Ringkasan: Kehidupan tidak semudah mimpi kanak-kanak. Terutama jika takdir mengikatmu dalam status bernama shinobi. Siapa yang bisa menebak apa yang ada di ujung mimpi itu?

Peringatan: canon setting; future fict; alternate reality.

Disclaimer: Naruto series is the property of Kishimoto Masashi. I gain no financial advantage by writing this.


"…We're on our way there too…
To their side.
The side that leaves behind instead of inheriting.
It may be troublesome, but it's the way of the world…"

[Nara Shikamaru—Naruto 406: Unlock The Future]


.

#

.

Ujung Mimpi

©fariacchi

Satu: Penolakan

.

#

.


Nama pemuda itu Nara Shikamaru.

Sosok pemuda tinggi dan berambut hitam kasar yang diikat tinggi menjadi ponytail. Wajahnya menyiratkan kemalasan, mata hitamnya lebih sering terpejam—untuk tidur, dalam arti yang sesungguhnya.

"Jadi, bisakah kita mulai?" ujarnya, dengan nada serius yang tidak biasa.

Shikamaru duduk di sebuah sofa berwarna hijau lumut yang agak terkesan tua. Di depannya, duduk dalam ruang keluarga luas yang sama, adalah sesosok laki-laki. Kau bisa menyebut sosok itu replika dari seorang Nara Shikamaru—jika saja ia tidak berjanggut dan rambutnya tidaklah berwarna biru tua.

"Bicaralah," ujar laki-laki tua itu tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang dibacanya.

Shikamaru menghela nafas. "Aku butuh kalian. Berdua. Mendengarkanku. Serius." Kata-kata itu diucapkan dengan tekanan nada yang jelas, dan disuarakan dengan intonasi aneh—setengah malas dan setengah memerintah.

Seorang wanita paruh baya bercelemek putih mengayunkan kaki dan dalam sekejap telah duduk di sebelah suaminya—di seberang Shikamaru. Rambut wanita itu hitam, diikat sederhana di bagian tengkuk. Ia mengernyit ketika memandang sosok putra satu-satunya yang menatap aneh dirinya.

"Nah, ada apa?" tanya sang ibu dengan datar. Bukan karena kesal, bukan tidak peduli. Semata-mata hanya karena pribadinya memang sedikit judes—dan kasar.

"Aku ingin menikah," sahut Shikamaru tenang.

Sang ayah—laki-laki berjanggut, spontan menurunkan koran yang menutupi pandangannya dari sang anak. Sang ibu, tanpa sadar membulatkan matanya.

Diam.

Kemudian suara koran dibalik. Sang ayah—Nara Shikaku, rupanya kembali asyik dengan bacaannya.

"Hei, suamiku, apa kau dengar katanya barusan?" Nara Yoshino menepuk lutut suaminya tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Shikamaru.

"Hmmm," hanya dengungan pelan.

"Astaga, aku pasti bermimpi!"

Shikamaru menghela nafas. Orangtua yang sedikit aneh—kau tahu: campuran suka memerintah dan tidak percaya pada kemampuan anak.

"Tch … merepotkan. Lalu bagaimana?" potong Shikamaru sebelum semua itu semakin merepotkan baginya.

"Apa maksudmu?! Tentu saja kami bahagia! Kami pikir kau tidak akan menikah!" Yoshino berujar ceria. Ia kemudian mendelik ke arah Shikaku yang sejak tadi diam saja. "Hei, tutup koran sialan itu dan bicarakan ini!" bentaknya.

"Iya, iya …" Shikaku menggerutu dan meletakkan koran itu di atas meja.

"Jadi, gadis mana?" tanya Yoshino semangat. Shikamaru baru saja akan menyebutkan suatu nama sebelum tangan ibunya menjulur dan menghentikannya. "Tunggu—biar Ibu tebak. Dengan perawat itu?"

"Perawat apa?"

"Perawat—eh maksud Ibu, ninja medis murid Tsunade-sama! Namanya … Sakura! Ya, Sakura!"

Shikamaru menghela nafas. "Yang benar saja. Aku tidak dekat dengannya."

