Chapter 7
Let it rain, rain
It`s the perfect weather for contemplating
Let it rain, rain
For after such a weather
Sunshine will come
The rainbows
And the laughter
And the serious smile
It`s teasing you pal
Like it`s coming to get you
Oh they wish for you
To be happy again
But you`re locked up inside
You`re missing your cue – Let It Rain, Olivia Ong
xxxx
Aku mengoleskan mentega ke atas roti, sambil tak berhenti mengamati Ino yang bergerak kesana kemari sedari tadi. Kupikir aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, tapi dia marah dan berteriak mencari barang-barangnya yang (sebetulnya) ada di depan matanya. Kita bahkan tidak memiliki rencana penting hari ini, hanya menunggu jadwal penerbangan pulang nanti sore.
"Umn, lipstik yang kau cari ada di atas meja rias, Ino." Ujarku pada akhirnya melihat Ino membongkar koper dengan kesal karena mencari lipstiknya.
Dia menghela napas lalu menatap tajam ke arahku yang mengunyah roti dengan tenang. "Aku tidak membutuhkanmu di sini untuk makan saja, Sakura!"
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
"Entahlah?!"
Aku mengangkat kedua alisku dan kembali mengunyah roti. Ino mengerang melihatku dan menutup kedua wajahnya. Demi Tuhan, aku tidak tahu mengapa dia begitu frustasi hari ini!
Aku bangkit dari tempatku dan duduk di sebelahnya, "Aku sudah menyiapkan segala kebutuhan termasuk sarapanmu untuk pagi ini, katakan, apalagi yang kau butuhkan?"
"Jangan berada di kamarku kalau begitu."
"Kau yang meminta untuk sarapan bersama denganku, kan?"
"Dan aku berubah pikiran! Tidak bisakah kau mengikutinya?!"
Aku menggenggam tangan Ino. Sejak semalam dia membentakku karena mengobrol dengan Kurenai, aku baru menyadari sesuatu. Dia selalu bertingkah seperti itu ketika risau akan sesuatu. Kupikir ini adalah cara yang tepat untuk menenangkannya.
Kurasa berhasil, karena pundaknya yang tegang nampak meluruh. Ino memejamkan matanya dan menarik napas beberapa kali, "Hey, bagaimana kalau kita berkeliling New York hari ini? Ini pertama kalinya aku ke Amerika!"
Ino menyunggingkan senyum kecil, lalu menoleh ke arahku. Kurasa aku berhenti bernapas ketika mata biru itu menatap dengan sangat lembut. "Oke."
Aku tidak dapat menahan tawa kecil karena rasa girang, "Aku akan menyiapkan kendaraanmu!"
"Sakura..." Ino mengenggam lenganku ketika aku beranjak pergi, "...maafkan aku sudah sangat menyebalkan sepagian ini."
Aku mengacungkan jempol dan segera berlalu darinya. Karena jika aku terlalu lama berada di dalam sini, mungkin jantungku akan meledak karena berdegup begini kencang. Aku tidak tahu mengapa dia memliki mata yang seindah itu atau senyuman semanis itu, yang aku tahu aku harus bisa menghindarinya sebisa mungkin. Bukan tempatku untuk memiliki perasaan seperti ini untuknya.
xxxx
Ino POV
Aku seringkali berpikir bahwa kebahagiaan adalah sebuah konsep yang sangat absurd. Tidak dapat dijelaskan. Itu mengapa, aku tidak tahu apakah apa yang kini tengah kurasakan adalah sebentuk kebahagiaan, ketika melihat Sakura memejamkan mata di atas sofa apartemen kami.
Langit telah menggelap di Tokyo, tidak heran jika dia kelelahan seharian ini. Setelah perjalanan panjang kemarin, kami hanya singgah sejenak di New York lalu kembali ke Tokyo. Tentu saja setelah aku mengabulkan permintaan Sakura dan mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi Central Park.
