BIKER BILLIONAIRE:

A WILD RIDE (REMAKE)

Pairing : SICHUL Slight HANCHUL

Main Cast : Choi Siwon, Kim Heechul, Tan Hangeng and Super Junior Member

Genre : Romance Erotic

Rate : M

Chaptered

Warning: Genderswitch for Uke, OOC, Many Typos, IF YOU READ DON'T BASH

Disclaimer: The story line is belongs to JACINDA WILDER as Writer of BIKER BILLIONAIRE. The caracters inside are belong to God and themselves.

*This is an explicit, erotic fiction for adults only! Contains super hot*

"Heechul, aku minta maaf," kata Hangeng. "Itu hanya komentar bodoh."

Aku memutar mataku dan mendongkol. "Terserah Han. Kau mengatakannya, dan lalu apa? Oke, kau meminta maaf. Aku memaafkanmu. Tapi apa itu memperbaiki keadaan? Tidak sama sekali. Jangan ganggu aku. Antar aku pulang."

"Ayolah, Sayang. Aku bisa berbuat lebih baik. Aku akan berubah."

"Ya, aku mendengar kata-kata itu juga. Bahkan baru minggu lalu." Aku memandang ke luar jendela dari VW Golf milik Hangeng, menonton pinggiran jalan yang terkelebat lewat, basah kuyup oleh hujan, kelabu dan menjemukan.

Sama seperti hidupku, dan tunanganku.

"Jadi sebenarnya apa sih yang kau ingin aku lakukan? Kubilang aku akan melakukan yang lebih baik lagi. Kenapa itu tak cukup untukmu?"

Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu, jadi aku diam. Aku memainkan cincin setengah karat di jariku, di pasang disana bulan lalu. empat minggu yang panjang dan menyakitkan, yang mana kami lebih banyak bertengkar daripada berciuman, lebih sering berhubungan seks dalam kemarahan daripada bercinta, lebih sering mengabaikan masing-masing daripada pergi berkencan.

"Ayolah Sayang, kumohon bicaralah padaku," Hangeng menaruh tangannya di pahaku, dan aku menepisnya, menyentak kakiku pergi menjauh.

"Apa lagi yang bisa dikatakan? Kita bicara berputar-putar Han. Ya, kau benar. Kita bertengkar tentang suatu hal, dan aku memberitahu masalahnya, dan kau memperbaikinya sebaik mungkin yang kau bisa. Aku mengakui itu, dan itu bagus. Masalahnya adalah, selalu saja ada masalah. Jika bukan satu hal, pasti karena hal yang lainnya."

"Semua orang punya masalah Heechul," kata Hangeng. "Semua pasangan juga mempunyai masalah. Kita bisa menyelesaikannya."

Sekali lagi, aku tak ingin menjawab. Satu tanggapan saja akan mengakibatkan banyak perdebatan, lalu putus lagi. Kami telah putus empat kali selama tiga tahun kami bersama-sama, terakhir adalah kurang dari seminggu sebelum Hangeng melamarku. Dia melamar sebagai permintaan maaf, itu cukup romantis, dan itu telah menghasilkan suatu seks yang cukup spektakuler. Maksudku dia menggunakan jarinya padaku dulu, jadi aku benar-benar merasakan orgasme, dan ia tidak tertidur segera setelah itu. Kami bahkan melakukan untuk kedua kalinya, yang mana kami tak pernah melakukannya selama berbulan-bulan. Ini adalah kedua kalinya yang membuatku khawatir.

Aku terlambat. Ya, aku terlambat beberapa hari ke belakang, dan aku biasanya tepat waktu seperti jam, sehingga aku merasa sedikit panik. Aku belum melakukan tes, dan aku jelas tak akan memberitahu Hangeng. Anak-anak adalah pemicu reaksi emosional untuknya, dia tak ingin memiliki anak selama beberapa tahun ke depan setelah kami menikah. Sedangkan aku, aku ingin memiliki mereka. Sekarang, dengan keadaan yang terjadi pada Hangeng, gagasan memiliki bayi bersamanya benar-benar membuatku ketakutan. Aku tiba-tiba merasa, aku belum siap untuk terikat dengan Hangeng seumur hidupku, dan aku ternyata belum siap untuk menjadi seorang ibu.

Sekarang kata-kata itu menggelegak di lidahku. Aku ingin mengatakannya pada Hangeng. Aku menjadi cemas dan sensitif tentang segala hal sejak pertama kali menyadari aku terlambat, dan aku mengeluarkan masalah itu padanya. Itu sebenarnya tidak benar-benar adil, meskipun ia bersikap benar-benar brengsek sebelumnya, yang mengarahkan kami pada pertengkaran saat ini.

Kami barusan pergi berkencan dengan baik, berpakaian rapi dengan memesan tempat di restoran favoritku, sebotol anggur yang bukan-paling-murah, percakapan menyenangkan yang mengingatkan aku mengapa aku bisa jatuh cinta pada Hangeng. Dia pernah mempesona, lucu dan cukup panas, itulah mengapa aku tertarik dengannya. Dia adalah tetangga sebelah apartemenku, singkatnya dia adalah tetangga yang seksi.