"Lalu siapa?" tanya Yoshino penasaran.

Shikaku melipat kedua tangannya di dada. Sejujurnya, ia sepertinya tahu siapa nama yang akan disebutkan Shikamaru.

Shikamaru diam sejenak. Setelah menyiapkan dirinya, ia berujar dengan jelas dan tegas, "Temari."

Hening.

Shikaku mengatupkan mata—dalam hati ia membenarkan dirinya sendiri. Sebuah tebakan jitu dari seorang ayah.

"Temari?" Yoshino mengingat-ingat. Ekspresi wajahnya berubah agak aneh. "Kunoichi dari Desa Suna itu?"

"Ya," Shikamaru mencoba tenang, menyingkirkan perasaan bahwa ibunya tidak suka mendengar nama itu. Mungkin hanya perasaannya saja.

Diam lagi. Shikamaru menunggu. Sedetik, dua detik, kemudian ia merasa cukup. Yoshino membuang muka dan Shikaku memejamkan mata tanpa respons.

"Jadi, bagaimana?" tanya Shikamaru langsung.

Akhirnya Yoshino membuka mulut, "Jika dengan gadis itu—tidak."

Terucap juga. Telinga Shikaku sedikit berkedut mendengar ketegasan tanpa ampun dari istrinya. Memang sudah temperamennya, tapi Shikamaru jelas akan terpukul.

"Ke—kenapa?" Shikamaru membelakkan mata. Ia sama sekali tidak percaya.

Tak ada jawaban. Yoshino bangkit berdiri dan melenggang ke meja makan. Sepasang mata hitam Shikamaru mengikutinya. Perlahan ia mengamati ketika ibunya mengangkat gelas-gelas kaca, mengatur vas bunga—segala tindakan merepotkan yang dibuat-buat.

"Hei, jelaskan! Kenapa tidak?!" Kesabaran Shikamaru bisa habis begitu saja.

Begitu pula dengan kesabaran seorang Nara Yoshino. Ia membentak, membelakangi Shikamaru, "Ibu bilang TIDAK ya TIDAK!"

"Aku hanya tanya alasannya!" Shikamaru bangkit bediri dan menjawab agak keras. Tak memeperoleh jawaban, ia menoleh mencari bantuan, "Ayah!"

Shikaku membuka matanya, kemudian berujar dengan perlahan, "Maaf, kali ini aku sependapat dengan ibumu."

"Ap—" Kata-kata Shikamaru mendadak tertahan di tenggorokan. Ia mengepalkan tangannya sebelum akhirnya berkata dengan keras, "Ada apa dengan kalian berdua?!"

Tidak ada jawaban. Kedua orangtuanya tak bersuara, memilih tidak mengacuhkannya.

"Tch," dengan itu Shikamaru beranjak keluar—ditambah sedikit bantingan keras di pintu.

Tentu saja, ia tidak tahu ketika Yoshino bergetar dan berlutut begitu saja. "Shikamaru—kenapa …?" ia terisak pelan ketika putranya sudah menghilang dari pandangan.

Shikaku menghela nafas. Ia mempunyai firasat bahwa semua ini akan sangat merepotkan—dan panjang. Kemudian ia bangkit berdiri untuk merangkul istrinya.

.

#

.


Nara Shikamaru berjalan menyusuri jalan lengang Konoha. Kedua tangannya dimasukkan di saku, sepasang alisnya berkerut menandakan pikiran sulit yang berputar di kepalanya, dan bibirnya terkatup maju tanda ia sedang tidak dalam kondisi yang baik.

Baiklah, mari putar ulang segalanya. Ia dan Temari membuat suatu perjanjian—atau semacamnya. Ketika Temari tiba di Konoha, lagi, maka Shikamaru akan mempunyai jawaban untuk masalah—yah—pernikahan.

Shikamaru mengacak rambutnya frustrasi. Kenapa ia bisa begitu mudah terjerat dalam situasi merepotkan seperti ini?

Ia mengumpat pelan ketika mengingat ekspresi ibunya. Ada apa sesungguhnya dengan penolakan mereka?