Tubuhku juga lelah, tapi entah mengapa dapat menatapnya di tengah suasana tenang seperti ini, berhasil membayar seluruh rasa penatku. Jadi di sini aku sekarang, duduk di sisinya. Dengan suara televisi yang berbunyi pelan. Aku mengangkat lutut dan meringkuk di atas sofa, kepalaku menoleh dan menatap Sakura yang sekarang mengerutkan hidungnya.
Aku merasa sedikit enggan untuk menyentuhnya, tapi melihat wajahnya yang damai seperti saat ini... Bagaimana mungkin aku dapat menahan tanganku? Jadi dengan sangat perlahan, aku menyibak helai rambutnya. Membiarkan jemariku bergerak dan merasakan kelembutannya. Apa yang ada di dalam kepala gadis ini ketika dia tertidur? Apa dia pernah memimpikanku?
Sakura menggeser tubuhnya sehingga kepalanya terjatuh dari sandaran sofa, membuatnya membuka dan mengerjapkan mata.
"Apa kau ingin tidur di kamar?"
Sakura menggeleng lalu membaringkan tubuhnya. Dia meringkuk seperti anak kecil, dengan mata yang tertuju ke arah televisi.
"Ini televisi terbesar yang pernah kulihat dalam hidupku, Ino."
Aku tertawa kecil mendengar pernyataan yang mendadak itu, "Apa maksudmu?"
"Aku tidak pernah duduk di atas sofa dan menonton televisi sebesar ini sebelum aku bekerja denganmu."
Kini Sakura mengangkat sedikit wajahnya dan tersenyum padaku.
"Apa kau lapar?"
"Wow, apa kau sedang memberi perhatian padaku?"
"Aku baru ingat kau belum makan apapun sejak di dalam pesawat tadi, Sakura."
Sakura hanya menggeleng.
"Boleh aku jujur sesuatu padamu?" Sakura menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan serius, "Tapi janji padaku kau tidak akan lari."
"Apa aku pernah lari ketika berbicara denganmu?"
"Tidak secara fisik, tapi kau akan menjauh dan langsung menutup dirimu. Janji kau tidak akan melakukannya, Ino?"
"Oke, apa yang ingin kau katakan?"
"Aku memimpikanmu..." Keningnya berkerut, nampak berpikir keras. "...oh! aku selalu memimpikanmu selama ini! Bagaimana mungkin aku baru menyadarinya?!"
Aku menaikan kedua alis, "Apa yang kau impikan?"
"Entahlah," Sakura kini bersandar, terlihat lebih rileks. "Banyak hal. Tidak pernah terlalu jelas dan tidak selalu kuingat, tapi kau sering ada."
Seluruh tubuhku menegang ketika Sakura beringsut mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Ini sesuatu yang baru buatku. Ketika aku tidak memiliki kesempatan untuk berlari ataupun menjauh darinya, karena Sakura yang memintanya. Jadi kubiarkan kepala itu tetap di sana. Aku dapat merasakan hembusan napas Sakura dan aroma tubuhnya. Manis dan menyenangkan.
"Maafkan aku, Sakura." Aku berdeham, berusaha meredakan rasa gugup yang muncul. "Apa yang kita lakukan, baru bagiku."
"Ini juga baru bagiku, Ino." Aku dapat merasakan senyum Sakura ketika dia mengucapkannya. "Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kurasakan."
Ketika Sakura mengungkapkan itu, ada sengatan kecil di hatiku yang membuatku begitu tergoda untuk berlari dan kembali menjauh darinya. Namun ketika tubuhku kembali menegang, Sakura menyadarinya. Dengan kedua tangan dia memelukku, "Kau sudah janji tidak akan berlari, Ino."
Aku mengalihkan pandanganku darinya dan terfokus pada televisi.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian ini. Setidaknya ada satu hal yang kutahu, aku sayang padamu."
