyuruhku duduk sedangkan ia tetap berdiri sambil melipat kedua tangan, "Baiklah … kudengar dari Sai kau berasal dari Tokyo, Jepang. Bagaimana caranya kau bisa ada di sini?"
Lho, itu 'kan pertanyaan yang seharusnya kuajukan?!
"A-Aku juga tidak tahu, tiba-tiba aku bangun dan bertemu dengan Sai di daerah East Konoha … aku sama sekali tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, karena kemarin aku masih ada di Tokyo dan melaksanakan ujian akhir semester! Lalu, Sai bilang kau bisa membantuku dan ia membawaku ke sini," kataku dengan pelafalan sejelas mungkin, menatap satu-satunya orang yang bisa membawaku pulang, "aku mohon padamu, Uchiha-san … bisakah kau mencari tiket pesawat menuju Jepang? Aku janji akan mengganti semua biayanya, berapapun besarnya … yang terpenting aku ingin cepat pulang ke kota asalku, Tokyo. Kumohon, bantulah aku, Uchiha-san."
Sang Uchiha di depanku terdiam.
"Jangan bercanda," Sasuke berhenti melipat kedua tangannya, ia malah menatapku dengan tatapan aneh, "apa kau sedang berpura-pura, nona pink?"
"Eh? Ti-tidak sama sekali, justru aku yang merasa semua ini hanya ulah candid camera, atau mungkin mimpi. Sungguh, yang kuinginkan hanya pulang ke Jepang! Tolonglah a—" ucapanku terhenti.
"Apa kau benar-benar tidak tahu apapun? Apapun?" tanyanya dengan nada penekanan. Sementara aku yang masih bingung hanya menggelengkan kepala.
.
"Lihat ini." Sasuke Uchiha menjentikkan jari, dan dari seberang sofa abu-abu muncul sebuah layar proyeksi yang menyala. Seisi ruangan ini langsung dikelilingi cangkupan layar monitor raksasa 4D berwarna kebiruan dengan tampilan bahasa pemrograman yang tidak kumengerti. Aku ternganga, teknologi semacam ini hanya pernah kulihat di laboratorium milik Tony Stark … yeah, si tokoh Iron Man yang merupakan karakter fiksi dan tentunya aku hanya pernah melihatnya lewat bioskop!
Oke, yang bisa kulakukan saat ini hanya berdiri lalu memandang ke sekeliling layar.
"Japan," pria ini hanya memberi perintah lewat bibirnya dan seluruh layar segera berubah tampilan. Aku bisa melihat sebuah topografi Negara Sakura, negaraku sendiri. Namun mataku terbuka lebar-lebar ketika peta topografi Jepang berubah—menyusut—lalu berubah menjadi lempengan kecil.
Apa yang terjadi?!
"A-apa itu? Ada apa sebenarnya?" aku keheranan.
"Cukup diam dan dengarkan, kau akan mengerti …"
"Akibat pemanasan global, pada tahun 2105 terjadi gelombang panas mematikan yang terjadi beberapa kali dan mengakibatkan kebakaran hutan secara fatal. Suhu bumi meningkat sebesar 7.2 derajat Fahrenheit dan mengakibatkan es Arktik sepenuhnya melebur menjadi air. Pergerakan lempeng bumi dalam lima puluh tahun terakhir menghasilkan subduksi yang mengakibatkan badai dan banjir besar, bencana tsunami ini menghantam beberapa wilayah pesisir pantai termasuk Jepang. Puluhan juta penduduk di seluruh bumi mengalami keadaan serupa," entah darimana, teknologi ini tampaknya terintegrasi dengan speaker yang otomatis menjelaskan tentang apa yang diminta Sasuke Uchiha.
.
"Ditambah dengan susutnya gletser selama beberapa dekade terakhir, permukaan air laut naik dan melebar keluar, menembus wilayah pesisir yang padat penduduk. Selama beberapa tahun setelahnya, di sejumlah negara terjadi kekeringan karena kemarau panjang yang mengakibatkan pasokan air tawar dan persediaan makanan semakin berkurang. Jutaan umat manusia tewas secara massal karena terjangkit penyakit menular, sementara sebagian penduduk yang tersisa di seluruh belahan bumi berlomba-lomba menyelamatkan diri, dan hal ini mengakibatkan pecahnya perang dan konflik dunia.