Pikiran Shikamaru terhenti begitu saja saat sebuah suara memanggilnya, "Shikamaru."

Pemuda berbaju hitam dengan jaket jounin itu menoleh, mendapati sesosok gadis berambut pirang panjang dalam balutan busana mini berwarna ungu. "Ino?"

Yamanaka Ino tersenyum manis. Mata biru langitnya yang indah membulat riang ketika ia merapat dan mendekatkan diri dengan Shikamaru.

"Kukira kau sedang sibuk mempersiapkan pernikahanmu?" tanya Shikamaru.

Ino tertawa kecil. "Begitulah." Jawaban yang agak ambigu—tidak seperti Ino yang biasanya.

Shikamaru mengamati wajah sahabat sejak kecilnya itu. "Ada masalah dengan Sai?" tanyanya.

Ino menggeleng. Ia kemudian menyandarkan diri dan menggamit lengan Shikamaru, menyamankan diri di samping pemuda itu. "Semua berjalan lancar. Semua sangat senang karena Sai sungguh-sungguh dan setuju untuk masuk ke dalam klan kami," ujarnya.

Shikamaru tidak merasa terganggu. Ino adalah Ino, dan ia sudah terbiasa dengan sikap agak manja gadis itu.

Mereka masih berjalan beriringan sebelum berhenti di depan sebuah kedai teh kecil. "Mau mampir?" ajak Shikamaru.

Ino menaikkan alis. Tidak biasanya Shikamaru—oh, lupakan saja. Sedetik kemudian ia mengangguk dan tersenyum, lalu mengekor pemuda itu melangkah ke dalam.

Dua gelas teh hijau dan dua porsi dango terhidang di atas meja kayu. Ino baru saja menyeruput pelan isi gelasnya ketika Shikamaru mulai bicara, "Jadi, kapan pernikahan resminya?"

Ino mengaduk tehnya perlahan, kemudian menjawab dengan senyuman khasnya, "Bulan depan."

Shikamaru tersenyum. "Selamat, ya," ujarnya, "Sai pasti bisa membahagiakanmu."

Ino membalas senyuman itu, "Ya." Kemudian tatapannya berubah menjadi sendu. Ia menatap bayangan matanya di air teh kehijauan yang masih panas dalam cangkir. "Shikamaru—aku …," ia berujar tiba-tiba.

"Ino, hentikan." Shikamaru memotong ucapan gadis itu—seolah sudah tahu apa yang akan diucapkannya. "Kau akan segera menikah dan aku tidak mau melihatmu merusak kebahagiaanmu sendiri," ujar Shikamaru serius.

Ino memainkan jari-jari kurusnya dengan perlahan. Ia mengangguk.

Semua sudah menjadi masa lalu. Shikamaru tahu benar bahwa gadis di depannya masih menyimpan perasaan—ya, padanya. Semua itu memang merepotkan, tapi Shikamaru berusaha sehalus mungkin menjaga jarak. Ia tahu pernikahan mereka tidak mungkin terjadi.

Alasan yang sederhana ketika kau terlahir sebagai seorang shinobi dari klan khusus di desamu. Jika Shikamaru dan Ino menikah, salah satu klan akan musnah—tanpa penerus. Maka mimpi kanak-kanak itu tidak mungkin terjadi.

Shikamaru menghela nafas. "Sepertinya jalanku tidak semudah jalanmu," ujarnya.

Ino menatap lekat-lekat pemuda di depannya. "Apa … sesuatu terjadi antara kau dan Temari-san?" tanya Ino serius.

Shikamaru meneguk teh hijaunya sebelum mengacak rambutnya sendiri dan menggerutu, "Sebaliknya. Sesuatu terjadi di luar kami."

Gadis pirang itu memiringkan kepalanya tanda tidak mengerti. Rambutnya yang menjuntai hingga menyentuh kursi kayu yang didudukinya itu bergoyang perlahan. Terlihat anting perak pemberian guru mereka masih dipakainya.

"Orangtuaku … mereka menolak ketika aku mengatakan ingin menikah dengan Temari," ujar Shikamaru.