Aku tersenyum, "Kupikir itu cukup untuk saat ini."
Kami menonton televisi hingga mengantuk dan tertidur di atas sofa setelahnya. Sakura memelukku karena rasa dingin yang semakin menggigit. Tidak ada lagi percakapan yang terjadi. Aku mengerti, kami mengerti.
Xxxx
Terdengar gedoran dan bel yang berulang-ulang di pintu. Aku dan Sakura mengerang. Sebetulnya aku sedikit mengernyit karena rasa pegal yang menyerang seluruh tubuhku tertidur dalam posisi ini semalaman. Kupikir begitu juga dengan Sakura, keningnya berkerut dan dia berusaha meregangkan tubuhnya.
Bunyi bel masih tidak berhenti. Sehinga Sakura bangkit berdiri dan membuka pintu.
Dan ketika kupikir hari ini akan menjadi hari yang sempurna bersama Sakura, dugaanku salah.
"Morning, love."
Suara menyebalkan itu.
Bukan Sasuke, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega. Meski tentu saja, mengetahui siapa yang tengah berdiri di depan pintu dengan sebuket bunga segar membuatku semakin kesal.
Sasori menyeringai dan menaikan kedua alisnya pada Sakura.
"Aku membawakan lima kuntum bunga matahari. Karena ayolah, bunga ini sangat mencerminkan dirimu."
"Untuk apa kau ke sini?"
Sakura mengerutkan kening mendengar pertanyaanku. Mungkin... nada yang kuucapkan terlalu dingin dan ketus.
"Membawakan bunga untuk kalian, dan aku ingin mengajak Sakura sarapan bersama. Hey, ayolah! Kenapa wajahmu muram seperti itu?"
Nada Sasori terdengar berlebihan, terlalu gembira. Membuatku semakin muak dengan kehadirannya di sini.
"Sakura akan sarapan bersamaku."
"Sakura?" Sasori kini terfokus pada Sakura, menunggu keputusannya.
"Kurasa..."
"Ada banyak yang perlu kita bicarakan, bukan?" Ujar Sasori dengan tergesa.
Aku menyipitkan mataku ketika Sakura tampak ragu, seolah-olah ada yang dirahasiakan oleh mereka berdua. Aku bergeming, menunggu Sakura menanggapi.
"Kurasa kita akan sarapan di dekat sini, Ino. Apa kau membutuhkan sesuatu sebelum aku pergi?"
"Aku membutuhkanmu untuk sarapan denganku, Sakura." Aku mengetatkan rahang dan mendelik ke arah Sasori, menantangnya.
"Wow... Apa yang membuatmu begitu posesif, Ino? Aku sudah datang jauh-jauh ke sini untuk sarapan dengannya, tegakah kau?"
"Aku akan kembali sebelum kau menyadarinya, Ino."
Aku terdiam ketika Sakura memohon seperti itu padaku. Sakura mengambil bunga dari tangan Sasori dan meletakannya di atas meja dengan cepat, sebelum mereka berjalan keluar dan menutup pintu apartemen, meninggalkanku yang masih gamang akan situasi ini. Setelah apa yang kami bicarakan semalam, mengapa Sakura memilih Sasori... lagi?
Xxxx
Sakura POV
Aku memilin kedua tanganku dengan rasa khawatir yang luar biasa. Ino marah padaku. Dia pasti marah padaku. Aku memilih Sasori dibanding dirinya. Dasar bocah sialan, kenapa dia harus membuat ini menjadi rumit?!
Sekarang dia sedang memesankan roti dan susu untukku. Bibirku mengatup rapat sepanjang perjalanan ke tempat ini, aku tidak menanggapi ataupun menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tidak menghentikan bocah itu untuk bertingkah tengil dan menggodaku.
"Hey," dia duduk di hadapanku dan masih tersenyum. "Aku tahu, kau pasti sangat kesal padaku."
