.

Fuuto mendesis. "Apa yang sedang kamu lakukan disini?"

Eiichiro-san membalas tatapan Fuuto dengan seringaian sambil merangkul bahuku. "Halo Fuuto. Lama tak jumpa."

Wajah Fuuto memerah menahan amarah.

Aku menelan ludah susah payah, sambil berusaha kabur dari rangkulan Eiichiro-san.

Oh tidak! Jangan bilang perang dunia ketiga bakal dimulai?

Please, aku nggak mau ikutan!

.

Stalker Conflict © AzuraLunatique

Brothers Conflict © Idea Factory & Otomate

Brothers Conflict © Udajo & Kanase Atsuko

Fortissimo © Udajo & Kanase Atsuko

Genres are Romance, Family, Humor, Slice of Life

Rate is T

.

This fic, fully, follow Brother Conflict Anime's plot, but, doesn't fully follow Brother Conflict Novel's and Fortissimo Novel's plots.

.

I just own the story and few OCs.

I mean, many OCs. #teehee

Happy reading! XD

.

Chapter 20

The Connecting Souls

UDARA ruangan terasa begitu menusuk kulit. Mungkin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang menyala dan menghembuskan udara dingin, namun atmosfer ruangan yang mendingin dikarenakan dua orang yang kini saling menatap satu sama lain dengan tatapan membunuh.

Fuuto tersenyum sinis. "Ah, lama tak melihat muka busukmu, Eiichiro."

Eiichiro-san menyeringai geli. "Hm, lama tak melihat wajah tak terkenalmu, Fuuto."

Fuuto menggeram tak suka. "Muka busuk dan pantat tak bertalenta sepertimu ngapain ada disini? Orang tak berkempentingan sebaiknya tak mengganggu."

Seringaian Eiichiro melebar. "Oooh, sayangnya, bagian itu kau salah Fuuto. Bukan begitu, Ai-chan?"

Deg.

Panggilan itu menghentakku. Aku melirik ke arah Fuuto dan jantungku berdenyut perih. Aku tak bisa menjabarkan kata-kataku akan wajah Fuuto saat pria itu mendengar panggilan Eiichiro-san selain terkejut dan… sedih?

Kenapa wajah Fuuto seperti itu?

Aku berdeham, berusaha menetralkan tenggorokan keringku. "Fuuto, Eiichiro-san disini akan menjadi penyanyi OST untuk film ini. Jadi, ia tidak mengganggu sama sekali."

Eiichiro-san tersenyum lebar ketika mendengar jawabanku. "Tuh, dengar kan? Aku nggak ganggu Ai-chan sama sekali."

Aku meneliti wajah Fuuto dan menemukan ekspresi masam Fuuto yang jarang sekali aku lihat.

Fuuto mengulum kedua tangannya di dada dan menampakkan wajah mencemooh yang menurutku tak begitu meyakinkan. "Hmm, Eiichiro, berani juga kamu memanggil cewek gila itu dengan panggilan itu."

Eiichiro-san meraih pinggulku dan menarikku ke dalam pelukannya. "Tentu saja," seringainya semakin terlihat mengerikan, "kami berdua kan dekat."

Fuuto mendesis. "Jerk."

Eichiro-san terkekeh. "Bastard."

"Di*k."

"As*ho-"

"CUKUP KALIAN BERDUA!" teriakku, berusaha melerai dua bocah kurang etika. "Kalian kayak bocah nggak berpendidikan aja! Stop! Enough you two! Eichiro-san! Sudah nggak ada urusan dengan Yamashita-san, kan? Let's go!" Aku menarik tangan Eiichiro-san ke arah pintu dan menggeram kesal ketika melihat Eiichiro-san melambaikan tangannya ke arah Fuuto, tampak mengejek Fuuto. Aaargh. Kenapa mereka berdua nggak akur sih? Bukannya mereka satu tim?

Sebelum aku menutup pintu ruangan, aku sekali lagi melirik ke arah Fuuto dan hatiku pun teriris, mendapati tatapan sedih Fuuto yang ditunjukkan padaku.

.

.

.

"Oke! Rina-chan, angkat dagunya sedikit dan tatap Fuuto-kun dengan mesra ya," perintah fotografer yang hari ini memimpin sesi pemotretan. Aku menatap kedua sejoli itu dengan pandangan sedih.

Film ini jadi sorotan khalayak ramai dikarenakan pasangan dalam film juga merupakan pasangan di dunia nyata. Pasangan Fuuto-Rina menjadi buah bibir masyarakat meski yang kudengar sebagian masyarakat menyayangkan hubunganku dengan Fuuto. Aku mengerang tak percaya. Sampai saat ini, rasa sukaku pada Fuuto masih menetap di relung hatiku. Aku memaki diriku yang menjauh dari Fuuto demi menyelusup ke Anti-Fan Base.

Ck. Sabar Aika. Ini tak akan berlangsung selamanya. Ketika semuanya berakhir, aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.

Dengan keyakinan baru, aku tersenyum sepanjang pemotretan. Ketika giliranku dan Fuuto, meskipun sekilas, aku menangkap senyuman di bibir pemuda itu. Aku tertawa dalam hati dan dengan bold-nya, aku menatap penampakan yang ada dihadapanku.

Jujur saja, Fuuto jauh lebih dewasa dibanding 2 tahun lalu ketika aku meninggalkan Jepang. Rambut ikal kecoklatannya jatuh dengan manis di wajahnya yang kini tidak lagi manis namun tampan dan, err- seksi? Ugh. Jantungku. Aura wajahya masih tidak berubah, full of mischief. Mata coklatnya bersinar ketika mendapatiku menatapnya dan salah satu alisnya terangkat, membuatku sedikit gemas. Tingginya mencapai sekitar 176 sentimeter. Dibandingkan tubuh mungilku, dia terlihat layaknya titan.

Aku mendekat dan berdiri tepat di samping Fuuto. Fotografer mulai memberikan instruksi dan mengatakan untuk tidak grogi. Aku menoleh dan mendongak, mencoba menatap wajah Fuuto. Tiba-tiba, Fuuto terkekeh sambil menunduk dan menatap dengan tatapan meneliti. Alisnya berkerut, tampak berpikir.