"Apa?" Ino membulatkan matanya. "Tapi—kenapa?" tanyanya.

Shikamaru menghela nafas lagi. "Itulah yang ingin aku ketahui. Tapi mereka tidak mau mengatakan apapun. Semua ini begitu merepotkan!" Shikamaru membanting gelasnya agak keras.

Ino tidak bicara. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia hanya diam, mendengarkan. Mungkin itu yang dibutuhkan Shikamaru.

Shikamaru tampak mengepalkan tangannya erat-erat. Sebuah perasaan sakit terasa di hati Ino. Rasanya begitu menyayat ketika melihat sesorang yang kau sayangi terluka seperti itu. Tapi, toh, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Mungkin … mereka belum mengenal Temari-san dengan baik?" ragu, Ino mengungkapkan responsnya.

Shikamaru mendesah, "Entahlah. Temari pernah berkunjung ke rumahku, bertemu dengan mereka, dan menurut pengelihatanku, tidak ada yang salah ketika itu. Mereka baik—yah, menerima dengan wajar."

"Umm …" Ino memainkan jari-jarinya lagi—sebuah kebiasaan baru yang dipelajarinya setelah usia remaja. "Apa … aku perlu bicara dengan Bibi? Mungkin bisa membantu?" tanya Ino ragu.

Shikamaru terdiam. Tiga detik, kemudian menjawab, "Entahlah."

Lalu mereka menghabiskan dango dalam diam.

Beberapa menit setelah tiga tusuk lidi menghiasi piring kecil, Ino meneguk habis isi gelasnya, sementara Shikamaru merogoh saku untuk mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.

"Aku harus menjemput Temari di gerbang desa," gumam pemuda itu seraya meletakkan uang di atas meja kayu dan menjepitnya dengan gelas tanah liat yang sudah kosong.

Ino mengangguk.

Shikamaru berdiri, kemudian menatap lurus gadis di depannya. "Arigatou, Ino," ujarnya.

Ino tidak menjawab, mata birunya menatap ke bawah. Diam, namun ia bisa mendengar langkah Shikamaru yang berjalan meninggalkannya. Menggigit bibirnya sebentar, Ino kemudian bangkit berdiri dan memanggil, "Shikamaru!"

Shikamaru berhenti. Punggung pemuda itu adalah satu-satunya yang bisa ditangkap oleh mata biru Ino.

Namun Ino diam. Ia sendiri tidak tahu apa yang ingin dikatakannya. Begitu saja ia memanggil Shikamaru, seolah pemuda itu akan benar-benar meninggalkannya. Tersenyum getir, perlahan Ino bersuara, "Sampaikan salamku pada Temari-san …."

Ino mengamati ketika satu tangan pemuda itu terangkat. Jaring-jaring di lengan pakaiannya terlihat ketika Shikamaru melambai, meninggalkan kedai tanpa suara.

Setelah membiarkan sepasang mata biru cerahnya menatap sisa-sisa jejak Shikamaru yang sudah tidak tampak, Ino melenggang keluar tanpa senyum. Rambut pirang panjangnya bergoyang lembut tertiup angin.

Waktu yang tersisa sudah tidak banyak untuknya. Namun perasaan itu masih saja menghantuinya, mencabiknya dari dalam. Ino harus berhenti mencari punggung pemuda itu di pantulan matanya.

Karena masa depan tidak ada baginya dan Shikamaru.

.

#

.


Pertemuan kembali setelah satu bulan itu diisi tanpa banyak bicara. Shikamaru dan Temari berjalan dalam diam. Keduanya menyimpan pikiran masing-masing, enggan bicara.

Atap bangunan tua yang masih sama, gubuk kayu kecil yang belum berubah, di sana mereka berhenti. Sore yang cerah ketika langit masih berwarna biru kekuningan. Awan-awan berarak diam mengikuti angin.

"Bagaimana—" Temari akhirnya yang pertama kali membuka mulut. Ia bertanya, meski tidak menoleh pada sosok yang diajaknya bicara. Entahlah—seperti segalanya sudah ditebaknya. "—kita—?" sambungnya.