"Oh, ternyata kau mengetahuinya?!" Aku hampir berteriak padanya, "Tidak bisakah kau memberitahu lebih dahulu, dan tidak datang tiba-tiba seperti itu?! Ada satu hal yang kau harus tau, Sasori. Ino tidak menyukaimu!"
Aku langsung menyesali perkataanku ketika Sasori hanya terdiam dan menundukkan wajahnya. Tentu saja dia tahu itu. Itulah alasan mengapa dia melakukan semua ini. Karena Ino tidak akan mengijinkannya masuk dalam kehidupan Ino.
"Maafkan aku, Sakura. Entah kenapa, aku merasa kau tidak akan mau bertemu denganku jika aku menghubungi terlebih dahulu."
"Setidaknya aku bisa mempersiapkan diriku... dan Ino."
"Bagaimana New York?"
"New York sangat keren."
Sasori menggeleng, aku tahu, bukan itu maksud pertanyaannya. "Bagaimana Sasuke? Apa dia menyakiti Ino lagi?"
Aku menghela napas, lelah. Dan sedih, entah mengapa. Mengetahui Sasori yang begitu mencintainya. "Kenapa kau tidak mencoba bertanya langsung pada Ino? Aku tidak yakin bisa terus membantumu seperti ini."
"Kenapa?" Sasori memajukan tubuhnya, memulai persuasinya seperti biasa. "Tidakkah kau peduli pada Ino?"
Aku hampir tertawa mendengar pertanyaan itu. Jika saja, Sasori mengetahuinya...
"Tentu saja. Tapi aku tidak suka dengan cara ini. Berbicara di belakang Ino. Lagipula tidak ada yang bisa kita lakukan, bukan?"
Percakapan kami terhenti ketika pesanan datang. Sasori menyesap minumannya sebelum melanjutkan dengan suara parau, "Aku selalu ingin membahagiakannya, Sakura. Kenapa Ino tidak pernah bisa melihatku?"
Aku menundukan wajah. Berusaha menyembunyikan rasa risau yang muncul tiba-tiba. Kerisauan yang janggal. Rasa bersalah, cemburu, dan khawatir yang berbaur menjadi satu.
"Ino tidak bercerita padaku soal ini, tapi setelah kita tiba di hotel, aku melihat lebam merah di wajahnya. Perbuatan Sasuke kurasa."
Sasori memijat puncak hidungnya. Dia memejamkan mata, tiba-tiba. Aku tidak tahu mengapa dia melakukan gestur itu, hingga tidak lama kulihat dia menangis.
Saat itu aku benar-benar terpaku di tempatku duduk. Seorang lelaki kekanak-kanakan menangis di hadapanku karena wanita yang begitu dicintainya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, sehingga aku menggenggam tangannya di atas meja. Mungkin untuk menghiburnya, mungkin untuk mengurangi rasa bersalah yang semakin menggigit. Hal paling sederhana yang dapat kulakukan untuknya.
Lidahku kelu. Sehingga aku terdiam di sana. Membiarkan hatiku ikut menangis bersamanya. Menangis untuk orang yang sama. Karena jika Ino bahkan tidak bisa melihat lelaki seperti Sasori yang begitu mencintainya, bagaimana mungkin aku merasa pantas untuk melindungi dan menyayanginya?
Xxxx
Ino POV
Bocah berambut merah itu tidak pernah menjadi variabel penting dalam hidupku. Dia banyak tingkah dan menyebalkan. Bahkan ketika aku berpacaran dengan Deidara, kakaknya. Aku tidak pernah menaruh perhatian penuh padanya, meski sekali, dua kali, anak itu seringkali menunjukan ketertarikan padaku. Aku tidak pernah menggubrisnya.