"Kamu pendek banget," ujar Fuuto yang tak bisa lagi membendung tawanya.

Aku memonyongkan mulutku, sebal. "Kamu yang ketinggian!"

Cengiran tersampir di bibir Fuuto, dan dengan santainya ia mengusap rambutku, membuat jantungku berdetak tak karuan. "Kamu imut banget sih. Emang 2 tahun ini kamu nggak ada nambah tinggi apa?" Perkataannya sukses membuat wajahku memerah. Sial.

"Nambah kok. 4 milimeter!" jawabku bangga, dengan efek dramatis, aku berkacak pinggang. Merasa luar biasa.

Dan tawa Fuuto pun meledak. Masih sambil mengusap rambutku, ia membungkukkan badannya, berusaha meredam tawa.

Samar-samar aku mendengar ucapan-ucapan yang diucapkan orang-orang yang berada di ruang pemotretan, dan kebanyakan mengungkapkan betapa kami pasangan yang sangat manis. Aku tersenyum dalam hati. Rasanya pengen goyang.

Aku menggeram malu."Nggak sopan, ih. Aku lebih tua, tau!"

Fuuto berganti dari mengusap rambut short bob-ku menjadi mengusap pipi kananku lembut, membuat wajahku yang memerah makin mirip dengan tomat. Dan saat ini, aku tak lagi memperdulikan sekelilingku. Dunia berasa milik berdua. Hanya aku dan Fuuto.

Ouch. That's sound so cheesy.

Tiba-tiba, sebuah deheman dan beberapa batuk yang disengaja terdengar, membuyarkan atmosfer yang ada di antara aku dan Fuuto. Aku menoleh ke arah fotografer yang kini menyeringai puas.

"Giliran kalian sudah nih. Mau sampai kapan lovey-dovey-nya?" Aku sontak terkekeh lalu mundur selangkah, menyebabkan tangan Fuuto tak lagi di pipiku.

Dengan ragu, aku melangkah menuju sudut ruangan dan mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Aku tak menyangka sesi fotoku dengan Fuuto menjadi momen yang cukup mesra di antara kami.

Sesi berikutnya adalah antara Rina dan Iori-san. Pasangan utama yang merupakan Fuuto dan Rina juga cewek yang menyukai Fuuto, yaitu aku. Kemudian, cowok yang menyukai Rina, yaitu Iori-san. Aku mendengar sautan-sautan dan dengan malas aku mengangkat tatapanku dari ponselku. Aku mengkerut melihat fotografer yang tampak marah.

"Kalian nggak bisa apa mesra dikit aja? Iori-kun! Senyumanmu tampak nggak tulus! Gimana mau akting kalau pemotretan aja kayak gini!" seru sang fotografer dengan nada heran.

Iori-san menundukkan badannya. "Maaf, saya akan memperbaiki atitude saya. Saya pribadi tidak terlalu menyukai wanita ini. Mungkin karena itu saya jadi nggak profesional. Maafkan saya. Saya akan menunjukkan keprofesionalan saya."

Aku menganga, juga beberapa orang yang ada di ruangan. Blunt. Super jujur. Gila. Aku menggelengkan kepalaku geli. Aku mendapati wajah memerah penuh amarah milik Rina. Sedangkan sang fotografer kini menatap Iori-san dengan tatapan tak percaya lalu terkekeh. Mengucapkan sesuatu yang tak bisa kudengar.

Sesi pemotretan berlangsung. Meski Rina sempat terlihat kesal pada Iori-san, dengan keprofesionalan wanita itu, sesi Iori-san dan Rina berjalan lancar. Setelah Iori meninggalkan area pemotretan, namaku pun dipanggil. Dan sang fotografer langsung menyeletuk, betapa Rina tampak sudah menghayati perannya, yang begitu membenciku. Aku hanya terkekeh geli.

Sesi aku dan Rina berjalan lancar dikarenakan memang dari lubuk hati kami yang terdalam, kami adalah rival, dalam mengejar Fuuto. Ketika aku keluar gedung, langit telah memerah, menandakan malam akan menghampiri. Aku berjalan menuju stasiun.

Eiichirou-san menawarkan tumpangan, namun aku menolak. Entah kenapa, sore ini aku ingin menyendiri. Hanya diriku dan jalan pikiranku.

.

.

.

Aku akhirnya sampai di mansion dan langsung memencet tombol angka 5 di lift. Baru saja lift mau menutup, pintu lift ditahan oleh sebuah tangan dan pintu pun terbuka kembali. Aku tersenyum menatap pria yang ada di hadapanku. Natsume-san tampak lelah namun ketika pria itu melihatku, senyuman mengembang di wajahnya.

"Hai, Aika-san."

"Hai, handsome. Kerjaan lagi berat?" tanyaku, khawatir.

"Yeah. Ada masalah di bug dan sebagian programmer di tim, sakit. Sedikit kewalahan, tapi mulai teratasi." Natsume-san menyenderkan tubuhnya di dinding lift ketika lift mulai bergerak.

"Sebulan lagi. Semuanya akan selesai." Ucapku, tak mencantumkan apa yang kumaksud, namun aku yakin Natsume-san mengerti.

Pria dengan rambut oranye itu tersenyum sedih. Tangannya mengusap rambutku tanpa berkata apa-apa, membuatku tenang. Membuatku melupakan rasa takut akan kemungkinan adanya kesalahan yang terjadi dalam perencanaanku.

Sesampainya di lantai 5, aku langsung menuju ruang keluarga dan Natsume-san mengekor di belakangku. Namun, aku terkejut tatkala menuruni tangga dan menemukan seseorang sedang duduk di sofa panjang berwarna merah itu dan menundukkan wajahya seperti sedang bersedih. Natsume-san tampaknya juga menyadari kehadiran wanita itu dan berlari menuruni tangga, melewatiku yang masih terkejut.