Seleksi alam dan perang yang berkepanjangan membawa dampak negatif pada kehancuran negara-negara, punahnya makhluk hidup dan rusaknya ekosistem. Hingga kini manusia masih mempertahankan sejumlah daratan yang belum tertutup oleh air, berusaha menyelamatkan ras manusia dari kepunahan."
Sebenarnya … hampir separuh penjelasan ini tidak dapat kumengerti, aku terlalu kalut memikirkan tentang pulau-pulau Jepang yang perlahan terkikis lalu satu per satu menghilang terendam air seperti yang kulihat dalam tampilan monitor. Apa yang terjadi padaku selama dunia mengalami malapetaka? Bagaimana nasib ayah dan ibuku, sahabat dan teman-teman seperjuanganku, juga semua kerabatku yang tinggal di Tokyo?!
Sekarang aku benar-benar berharap apa yang kualami adalah mimpi, semacam peringatan akan kehancuran bumi atau apapun … aku hanya memohon semoga ini tidak nyata. Tolong katakan ini hanya mimpi, Tuhan! Dadaku terasa bergemuruh, aku ketakutan setengah mati. Tanpa kusadari, air mata dari kedua pelupuk mata akhirnya turun, kakiku terasa lemas sehingga aku kembali terduduk lalu terisak.
"Kau mungkin tidak tahu apa-apa saat semua keadaan memburuk, tapi apa sekarang kau sudah mengerti?" suara pria itu kembali terdengar. Ia menjentikkan jarinya dan seketika itu juga layar monitor di sekeliling kami pudar lalu menghilang.
Aku menggeleng, ingin rasanya menolak semua kenyataan.
.
Siapapun … tolong katakan ini tidak nyata!
.
"I-Ini tidak mungkin terjadi … Apa ini … nyata? Tidak, hiks … pasti kau berbohong," ucapanku terputus-putus oleh isak tangis, "jawablah, Sasuke-san … ini semua … bohong, 'kan?"
"Kau pasti mengerti kenyataannya, tidak ada yang bisa kulakukan untuk membawamu pulang ke Jepang," Sasuke Uchiha melanjutkan perkataannya, ia berjalan ke arahku yang masih tertunduk.
Isakanku semakin menjadi sekarang, rasanya semua gambaran tentang pulau Jepang yang terendam berputar di kepala. Pupus sudah semua semangat dan pikiran positif yang bisa terlintas dalam pikiranku, mengingat bencana ini berlangsung secara global. Aku hancur, tidak bisa berpikir apapun.
"Sebagian besar wilayah Jepang telah terendam air bertahun-tahun yang lalu, termasuk Tokyo," Sasuke duduk di sisiku seraya menghela napas, "ini artinya, kau tidak akan bisa kembali ke rumahmu, Nona."
Tangisanku meledak.
.
Bagaimana dengan keadaan semua orang?
Ayahku, ibu, teman-temanku … bagaimana nasib mereka semua?
Apa mereka selamat? Atau jangan-jangan … sudah mati?!
Ti-Tidak! TIDAK MUNGKIN!
Aku tidak sanggup menahan semua ini … semuanya bohong, 'kan?
.
Lalu yang kuingat berikutnya adalah rasa pusing dan berakhir dengan kegelapan pekat.
.
.
.
Bersambung
.
.
Author's Note :
Halo semuanya, akhirnya saya memutuskan untuk membuat satu cerita Sasusaku terbaru setelah Shattered Memories. "Hegemony" sendiri berarti "kekuasaan tertinggi", meski keterkaitan cerita dengan judul mungkin belum bisa dilihat dari chapter pertama. Saya juga mencoba gaya penulisan dari sudut pandang orang pertama, dengan kata lain menjadi seorang Sakura … alias jadi wanita (hmm susah juga berpikir jadi cewek ya, semoga karakternya masih bisa diterima XD). Tapi ke depannya saya juga akan menggunakan sudut pandang campuran kok. Pilih genre Sci-Fi karena belum pernah coba sebelumnya, jadi saya mohon maaf jika banyak kekurangan di cerita ini.
Pertanyaan dari author ada dua, yang pertama: bagaimana kesan-kesannya? Kedua: bagaimana reaksi kalian jika readers mengalami hal yang serupa dengan Sakura?
Terima kasih sudah menyempatkan baca! Saya mohon dukungannya, jangan sungkan untuk memberi review sesingkat apapun, ide atau kritik saya terima dengan senang hati untuk perbaikan ke depannya.
Sampai jumpa di chapter depan! :D
-jitan-