Hingga hari ini, hingga hari ini wajah menyebalkan itu tidak bisa enyah dari pikiranku. Membayangkan apa yang sedang terjadi antaranya dan Sakura. Mengapa mereka begitu sering menghabiskan waktu bersama? Aku menatap kuntum bunga yang tergeletak begitu saja di atas meja. Apa maksudnya memberikan Sakura bunga pagi-pagi seperti ini?
Sialan.
Aku membanting mangkuk ke atas meja menimbulkan suara yang kencang.
"Apa masalahmu, nona?"
Aku terkesiap, mendapati Tsunade telah berdiri di tengah ruangan. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa dia masuk ke dalam apartemenku. Pasti dengan kunci cadangan yang dipegangnya. Dia memiliki hak itu.
"Apa masalahmu datang ke sini?" Ujarku sedikit ketus padanya.
"Hey, jaga nada bicaramu." Tsunade duduk dengan santai dan menyilangkan kakinya. "Dimana Sakura?"
"Sarapan, mungkin sebentar lagi akan kembali." Aku berjalan mendekati Tsunade, "Untuk apa kau mencarinya?"
"Kau mengenal Kurenai?"
Tubuhku menegang mendengar nama itu, terutama karena terucap dari bibir Tsunade. Ada sesuatu. Mungkinkah wanita iblis itu menceritakan kejadian di New York?
Tsunade tertawa melihat ekspresi terkejutku, "Kurenai menceritakan semuanya, Ino... Tapi tenanglah, dia tidak tertarik padamu."
Tentu saja, karena dia begitu tertarik pada Sakura, kan?
"Apa hubungannya dengan Sakura?" Kini pertanyaanku mulai terdengar defensif.
"Kenapa kau begitu posesif padanya, Ino?" Tsunade menaikkan sebelah alisnya, menantangku. Aku tahu dia pasti sudah mengetahuinya. Setidaknya dari cerita Kurenai. "Apa aku juga tidak boleh mengganggu asisten kesayanganmu itu?"
Tapi aku tidak sanggup, belum sanggup menjawab pertanyaan itu. Seberapapun aku ingin. Sehingga aku terdiam, tidak meladeni tantangannya. Tsunade tersenyum penuh kemenangan. "Dia ingin Sakura menjadi model untuk produk perhiasannya."
"Sakura tidak memiliki pengalaman untuk itu, Tsunade."
"Begitu juga denganmu dulu, kan? Biarkan aku yang memutuskannya. Bukankah itu cara kerja kita?"
Aku mengepalkan tangan, merasa semakin tidak nyaman dengan keberadaan wanita mengerikan ini.
Tidak lama kemudian, Sakura datang sendiri. Tanpa Sasori. Syukurlah, aku tidak ingin keadaan lebih rumit daripada ini.
"Ah, yang kutunggu-tunggu datang juga. Sejujurnya aku sedikit heran Ino mengijinkanmu sarapan di luar, Sakura."
"Tsunade-san," Sakura tersenyum dan membungkukan tubuhnya, memberi salam. "Apa aku mengganggu kalian?"
"Aku justru mencarimu, bukan Ino."
Sakura tampak terkejut, "Oh, apa ada yang kau butuhkan?"
"Aku membutuhkanmu untuk ikut denganku. Kita akan melakukan sesi pemotretan."
"Tapi aku tidak siap—"
"Kurenai sudah menyiapkan semuanya di studio." Tsunade bangkit dan segera menggandeng lengan Sakura. Namun Sakura mengeraskan diri dan tetap terpaku di tempatnya berdiri.
"Aku harus menyiapkan peralatan Ino yang biasanya, Tsunade-san."
"Ah, kau salah paham. Kau yang akan melakukan pemotretan, bukan Ino."
Sakura tampak mengerutkan kening, "Apa maksudmu?"
"Kurenai membutuhkan model yang muda dan segar sepertimu. Semua orang sudah jenuh dengan wajah Ino yang mulai menua." Ujar Tsunade enteng, disertai tawa ringan.