Ema-chan mengangkat wajahnya ketika menyadari seseorang menghampirinya. Wajah Ema-chan tampak terkejut. Kedua matanya meluruh, air mata mengalir dengan cantiknya. Wanita itu berdiri tatkala Natsume-san menghampirinya. Dan aku terkejut tatkala Ema-chan tiba-tiba memeluk Natsume-san dan menangis lebih keras. Aku membelalakkan mataku, tak percaya apa yang dilakukan Ema-chan. Aku hanya berpikir akan penolakan Ema-chan pada Natsume-san beberapa waktu lalu, dan kini, wanita itu memeluk Natsume-san layaknya Natsume-san adalah lifeline-nya.

Sepertinya ada yang tidak beres, batinku berbisik.

Sepuluh menit terlewati dan aku sudah kayak kambing congek, duduk manis di tangga paling bawah dan menatap dua manusia yang saling memeluk layaknya pasangan paling serasi sedunia. Aku pun pergi ke dapur, mengambil jus beri milikku, lalu kembali ke ruang keluarga. Aku terkejut tatkala mendengar apa yg diucapkan Ema-chan.

"Temani aku." Ema-chan menatap Natsume-san dengan pandangan sedih menyayat hati.

Aku mengerutkan keningku. "Apa yang terjadi?" tanyaku dengan nada heran.

Natsume-san memandangku tak suka. Sepertinya, pria itu menyadari nada bicaraku yang tidak sopan sama sekali. Aku tak peduli. Instingku mengatakan, ini tak seharusnya terjadi. Ema-chan tak seharusnya ada disini. Natsume-san mengelus rambut Ema-chan sambil mengucapkan kalimat-kalimat menenangkan.

"Apa ada masalah dengan Subaru-san?" tanyaku lagi, tak peduli pertanyaanku sepertinya membuat tangisan Ema-chan semakin keras.

Natsume-san menatapku kembali dengan tatapan tajam, membuatku kesal. Siapa coba, yang kembali ke Jepang, demi menemani Natsume-san yang patah hati, dikarenakan Ema-chan? Aku. Siapa yang mematahkan hati Natsume-san? Wanita yang sedang dipeluk Natsume-san. Siapa yang menemani dan membantu lepas dari pedihnya patah hati? Wanita yang kini ditatap tajam.

Aku mendengus kesal. Nasib aku menyedihkan banget sih.

Ema-chan menundukkan kepalanya ke dada Natsume-san dan sesengukan. Tampak berusaha untuk berhenti menangis. "Aku dan Subaru-san bertengkar." Tangisan kembali terdengar. Aku kembali mendengus. Sudah kuduga mereka ada masalah. "Aku tidak yakin apakah pernikahan kami akan masih berjalan."

Aku membelalakkan mataku. Aku menatap bagaimana Natsume-san tampak mengeratkan pelukannya dan wajahnya menampakkan pengharapan. Hatiku berdenyut nyeri. Entah kenapa aku tak suka melihat harapan yang begitu nampak. Aku merasa, pada akhirnya, Natsume-san akan kembali tersakiti.

Langit telah menghitam dan aku penasaran, mengapa tak ada orang selain kami bertiga di lantai ini. Pada kemana mereka?

"Ema-chan. aku tahu kamu lagi bersedih. Tapi, menurutku, kamu tak seharusnya kesini. Lari dari masalah tak akan membawa kamu kemana-mana. Dan, aku berharap kamu nggak bergantung pada Asahina Bersaudara yang menyukaimu, tidak sebagai seorang saudara, khususnya Natsume-san," ucapku panjang lebar, berharap opiniku didengar dan dipahami.

"Aika-san." Natsume-san menggeram ke arahku. Tanpa bisa kuhindari, aku sakit hati. Apakah aku hanya seorang teman yang dibutuhkan di kala sedih, tapi dibuang tatkala senang? "Perkataanmu terlalu kejam. Ema selalu diterima disini."

"Apakah Natsume-san tidak menyadari kalau nanti pada akhirnya Natsume-san akan tersakiti? Aku bisa melihat pengharapan di mata Natsume-san! Jangan berpura-pura tidak menyadarinya! Aku melihatnya dengan jelas!" seruku mulai kesal. Aku menyayangi Natsume-san layaknya kakak laki-laki yang tak pernah kupunya. Bahkan aku rela jauh-jauh ke Jepang demi dirinya. Tapi, bahkan nasihatku tak didengarnya. Ia lebih memilih wanita yang ia cintai meski wanita itu juga yang mematahkan hatinya. Damn it!

Kenapa aku yang biasanya tenang dalam menghadapi masalah, malah kesal? Aku merasa, jika Ema-chan disini dan menjadikan tempat ini sebagai pelariannya, ada hal buruk yang akan terjadi.

"Aku baik-baik saja! Ema butuh seseorang! Kamu nggak sok tau, Aika-san! Aku nggak akan pergi meninggalkannya," ucap Natsume-san tegas, dan aku dapat melihat harga dirinya dan betapa ia merasa ia dianggap sebagai pahlawan oleh Ema-chan. Open your eyes! This is bullshit!

"I've warn you. Next time you ask for my help, I will still come for you. Because, all this time, I thought you as a brother. Tapi, kalau Natsume-san tidak menganggapku sebagai seorang adik, it's okay. Semoga Natsume-san bahagia." Aku berjalan menaiki tangga, dan aku cukup terkejut menemukan Tsubaki-san, Kaname-san dan Hikaru-san di ujung tangga.

Aku tersenyum ke arah mereka namun tak mengatakan apa-apa. Aku masuk ke lift dan menekan lantai dimana kamarku berada. Aku membersihkan tubuhku, dan setelah melakukan night routine-ku, aku menatap langit-langit kamarku. Perasaanku masih tak menentu. Aku merasa seperti bangsat karena bersikap kasar pada Ema-chan, but, I can't help it.

Somehow, in the near future, a hell will break loose.

Aku menghela nafas panjang. Aku meraih jaketku dan meraih topi wolku. Akhir-akhir ini, malam cukup dingin, membuatku gemetar kedinginan.