Shikamaru diam. Ia merogoh saku, mencari-cari rokoknya. Akhirnya ia menjadi sosok pria dewasa yang tidak bisa melepaskan diri dari rokok—terutama ketika sedang banyak pikiran.

Namun, Shikamaru mengurungkan niat itu ketika teringat gadis di sampingnya bisa saja melempar kunai padanya karena asap rokok. Yah—itu jika gadis itu punya waktu untuk memikirkan hal remeh seperti rokok selain masalah pernikahan.

Shikamaru membatin dalam hati, bahwa terlibat dalam urusan asmara adalah sesuatu yang paling merepotkan yang pernah dilaluinya. Pemuda itu menghela nafas. Ia akhirnya menyerah dan merogoh saku untuk mengeluarkan batang rokok serta pemantik apinya.

CLING.

Pemantik berdenting. Asap putih membumbung perlahan. Tak seperti biasanya, Temari tidak berkomentar. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun. Shikamaru sudah menduganya.

Lalu suara pemuda itu mulai terdengar, "Semua ini sangat merepotkan—"

Lagi, Temari tidak menanggapi. Ia diam.

"Aku bisa menganalisis hanya dari melihat wajahmu sejak di gerbang tadi," ia melanjutkan. Temari menundukkan kepalanya. "Bukan hanya aku yang menerima penolakan" ia menoleh, "benar?"

Diam lagi. Beberapa burung gagak penanda senja mulai bersahutan. Langit perlahan menjadi keemasan dan belum ada yang bicara lagi. Hanya asap yang dalam tempo lambat bergabung dengan oksigen di sekitar mereka.

"Sudah kuduga. Kedua adikmu tidak menyukaiku."

"Bukan!" sergah Temari.

Tapi tidak ada yang saling memandang. Suasana mereka benar-benar menjadi tidak enak.

"Gaara… memintaku memikirkannya lagi. Ia tidak setuju, sepertinya. Tapi … bukan karena membencimu. Aku bisa memastikan itu," Temari berujar pelan.

Shikamaru membuang rokoknya. "Kau tentu bisa menebak apa yang orangtuaku katakan," ujarnya.

Temari menunduk lagi. Rasanya sedikit menyakitkan—meski sudah diduganya dari awal.

"Pernikahan," Shikamaru menerawangkan pandangan ke arah awan putih yang berarak, "andai bisa semulus arakan awan itu—"

Perlahan, Temari membiarkan mata turquoise-nya memandang pemuda itu. Pemuda jangkung berambut hitam dalam balutan busana hitam dan jaket jounin. Pemuda yang dikenalnya sejak usia remaja, yang entah bagaimana memenjaranya dalam ikatan aneh yang tak dimengertinya.

Semua terjadi begitu saja, mengalir seperti awan di langit. Bergerak lambat … namun pasti.

"Shikamaru—aku—" ia mulai berujar. Jari-jarinya yang indah merayap dan berhenti tepat di kepalan tangan Shikamaru. Temari merasakan pemuda itu mengepalkan tangannya begitu kuat—berlawanan dengan kata-kata tenangnya yang tanpa beban. Perlahan, seperti merasakan sebuah tusukan asing di hati, ia mencengkeram tangan itu.

Shikamaru menundukkan kepala. Dadanya bergemuruh oleh perasaan asing yang sama sekali tak disukainya. Kemarahan yang ganjil—entah pada siapa. Menerima cengkeraman tangan Temari membuatnya merasa seperti satu bagian otaknya bekerja lebih keras. Ia sudah berpkir lama—ya. Lalu, apa mungkin memang tidak ada jalan lain selain itu?

Langit mulai berubah semakin merah, dan masih tak ada yang saling bicara. Keduanya tenggelam dalam sebuah dunia yang sama, hanya di pikiran masing-masing.

Lalu sebuah desahan kecil terdengar dari Nara Shikamaru. Pemuda itu akhirnya menoleh, menatap lekat gadis berambut pirang lembut di depannya. "Dengar, ini semua sangat merepotkan. Kau tahu aku sama sekali tidak suka terlibat dalam hal-hal merepotkan," ujarnya.