Sakura menoleh, menatapku, ketika Tsunade menariknya keluar dari apartemen.
"Oh, dan aku sudah mempekerjakan asisten sementara untukmu, Ino. Kau tidak pernah benar-benar menginginkan Sakura sejak awal, bukan?"
Kalimat terakhirnya sebelum dia menutup pintu.
Napasku menderu cepat. Tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan, tapi ada perasaan resah di sana. Kata-kata wanita sialan itu tidak berhenti berbunyi di telingaku.
Semua orang sudah jenuh dengan wajah Ino yang mulai menua.
Seharusnya aku sudah menduga ini akan terjadi.
Xxxx
Janggal.
Sudah setengah tahun berlalu, dan aku sudah terlalu biasa dengan kehadiran Sakura. Kebiasaan menyebalkannya, aura positif yang selalu memancar ketika dia berada di studio dan berusaha mengobrol dengan semua orang.
Kini ada orang asing yang menyentuh barang-barang pribadiku. Remaja berusia delapan belas tahun (yang dipekerjakan Tsunade untuk sementara), berambut hitam yang tidak pernah berhenti berbicara tentang kekagumannya padaku. Bagaimana dia sangat ingin menjadi diriku. Sudah puluhan kali rasanya aku menghela napas karena rasa tidak nyaman akan gadis ini. Aku tidak tahu namanya, dan tidak ingin tahu namanya.
Aku menginginkan Sakura.
Kakashi menyadari itu. Ada yang salah denganku.
Mercedesz-Benz kembali mempekerjakan kami berdua untuk iklan terbarunya. Memang ada chemistry yang tidak bisa dijelaskan antara aku dan Kakashi setiap kali kami bekerja bersama. Yang membuat kombinasi ini sering terjadi.
"Ino, kurasa kita butuh istirahat sejenak."
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Tidak menyadari Kakashi berjalan mendekat dan memijat punggungku, suaranya terdengar begitu lembut. "Apa yang terjadi? Dimana Sakura?"
Aku enggan menjawab pertanyaan itu, atau menceritakan masalah yang sedang terjadi pada Kakashi. Setidaknya untuk sekarang. Sehingga aku mengabaikan pertanyaannya.
"Apakah aku sangat buruk tadi?"
"Tidak juga..." Kakashi duduk di sebelahku dan merangkul bahuku, "Tapi tidak sesempurna biasanya."
"Maafkan aku. Kita harus mengulanginya lagi."
"Hey, tenanglah! Kesempurnaan adalah trademark kita berdua, tapi CEO sialan itu meminta hasil yang cepat. Jadi aku akan memberikan hasil tadi padanya."
"Kakashi, aku tidak suka jika—"
"Kau tetap luar biasa, sayang. Seperti biasanya." Kakashi tersenyum, berusaha menenangkanku, "Sekarang apakah ada hal lain yang perlu kau lakukan? Hmn... menyangkut Sakura, misalnya?"
"Ino-san, apa ada hal lain yang kau perlukan? Demi Tuhan melihatmu di depan kamera tadi—"
"Nona, bagaimana jika kau membantuku sebentar... " Kakashi segera bangkit dan menarik gadis itu menjauh. Oh, aku benar-benar harus berterima kasih pada Kakashi, karena hal terakhir yang kuinginkan adalah si asisten baru itu membuka mulutnya dan membombardirku seharian.
Apa yang sedang dilakukan Sakura sekarang?
Aku segera mengirimkan pesan singkat ke ponselnya, sesuatu yang pertama kali kulakukan. Ini impulsif, tapi aku harus melihatnya sekarang juga. Aku tidak rela jika Kurenai mengganggunya.
Dimana lokasi pemotretanmu, Sakura? – Ino
Aku menggenggam ponselku erat hingga buku jariku memutih, gelisah menunggu balasannya.