Aku keluar dari mansion dan berjalan tak tentu arah. Hanya mengikuti instingku. Membiarkanku larut dalam sunyinya malam. Aku terkejut tatkala menemukan taman yang tampaknya begitu familiar.

Aku tersenyum ketika menyadari ini adalah taman dimana aku pertama kali bertemu dengan Fuuto. Kala itu, Fuuto begitu manis dan membuatku bahagia dengan kesungguhannya. Aku berjalan menuju ayunan dan duduk di salah satu ayunan berwarna merah. Aku mulai mengayunkan badanku.

"Are you a kid? Swinging like that." Sebuah suara membuatku berhenti mengayun dan mencari orang yang berani-berani mengatai aku anak kecil. Aku emang kecil, tapi bukan anak kecil.

Betapa terkejutnya aku menemukan Fuuto dengan segala ketampanannya berdiri tak jauh dariku. Seringaiannya membuat jantungku melompat tak karuan. Ah, betapa aku merindukan sikapnya yang satu itu. Jahil tapi begitu penuh cinta.

"Kamu ngapain disini malam-malam?" tanyaku, heran. Fuuto mengidikkan bahunya. Ia berjalan menghampiriku dan duduk di ayunan di sebelahku. Aku menyeringai melihat betapa ayunannya terlihat sempit untuk pantat Fuuto. "Wah, jangan duduk di ayunannya. Kamu mau ayunannya rusak? Gara-gara tubuh besarmu itu?"

Fuuto melirik ke arahku dan menaikkan sebelah alisnya. "Kamu menghina tubuh seksiku ini?" ucapnya dengan nada pura-pura tak percaya, membuatku tertawa. "Aku memang sering kesini. Kamu aja yang asal masuk ke daerah kekuasaanku."

Aku memutar kedua bola mataku. Bocah banget ini cowok.

Selama beberapa menit, aku dan Fuuto hanya berdiam diri. Aku tersenyum menatap langit malam yang tampaknya penuh oleh awan. Tak satupun bintang atau bulan yang hadir. Aku menghela nafas panjang tatkala memori tadi sore menghampiriku. Aku menundukkan wajahku ke tanah yang kini penuh jejak sepatu converse-ku. Aku masih tak percaya Natsume-san lebih memilih Ema-chan.

Aku melirik ke arah Fuuto yang sedang menutup matanya, merasakan hembusan angin. Pemuda itu tampak begitu tampan dan seksi. Ugh. Cinta emang buta.

"Aku memang tampan, tapi rasanya tatapanmu bisa bikin kepalaku bolong deh," ucapnya, tanpa membuka matanya.

Aku memonyongkan mulutku. "Cih. Sombong amat."

"Aku pantas buat sombong."

Aku kembali memutar kedua bola mataku. "Eiichiro-san lebih ganteng dari kamu." Aku menyeringai, sadar bahwa aku telah membuatnya marah. Eiichiro-san adalah topik yang selalu bikin Fuuto marah.

Ow, see? Kedua alisnya mengerut tak suka dan wajahnya mulai memerah.

"Kamu selalu begitu ya? Si brengsek itu pria keberapa ha? Dasar playgirl!" desis Fuuto, tampak tak bisa lagi membendung amarahnya.

Aku mengernyit heran. "Kenapa sih kamu selalu bilang kalau aku tuh playgirl? Memang Eiichiro-san sedang mendekatiku. Aku kan single! Terserah aku dong!"

Fuuto berdiri dari ayunan dan melipat tangannya di dada bidangnya. "Ooh, jadi kalau ada pria yang mendekatimu, kamu terima semuanya gitu? Kamu nggak punya pendirian apa?"

Aku ikut beranjak dari ayunan yang kini berderit karena gerakanku terlalu cepat. "Kamu bilang aku nggak punya pendirian? Maksud kamu apa? Aku hanya mencari cinta. Aku mencari pria yang tulus mencintaiku. Kalau Eiichiro-san bisa memberikannya, aku tak masalah. Kamu tak tahu tentang hidupku! Jangan sok tahu!"

"Ooh, aku tau banget tentang kamu. Aku tau kamu punya banyak mantan! Pria-pria selalu ada di dekatmu dan kamu selalu melayani mereka. Jelas banget kalau kamu playgirl."

"Apa salahnya punya banyak kenalan pria? Aku memang payah dalam berteman dengan perempuan, lalu apa masalahnya? Kamu kayak yang cemburu aja," tembakku.

"Haa? Cemburu?" wajah Fuuto mengernyit tak suka. "Siapa yang cemburu? Aku hanya mengungkapkan fakta. Asal kamu tahu aja, itu salah satu alasan aku pengen putus sama kamu! Kamu nggak bisa jaga perasaan aku!"

Aku terdiam lalu menghela nafas lelah. "Hubungan itu didasari atas keterbukaan. Kalau kamu emang nggak suka, bilang ke aku. Dibanding mereka, kamu lebih penting. Selama aku bisa, aku akan membuat kamu senang. Mengikuti apa yang kamu mau. Kamu aja yang sok cool, sok benar segalanya." Aku mendengus. "Lagipula, sampai sekarang, hanya kamu pria yang aku suka. Jadi kamu nggak usah sok-sok nyeramahin aku atas hubunganku dengan pria lain. Menyebalkan tahu!"

Hening.

Aku menundukkan wajahku. Tak percaya selama ini Fuuto membenci hubunganku dengan teman-teman priaku. Ia bisa saja bilang. Ah, tapi jujur saja. Aku juga tak akan sepenuhnya menghindar dari teman-temanku meski ia minta. Aku akan menjauh, tapi aku tak terbiasa hidup menyendiri. Mereka temanku. Meski ada beberapa yang mantan, kami berteman baik. Meski ada yang pedekate dan aku tolak, kami berteman baik. Karena mereka tahu, hatiku sudah ada yang punya dan aku merupakan truefriend-material yang di zaman ini susah untuk ditemui.

"Jadi," Fuuto terdiam untuk beberapa saat, seringaian tersampir di bibir seksinya, "kamu, masih suka sama aku?"