Temari menyudutkan bola matanya ke arah kiri. "Aku tahu—"

"Tapi," Shikamaru melanjutkan. Ia kini menggenggam kuat tangan Temari, merasakan jari-jari gadis itu bersandar di telapak tangannya. "Aku lebih tidak menyukai ketidakjelasan tak beralasan yang membuat seluruh hidupku jadi semakin merepotkan," tutupnya.

Sepasang turquoise Temari membulat sedikit.

Pemuda itu menoleh, lalu menatap serius, membuat jantung Temari berdebar sedikit lebih keras. "Jika mereka menolak—" ia mulai. "—kita buat mereka tidak punya pilihan selain menerimanya."

Temari menatap dengan agak tidak percaya. Dalam pikiran, sesungguhnya ia mampu menebak apa maksud pemuda itu. Ia hanya … tidak percaya pemuda itu sungguh-sungguh akan melakukannya.

"Benarkah—?" Temari tidak tahu mengapa kata itu yang meluncur dari bibirnya.

Nara Shikamaru menarik bibirnya hingga membentuk senyum khas yang selalu Temari suka. Wajah pemuda itu mendekat ketika ia berujar, "Dasar wanita merepotkan. Kau yang sudah menyeretku dalam situasi ini. Jadi, kuasumsikan kau siap menanggung risikonya."

Temari nyaris merasa jantungnya berhenti berdetak. "Shika—" ucapannya terputus oleh ciuman lembut dari pemuda di depannya. Ia merasa semua kekhawatiran yang menyergap hatinya mendadak cair dan menguap.

Beberapa saat kemudian Shikamaru menarik diri. "Jadi," ujarnya menatap gurat kemerahan di pipi Temari, "tempatmu?"

Gadis itu memalingkan wajah. Shikamaru tampak begitu serius hingga ia merasa wajahnya memanas akibat imajinasi tak diduga yang melintasi kepalanya.

Detik demi detik berlalu ketika Temari akhirnya kembali menguasai diri dan menjawab, "Tidak."

Satu alis Shikamaru terangkat. Ia baru saja akan meruntunkan protes ketika tiba-tiba Temari bangkit berdiri, menoleh dan menatapnya dengan tajam.

"Sebelum kau pastikan bau rokok itu tidak tercium lagi olehku," sahutnya dingin. Gadis itu kemudian berbalik dan melenggang perlahan seraya membawa gulungan besarnya di punggung.

Nara Shikamaru termangu beberapa saat sebelum akhirnya mendecak. Tersenyum kecil, pemuda itu bergumam tanpa terdengar, "Dasar wanita merepotkan."

.

#

.


.

Bersambung

.


Catatan Faria:

Fanfiksi ini pertama kali saya tulis pada tahun 2009 sebagai karya multichapter dengan genre drama pertama saya. Well, ini dan itu sehingga akhirnya saya berujung belum mempublikasikan ini. Tahu-tahu sudah 2013 saja; sekarang karya ini sudah jadi Alternate Reality (mengingat banyak kematian di canon baru-baru ini).

Bagi yang pernah membaca dua karya birthday fict Nara Shikamaru saya berjudul 'Seperti Awan' dan 'Seperti Mimpi', ya, karya ini akan menjadi semacam prekuel (tidak benar-benar bisa diartikan demikian).

Anyway, saya memutuskan untuk menuntaskan terlebih dahulu publikasi karya ini. Warm hug for Sanich Iyonni as my wonderful friend and beta-reader :) Terima kasih karena selama saya menghilang, Sanich-san tetap mensuplai saya dengan karya-karya terbaik dan selalu menyapa saya di kala senggang.

I'll try my best to finish this one. Last but not least, happy birthday to Nara Shikamaru :) It has been 7 years since the first time I adore him. And he becomes more and more awesome! Semoga saya masih bisa menghadiahkan birthday fict untuknya di tahun-tahun berikut.

Thank you for reading :)

.

~fariacchi – 130922~