Aku harus menanyakannya pada Tsunade – Sakura
Apa tujuanmu, katanya. – Sakura
Aku tidak tahu alamat tepatnya, tapi kami melewati Edogawa Park, dan kurasa bangunan ini terletak di sebelah kantor pos di daerah Hakusan, Bunkyo[1]. – Sakura
Tsunade pasti tidak mau membertahuku. Apa sebenarnya tujuan wanita itu melakukan semua ini padaku dan Sakura?
Aku segera mengambil tas tanganku dan meninggalkan asisten baruku yang semakin kebingungan itu.
Xxxx
Dari luar, dengan dinding kelabu itu tampak sempit, namun ada jalan kecil menuju halaman belakang. Aku berhasil melewati pagar tinggi yang terkunci karena si penjaga melihat wajahku dari kamera dan (beruntungnya aku) dia adalah salah satu penggemar. Sehingga tanpa kecurigaan sedikitpun dia membuka gerbang dan berasumsi aku hendak bertemu Tsunade.
Dengan seulas senyum aku bergerak cepat melewatinya. Ketika kakiku melangkah memasuki bangunan, bagian dalam mulai terlihat luas dengan banyak sekat-sekat ruang. Aku tidak tahu di ruang mana Sakura berada sehingga aku melewati koridor yang cukup sempit, hingga melihat satu pintu yang terbuka.
Bagian dalam ruangan telah didesain dengan gaya interior Eropa, dan Sakura telah siap dengan rambut yang tersanggul beserta make-up. Tuhan, gaun merah yang dikenakannya membuat mata hijaunya semakin memancar. Aku menggenggam kusen pintu dan menatap gadis itu saksama.
Hingga Sakura menatapku lalu tersenyum antusias dan semua orang di dalam ruangan itu serentak menoleh ke arahku. Tentu saja, seperti yang kuduga, Tsunade melemparkan seringai ke arahku, seolah ini adalah hal yang sudah diduga olehnya. Bahwa aku akan datang ke tempat ini. Demi Sakura.
"Nah, yang kita tunggu datang juga rupanya."
Namun tidak begitu dengan Kurenai, dia mengerutkan keningnya lalu menatapku dan Tsunade secara bergantian. "Apa yang dia lakukan di sini?"
Tsunade memamerkan senyum palsu memuakannya pada Kurenai, dan berdecak santai, "Kurasa Ino memiliki masalah karena kau memakai Sakura dan bukan dirinya. Betul begitu, Ino?"
"Aku tidak peduli dengan perhiasan tololmu itu. Aku datang menjemput Sakura."
Kurenai menyunggingkan senyum kecil, "Perhiasan tolol katamu? Bukankah pekerjaanmu semakin sepi belakangan ini, Ino? Barangkali kau akan memohon-mohon padaku suatu hari nanti demi perhiasan tolol ini."
"Jangan dengarkan Ino, Kurenai-san. Sakura akan menjadi wajah baru kami, produkmu bisa menjadi sarana publikasi yang bagus untuknya."
Kurenai terkekeh dan mengalihkan pandangannya dariku, lalu berkata, "Kau bisa pergi sekarang, Ino-san."
"Aku tidak akan pergi tanpa Sakura."
Sakura bergeming di tempatnya berdiri dan menatap kami berdua secara bergantian. Dia menepis tangan penata rias yang berusaha mendandaninya tanpa sadar, dan mulai melangkah mendekat padaku. "Kurenai-san..."
"Sakura, diam di tempatmu berdiri!"
"Aku akan pulang bersama Ino, Tsunade-san. Aku bekerja untuknya. Maafkan aku."
"Kau akan menyesalinya."
Suara Tsunade terdengar dalam, dan rahangnya mengetat. Jantungku berdegup kencang, tidak pernah aku melihatnya dingin dan berbahaya seperti ini sebelumnya. Detik itu aku tersadar, sudah sejak beberapa bulan lalu. Tsunade tidak pernah lagi sama.