"Ha?" aku menegakkan wajahku, menatap heran ke arah Fuuto. "Dari sepanjang ucapanku tadi, kamu cuma menangkap bagian itu?"

Fuuto menyeringai. "Well, that's just so exclusively… soothing?"

"What do you mean?" aku menatap Fuuto tak mengeri.

Tiba-tiba, Fuuto mendekat ke arahku. Mengangkat tangannya dan membelai pipiku yang membeku karena udara dingin. Kedua tangannya mengusap-usap pipiku, sepertinya berusaha menghangatkan pipiku yang sebenarnya, selain karena tangannya, juga karena debaran jantungku yang menggila.

"I mean, I.." Fuuto menutup mulutnya. Bibirnya membentuk garis lurus.

Aku menatap mata coklat Fuuto yang kini bersinar, menampakkan perasaannya. Happiness, lust, scared, and… love? Aku terpaku pada tatapannya yang begitu menghanyutkan, membuatku tak menolak ketika Fuuto menurunkan kepalanya, memindahkan tangan kanannya ke pinggangku dan menarikku sehingga badanku dan badannya menempel satu sama lain. Tak berselang lama, bibirnya menyentuh bibirku dan menciumku dengan lambat, namun penuh dengan perasaan.

Sparks felt through our touch, our lips and our eyes meet. I can feel the love in his eyes, which it makes my stomach churns and my heart boils.

Pagutan kami terlepas, paru-paru kami memaksa untuk mencari udara. Hembusan nafasku dan Fuuto saling bertambrakkan membentuk kilasan embun. Aku tersenyum.

"That was, awesome," bisikku. Aku yakin, kini pipiku tak bedanya dengan tomat. Merah.

Seringaian kembali ke wajah Fuuto, menampilkan kejahilan yang bersinar terang di matanya. "Hmmm, tentu saja."

Dan kami pun kembali memagut bibir kami. Merasakan percikan-percikan memabukkan yang sungguh, membuatku ingin waktu untuk berhenti. Merelakan diriku terhanyut.

.

.

.

Kehangatan menjalar dari tautan tanganku dan Fuuto. Udara lift yang cukup dingin tidak mengangguku sama sekali. Pintu lift pun terbuka dan aku terkejut tatkala sosok Natsume-san berdiri di seberang lift. Aku terdiam sesaat sebelum tersadar ketika Fuuto menyapa Natsume-san. Aku tak mengatakan apa pun saat Fuuto berbincang dengan Natsume-san. Aku masih sakit hati akan ketidak pedulian Natsume-san akan saranku.

Aku menghela nafas. Mulai berpikir, apakah cara penyampaianku terlalu kasar sehingga Natsume-san tak menggubris sama sekali.

"Omong-omong, kalian pacaran kembali?" tanya Natsume-san, sambil menatap tautan tanganku dan Fuuto.

Fuuto menyeringai. "Belum."

Natsume-san mengernyit. "Belum?" kemudian, kesadaran akan sesuatu tampaknya mulai disadari Natsume-san. "Ah, kamu masih pacaran sama aktris itu kan?"

Wajah Fuuto berubah menjadi cemberut. "Jangan ingatkan aku akan nenek lampir itu."

"Nenek lampir?" Natsume-san tampak terkejut juga tertarik.

"Hubunganku dan nenek lampir itu hanya sebatas publikasi. Kalau bisa, aku tak ingin dekat-dekat dengannya." Fuuto mengedikkan bahunya, tampak tak ingin melanjutkan topik menganai Rina yang Fuuto sebut sebagai Nenek Lampir. Aku tersenyum dalam diam.

Natsume-san tampak kikuk. "Oh, kalau begitu, selamat?" ucapan selamat Natsume-san berujung tanda tanya. Membuatku mendengus.

Fuuto menarikku menjauh dari Natsume-san. "Kalau begitu, oyasuminasai, Aniki."

Natsume-san mengangguk. "Ya. Oyasumi."

Aku dan Fuuto berjalan ke arah kamarku. Fuuto menyenandungkan salah satu lagunya. Aku tersenyum sambil menikmati alunan nada yang menari-nari di telingaku.

Aku mengernyit. "Menurutmu, apa yang dilakukan Natsume-san di lantai ini? Kamarnya kan bukan disini. Kamar Ema-chan juga di lantai atas."

Fuuto menaikkan salah satu alisnya. "Ema-nee-san?"

Aku mengalihkan tatapanku dari Fuuto, mulai merasa takut akan reaksi Fuuto terhadap kedatangan tak terduga Ema-chan.

"Ema-chan tadi sore datang." Aku mengungkapkan fakta itu dengan nada malas.

Hening sesaat lalu Fuuto ber-oh.

"Aside from Ema-nee-san arrival, mungkin saja Aniki mau ketemu kamu. Kalian deket kan?"

Aku menolehkan wajahku dengan cepat, kagum leherku tak terkilir karenanya. Aku menatap Fuuto heran. "Kamu nggak penasaran kenapa Ema-chan kesini?"

Fuuto mengernyit. "Penasaran sih. Tapi kan besok juga aku bakal tahu saat sarapan pagi."

Aku tertegun. Tak percaya akan reaksi Fuuto.

Sejauh yang aku tahu, Fuuto adalah salah satu Asahina Bersaudara yang begitu teguh mengejar Ema-chan. Kayak udah cinta mati banget. Jadi, reaksi tak peduli Fuuto membuatku sedikit… bahagia? Ugh. Hatiku benar-benar tak bisa berbohong.

"Hei. Aku tahu loh, alasannya." Aku memancing.

Fuuto mendengus. "Nggak perlu. Nggak penting."

Hatiku tertawa bahagia mendengar jawaban Fuuto.

Oh my. Aku berasa bitchy banget.

"Oke." Dalam hati, aku meloncat-loncat bahagia.

Setelah aku berhasil membuka pintu kamarku, aku terheran-heran melihat Fuuto ikut masuk ke kamarku.

"Hei, kamu nggak punya delikasi apa? Asal masuk kamar gadis." Aku berkacak pinggang. Heran, juga kesal.

"Kamarku pasti berantakan deh. Aku dah lama nggak pulang." Fuuto duduk di ujung kasurku lalu meregangkan kedua tangannya ke atas. "Kamarmu bersih dan aku pengen tidur bareng kamu."

Aku mengerucutkan bibirku. "Tapi bakal sempit. Kamu pikir tubuhmu nggak gigan apa?"

Fuuto menyeringai. Ia beranjak dari kasurku dan menghampiriku. Tanpa kuduga, Fuuto mencium bibirku dengan cepat. "Sekali lagi kamu manyun-manyun kayak gitu, I will kiss you… senseless."

Pipiku menghangat dan jantungku berdebar dengan keras. Aku mencibir. "Situ pede banget bisa nyium aku sampai.. senseless?"

Fuuto kembali menaikkan alisnya, lalu seringaiannya melebar. "Wanna try it?"

Pipiku kuyakini makin memerah. Dengan cepat aku menggantung jaketku di walking closet dan berjalan menuju kasur.

"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh deh. Cepet tidur. Aku sibuk besok. Aku butuh tidur cantikku." Aku meraih selimutku dan menariknya menutupi tubuhku.

Fuuto tertawa kecil. "Bisa malu juga kamu, Ai."

"Ai?" bisikku, kaget. Jantungku berdebar dan panggilan itu terdengar bagai musik di telingaku.

"Si brengsek itu manggil kamu dengan sebutan 'Ai-chan'. Ogah aku manggil sebutan yang sudah dipake orang lain. Terutama si brengsek itu."

Aku menjulurkan lidahku ke arah Fuuto. "Dasar."

Fuuto hanya membalasku dengan kekehannya. Dan aku sontak membelalakkan mataku ketika Fuuto mulai melepas pakaiannya. Hingga tersisa boxer yang menggantung rendah di pinggang seksinya. Aku dapat melihat v-line milik Fuuto dan pemandangan itu membuat wajahku merah padam.

Aku mengalihkan pandanganku dan kaget ketika mendapati Fuuto menatapku dengan seringaian khasnya yang kali ini membuatku malu.

"Do you like it?" Aku dapat menangkap nada menggoda dari kalimat Fuuto.

Aku mendengus. "What do you mean?"

Fuuto memutar kedua bola matanya. Ia meraih pakaiannya dan meletakkannya di sofa ujung kamarku. Setelahnya, ia mendekat ke arah kasur lalu dengan tangannya menyuruhku untuk minggir. Aku mengerucutkan mulutku dan detik itu juga sepasang bibir menangkap bibirku dan melumatnya dengan rakus.

Badanku membeku sesaat sebelum membalas ciuman Fuuto dengan passion yang sama kuatnya. Bibir Fuuto begitu lembut dan hangat? Kedua tanganku menemukannya jalannya menuju leher Fuuto, juga rambut Fuuto. Dengan perlahan, aku menarik segelintir rambut Fuuto, membuat pria itu menggeram dan mengambil kesempetan itu untuk memasukkan lidahku ke dalam mulutnya yang hangat, membuatku mendapatkan respon kesal dari Fuuto. Tak lama, lidah Fuuto lah yang kini bermain dengan barisan gigiku, dan memelintir lidahku, membuatku lemas.

Tanpa kusadari, tubuhku telah berbaring di kasur dengan tubuh Fuuto di atas tubuhku. suara desahanku menggema di kamar, membuat suasana semakin memanas. Sesaat, Fuuto berhenti menciumku, namun matanya menatap lurus mataku dengan tatapan penuh cinta.

Ah, sepertinya aku mulai gila.

Fuuto melarikan hidungnya di hidungku dengan perlahan dan lembut, sambil tetap menatapku dengan mata kecoklatannya. Tangan kanannya membelai pipiku dan nafasku tersentak.

"I love you," bisik Fuuto.

Aku menggigit bibir bawahku. Mataku memanas, tak menyangka Fuuto akan mengatakan tiga kata ajaib itu padaku. Aku terisak. "I… I love you, too. So much."

Dan momen berikutnya membuatku semakin mencintai pria yang kini menjadi yang pertama bagiku dan kuharap, juga yang terakhir.

.

. [ A/N : Ehm, this is T-Rated, right? LOL. ]

.

Sinar matahari yang menembus tirai menampar mataku ketika aku membuka mataku perlahan, membuatku menggerutu. Aku menutup mataku. Berharap kepalaku tak berputar karena cahaya yang tadi menghantamku. Aku menggerakkan kedua tanganku, berniat meregangkan badanku yang kaku, namun berhenti ketika merasakan sebuah, emm, dinding? Hangat tapi keras. Aku membuka mataku untuk lebih jelas.

Aku melotot ketika mendapati wajah Fuuto tak jauh dari wajahku, dan pria itu jelas-jelas sudah segar dengan seingaian khasnya. Kedua matanya mengerling.

"Mornin'." Fuuto mencium dahiku, membuat wajahku memanas.

"M-morning." Aku meletakkan kedua tanganku di pipi Fuuto, membelai keduanya lembut.

"Kamu lucu deh, tidurnya." Fuuto terkekeh sambil kembali menciumku, kali ini di ujung hidungku.

Aku mendengus. "Apanya yang lucu?"

Cengiran Fuuto melebar. "Kamu mendesah-desah gitu. Sesekali memanggil namaku."

Aku menganga. "Kamu jangan ngebohong gitu deh!"

Fuuto tertawa. Aku sempat terhanyut oleh wajah penuh tawanya.

Gawat. Sepertinya aku sudah jatuh terlalu dalam.

"Maaf." Fuuto menarikku ke pelukannya. Aku mendesah nyaman. "Aku bohong kok."

"Kamu sudah berapa lama bangun?" tanyaku sambil menggerakkan jariku di dada Fuuto, membentuk lingkaran. Fuuto menggeram. Aku terkekeh.

"Cukup lama."

"Hmm."

Untuk beberapa menit, aku dan Fuuto hanya berdiam diri, memeluk satu sama lain. Mempelajari kehangatan satu sama lain. Pelukan Fuuto membuat merasa aman dan nyaman. Aku mungkin takkan pernah mau melepaskan pelukan ini, pikirku, sebelum…

Suara perutku mendemo meminta makan.