Dia bukan lagi sosok ibu dalam hidupku. Dia membuatku merasa seolah dia akan membunuhku sewaktu-waktu setiap aku berada di dekatnya. Sekarang, dia berusaha membuatku merasa seperti sampah.
Aku tidak peduli lagi, karena ada Sakura di sisiku sekarang. Aku menggenggam tangannya dan berjalan mantap keluar dari dalam bangunan itu.
Xxxx
"Semuanya akan baik-baik saja, Ino."
Kalimat pertama yang diucapkan Sakura ketika kami masuk ke dalam mobil. Mungkin karena tanganku yang berkeringat atau napasku yang tersengal, Sakura mengetahuinya. Hinaan dan ancaman dari Tsunade tidak kugubris tadi, namun sekarang semuanya mulai terasa menakutkan.
Aku melawannya.
Aku menantang orang yang memegang seluruh hidupku dalam genggamannya. Tsunade bisa menghancurkan karirku kapan saja sekehendaknya, bahkan jika Sasuke berniat membantuku sekalipun. Aku menggenggam tangan Sakura semakin kuat, aku tidak tahu bagaimana mengatasi kengerian yang mulai mengendap ini.
"Apa dia benar-benar akan menjadikanmu sebagai wajah baru perusahaannya?"
Suaraku bergetar.
Tidak seharusnya aku mengutarakan insekuritas yang kurasakan, namun aku tidak bisa menahannya. Aku paham pertarungan dalam dunia modelling. Berada di posisi setinggi ini, aku merasa cukup beruntung. Tapi aku tidak akan pernah siap untuk jatuh. Sampai kapanpun.
Hening.
Sakura terdiam.
Tsunade sudah menyatakan hal itu padanya sebelum aku mengetahuinya. Aku membenturkan kepalaku pada setir dan menyembunyikan wajahku.
Bagaimana mungkin hal yang tidak pernah benar-benar kuinginkan sejak dulu, popularitas, kekayaan, dan seruan, kini membuatku begitu takut kehilangan?
Keheningan Sakura berarti aku akan kehilangan semua itu sebentar lagi. Aku tahu ini cara kerja Tsunade yang sebenarnya. Dia akan membuang model-model yang menjenuhkan dan dengan mudah mengganti dengan yang baru. Kecuali aku. Dia selalu menyayangiku sebelum ini. Sebelum kedatangan Sakura.
"Ino..."
Aku tidak tahu, mengapa aku menepis tangan Sakura yang berusaha mengusap punggungku. Mengapa aku bersikap seolah-olah dia adalah musuhku?
Perasaan-perasaan yang tidak kumengerti bercampur bersamaan, dan aku mulai menangis. Aku menangis untuk yang kesekian kalinya di hadapan Sakura. Kali ini, gadis itu yang menepis tanganku dan memelukku dari samping. Menahan tubuhku ketika aku berusaha memberontak, dia berbisik tenang, "Aku tidak akan menerimanya, Ino. Aku tidak akan menerimanya."
"Bisakah kau berjanji padaku, Sakura?"
"Aku berjanji padamu, Ino."
Dengan mata yang sembab aku mengangkat wajahku dan menatap kedua tatapan tulusnya. Aku kembali tenggelam ke dalamnya.
Sore itu, aku kembali menciumnya. Kedua tangan Sakura melingkari di leherku dan kedua tubuh kami semakin mendekat, menerobos batas dan jarak yang kami ciptakan. Dia membalas ciumanku untuk pertama kalinya. Entah mengapa di antara degup jantung yang bergemuruh, aku merasa semua akan baik-baik saja. Karena Sakura ada di sisiku hari ini.
[1] Salah satu kawasan yang terletak di Tokyo, area perumahan dan pendidikan
Author' Note: Hope you enjoy this one. Thanks if you're still following this story. Long storyline to go, so little time to write.