Aku menggerutu. "Dasar perut nggak tau suasana."

Fuuto terkekeh. Pria itu melepas pelukan kami, dan beranjak duduk. Aku ikut duduk di sampingnya sambil menarik selimut, berusaha menutup dadaku yang polos.

"Mau mandi bareng?" tanya Fuuto, membuatku mencibir. Fuuto mengusap rambutku. Rasa-rasanya, aku malas turun dari kasur.

Dengan gaya nggak tahu malu, aku mengangguk, menghadiahiku tawa Fuuto.

Dan pagi itu, aku bersiap-siap bersama Fuuto. Mandi, pakai baju… hem, meski kami baru keluar dari kamarku satu setengah jam setelahnya.

Ugh. Aku lapar. Banget.

Sebelum ke ruang makan, kami berhenti sebentar di kamar Fuuto, mengambil baju ganti untuk Fuuto. For your information, dari kamarku, menuju kamar Fuuto dan sekarang menuju dapur, aku digendong ala princess oleh Fuuto. Well, em, it's just hard to walk.

Aaargh. Aku malu banget.

Aku ingat bagaimana reaksi Fuuto ketika hal ini ia ketahui. Ia menggoda tak henti-hentinya sampai aku mengancam kalau ia takkan mendapat jatah jika ia tak berhenti menggodaku. Dan aku sedikit kesal karena ancamanku berhasil.

Dasar laki-laki.

Sesampainya di lantai 5, aku melirik ke sekelilingku.

"Apa yang kamu cari?" tanya Fuuto, heran.

"Nothin'." Aku meletakkan kepalaku di ceruk leher Fuuto. Ah, nyamannya.

Fuuto hanya mengedikkan bahunya. Tanpa kesusahan, Fuuto membawaku menuruni tangga dan sesampainya kami di lantai bawah, sebuah suara mengagetkanku.

"Apa yang terjadi?" suara Tsubaki-san melengkin dan aku mendapati pria berambut putih itu menghampiriku dan Fuuto.

"Nggak terjadi apa-apa." Fuuto menjawab.

Tsubaki-san mengernyit. "Lah, terus kenapa Aika-chan digendong?"

Aku memperhatikan sosok-sosok yang kini hadir di ruangan keluarga. Hampir sebagian ada disini. Ada Hikaru-san, Kaname-san, Masaomi-san beserta Wataru-chan, Yuusuke, dan Louis-san. Padahal, sebagian dari mereka memeliki apertemen sendiri. Aku terkekeh. Apa mereka datang karena Ema-chan?

"Ah, itu karena-"

"Aku pengen!" potongku. "Aku yang minta."

Aku menoleh ke arah Fuuto dan menatap tajam Fuuto yang kini menyeringai. Tahu kalau aku malu abis! Ish, jahat.

Fuuto membawaku ke sofa dan duduk di sofa tanpa melepaskanku. Aku memperbaiki posisi dudukku. Aku melirik ke beberapa pasang mata yang kini menatap tajam diriku dan Fuuto.

"Kenapa dengan wajah kalian?" tanyaku heran.

Yuusuke mendengus. "Aku baru tahu kalau kamu suka digendong," Yuusuke menatap Fuuto dengan pandangan tak suka, "oleh Fuuto."

"Memangnya kenapa? Kan kalian pada tahu aku suka sama Fuuto. Ada masalah gitu?" tanyaku, sebenarnya paham kenapa mereka menatapku layaknya melihat alien di pagi buta. Mereka kaget akan kedekatanku dengan Fuuto.

"Terakhir aku dengar berita," Hikaru-san tersenyum ke arahku, "kalian putus, dan… Fuuto pacaran dengan seorang wanita jelek yang aku lupa namanya siapa."

Aku terkekeh dalam hati. Jujur banget sih Hikaru-san. Namun, Rina-san nggak jelek. Mana mungkin jelek, lah dia kan aktris.

"Lupakan nenek sihir itu. Dan kami memang putus. Belum balikan." Fuuto menjawab dengan gaya tak peduli.

Kalau bukan karena misiku akan penyelamatan dari para anti-fans, aku mungkin sudah minta balikan dengan Fuuto. Dan aku juga paham kenapa Fuuto tidak memintaku untuk balikan dengannya. Mengingat statusnya di film ini dan entahlah. Tadi malam aku sempat menanyakannya sebelum kami tertidur, tapi ia tak menjawab dan mengalihkan perhatianku.

Hmm. Bikin penasaran.

Aku menyadari tatapan sedih Yuusuke, dan hatiku teriris. Aku hampir lupa akan pernyataan cinta Yuusuke. Namun, dari awal, dari beberapa tahun yang lalu, aku selalu tahu, hatiku selalu milik Fuuto, seberapa sukanya aku akan Yuusuke.

"Ohayou, Aika-chan, Fuuto," sapa Masaomi-san. Yang lainnya ikut menyapaku dan Fuuto. Aku balas menyapa dan Fuuto mengangguk, membuatku mencubit dadanya, membuatnya menggeram. Fuuto pun akhirnya balas menyapa selamat pagi ke saudara-saudaranya.

"Tumben kesini." Hikaru-san menyindir. Wajar sih, mengingat selain Natsume-san, Fuuto adalah Asahina yang paling jarang pulang.

Fuuto memutar kedua bola matanya dan menunjuk ke arahku.

Hikaru-san tampak mengerti maksud Fuuto dan tertawa. Fuuto mendengus.

Tsubaki-san duduk di sampingku sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. "Kalau suka digendong, aku mau loh, ngegendong Aika-chan."

Fuuto menarikku lebih dalam ke pelukannya. "Nope. Not a chance." Pandangan mata Fuuto tajam, seperti ingin menusuk Tsubaki-san, berkali-kali.

Tsubaki-san melongo. Kaget dengan reaksi Fuuto.

Aku tertawa sambil mencubit dada Fuuto, membuat empunya mengaduh. Hikaru-san dan Kaname-san juga tertawa, sepertinya tak menyangka akan keposesifan Fuuto.

Aku merasakan sebuah tatapan tajam, dan mendapati Louis-san menatapku seperti kelinci percobaan. "Pagi, Louis-san."

"Pagi, Aika-chan." Louis-san tersenyum tipis. Matanya bersinar menatapku. "Kalian pasangan yang serasi."

Aku terkekeh. "Thank you."

"Menurutku juga begitu." Masaomi-san menimpali. Dipangkuannya, Wataru-chan tampak tertidur pulas namun aku dapat melihat tas sekolah yang tak jauh dari sofa dan seragam Centrair Junior High School yang dikenakan Wataru-chan.

Aku tersenyum ke arah Masaomi-san.

Dari arah dapur aku mendengar suara beberapa asahina bersaudara lain yang tak ada di ruang keluarga. Tampaknya mereka sedang menyiapkan sarapan. Aku juga dapat mendengar suara bahagia Ema-chan dan suara Natsume-san, membuat perutku melilit.

Tak lama, Ukyo-san memanggil semuanya untuk sarapan.

Fuuto tanpa kesusahan menggendongku ke ruang makan yang satu ruangan dengan dapur. Azusa-san tampak sedang meletakkan sepiring tempura udang di meja, Natsume-san dan Ema-chan sedang berdebat dalam menentukan takaran gula pada teko yang isinya entah apa, dan Ukyo-san juga Iori-san sedang mengisi satu-satu mangkok dengan nasi.

Aku meringis dalam hati, mengingat biasanya aku membantu Ukyo-san di dapur. Namun, karena kehadiran Ema-chan, aku jadi malas dan mengingat malamku dengan Fuuto, aku tak mau turun dari kasur.

"Ah, Aika-chan. Ohayou. Tumben bangun telat." Ukyo-san menyapaku.

"Bareng Fuuto dia." Kaname-san menggodaku.

"Sedang lovey-dovey." Hikaru-san menambahkan.

"Lengket banget kayak lem kayu." Tsubaki-san mencibir.

Ukyo-san terkekeh. "Oooh. Pantesan."

"Sudah-sudah," ucapku, malu. Fuuto meletakkanku di kursi sebelah Louis-san dan dirinya duduk di kursi sisi sebelahku yang lain. Aku dapat merasakan tatapan dari berbagai pasang mata di ruangan, termasuk Natsume-san dan Ema-chan.

Ema-chan menatap Fuuto dengan tatapan pengharapan. Instingku menajam. Oh no no! No way! Jangan harap karena dulunya Fuuto mengejar-ngejar kamu, menyodorkan cinta dan perhatinan, seenaknya cari perhatian ke Fuuto sekarang! Batinku memberontak.

"Nih," suara Fuuto menghentakku dari pikiran jahatku. Aku melihat piringku sudah penuh oleh lauk-pauk. "Mau disuapin?" Fuuto menambahkan, sambil menatapku layaknya apa yang baru ia ucapkan bukanlah hal besar. Aku mengangguk. Sebelumnya, aku melirik ke arah Ema-chan dan puas ketika mendapati ekspresi kaget di wajahnya.

Tanpa menoleh lagi, aku tau setiap orang di ruangan menatap Fuuto dengan tatapan kaget. Namun, hatiku tak bisa dibohongi. Aku bahagia.

Semuanya pun mulai makan dan percakapan-percakapan kecil pun saling dilempar. Aku makan disuapi Fuuto dan setelah aku memaksa, Fuuto pun akhirnya makan satu piring denganku. Semuanya berjalan lancar sampai Wataru-chan menyeletuk mengenai keberadaan satu-satunya asahina bersaudara yang tak hadir. Subaru-san.

Ema-chan tampak kacau dan sedih. Natsume-san yang duduk di sampingnya, juga Azusa-san menenangkan Ema-chan.

"Subaru-san masih ada perlu. Jadi nggak disini," jelas Iori-san menyela.

Untuk sesaat, keadaan ruangan hening. Aku hanya berfokus pada suapan Fuuto dan cengiran Fuuto ketika ia menjauhkan sumpit dari mulutku yang terbuka. Sumpit itu pun kembali ketika aku memberikan tatapan tajam ke arah Fuuto.

Percakapan pun kembali, dan Fuuto izin ke kamar mandi. Aku menatap gelasku yang kosong. Dengan perlahan, meski daerah v-ku masih terasa tak nyaman, aku melangkah menuju kulkas, dan meraih sekotak susu besar rasa coklat. Ketika aku berbalik menuju kursiku, aku mendapati seluruh mata tertuju padaku.

Aku memiringkan kepalaku, heran. "Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?"

Pertanyaanku bertepatan dengan Fuuto yang kembali dari kamar mandi.

Dan aku pun terbelalak kaget ketika hampir setengah Asahina Bersaudara melompat dari kursi mereka dan berlari menyerang Fuuto dengan wajah merah penuh amarah.

"FUUTO TEME~!"

"DIE!"

Oh, damn. They knew.

.

5322 words.

March 22nd, 2017.

.

[To be continued…]

.

Author's Note : (Nama Lain : Curhat Author)

Halo. Thank you for still reading this story. I really appreciate it. I just have been so busy that this special chapter need a long time to be completed. I am so happy that finally Aika and Fuuto confess their's feeling honestly this time. And yes, Aika is quite a playgirl. She doesn't give a damn about boys or men who get close to her. She thought them as her friend, but still, from other's point of view, she sure is a hella playgirl with many acquaintance of men. And if she ever wanted to gather all of her exes, you can fill a damn family restaurant with them. Well, yeah, that much. That's why Fuuto couldn't accept Aika in previous occasion. He is just so jelly~, lol, jealous I mean.

Well, thanks for reading and see you guys at the next chapter where hell will break loose. #teehee

#bow

p.s I told you that I will take the old cover back, but, I made a new one with the mature Fuuto on it. Aw, he is so handsome! X'D

p.s.s what do you think will the Asahina Brothers do to Fuuto? LOL.