Tapi kemudian, di tengah percakapan tak tentu arah kami, aku menyebutkan tentang diet terbaru dan latihan fitnessku. Dan dia membuat komentar bodoh dan sarkatis tentang program dietku. "Menurutmu itu akan berhasil?"

Apa artinya itu? Sebuah pertanyaan wajar untuk ditanyakan, tentu saja kurasa. Dan aku mendapat tanggapan yang biasa atas usahaku. "Oh Sayang, maafkan aku, barusan salah ucap. Maksudku kau terlihat lebih ramping dan bugar belakangan ini."

Yang mana itu menambah kekesalanku, aku menamparnya dan berjalan keluar.

Sekarang, jangan salah paham. Aku bukan wanita kecil, makhluk kecil mungil, yang semua berukuran nol dengan ukuran bra cup A yang tampak seperti ukuran B pada tubuh yang setipis tusuk gigi. Aku seorang wanita dengan tubuh bongsor, tinggiku mencapai 178 cm. Aku mempunyai pantat yang menyerap lebih banyak makanan daripada anggota tubuhku yang lain, dan sepasang payudara yang cenderung menarik perhatian bahkan saat aku mengenakan pakaian yang longgar. Hangeng mengatakan dia selalu suka bentuk tubuhku yang seperti ini, bahwa aku wanita sejati, bukan seorang gadis model kurus tanpa asset. Tapi kemudian komentarnya perlu dipertanyakan jika melihat kelakuannya. Saat aku memergokinya menatap wanita lain.

Aku mengerti pria adalah makhluk visual, yang selalu gemar melihat wanita di sekeliling mereka. Aku paham maka aku memberikannya kelonggaran, asalkan dia tidak mengerling atau melihat dua kali. Tapi saat aku memutar lagi memoriku, gadis-gadis yang sering ia tatap adalah gadis-gadis yang cenderung kurus, langsing, berpayudara kecil dan berpantat rata. Berpakaian mahal dan berambut lurus licin.

Aku bukan gadis seperti itu. Aku mempunyai rambut bergelombang yang tidak suka diajak kerja sama, dan aku tak suka banyak perhiasan. Aku tidak suka membeli pakaian mahal, karena aku hanyalah perawat UGD sebuah rumah sakit, yang tentu saja gajiku terlalu sayang jika digunakan seperti itu. Jadi ya, aku mempertanyakan ketertarikan Hangeng padaku dan juga penilaiannya terhadapku sebagai obyek daya tarik untuknya. Plus, itu sangat brengsek.

Hangeng menepikan mobil untuk berhenti di lampu merah, dan kurasa kemarahanku akan meluap. Aku mencoba untuk menghentikannya, tapi tetap saja ingin keluar.

"Kukira aku mungkin hamil."

Hangeng diam, tapi aku melihat buku-buku jarinya mengencang pada kemudi, dan sudut-sudut bibirnya menjadi merata dan turun. Mata coklat pucat menjadi menyempit, dan dia mendesah, hampir tak kentara tapi aku bisa mendengarnya.

"Kau kira kau hamil?" suaranya hati-hati dan netral.

Dan itu membuatku kesal,. Oke, ya aku juga tak ingin diriku hamil tapi mengapa dia sama sekali tidak marah? Tapi ini adalah tipikal Hangeng, yang jika marah ia akan berusaha terlihat netral dan terkontrol.

"Aku hampir seminggu terlambat. Tapi aku tak yakin, tapi tetap ada kemungkinan. Aku belum melakukan tes atau apapun, tapi aku tidak pernah terlambat sebelumnya."

Dia tidak menatap kepadaku, tidak menanggapiku. Hanya dengan hati-hati menambah kecepatan saat lampu berubah menjadi hijau.

"Jadi mari kita lakukan tes, untuk memastikan," Hangeng memindah ke gigi dua, masih memandnag lurus ke depan.

"Kukira kita bisa berhenti di apotik dalam perjalanan pulang," kataku.

Dia hanya mengangguk dan saat itulah aku kehilangan kendali.

"Itu saja? Tidak ada reaksi?" aku belum berteriak, tapi akan menuju kesana. "Kau hanya akan bersikap praktis, tetap tenang dan membiarkan semuanya? Katakana sesuatu, Brengsek!"

Hangeng menatapku, mengangkat alis adalah satu-satunya ekspresi terkejut darinya. "Apa yang kau ingin kukatakan? Kau hamil atau tidak, kita belum mengetahuinya jadi taka da gunanya menjadi panik, oke?"

"Apakah kau panik jika aku hamil?"

Dia hanya mengangkat bahu, ya hanya itu reaksinya. Sebuah angkatan bahu.

"Kau tak akan panik kan?" aku sudah berteriak kini, suaraku memenuhi mobil kecil ini. "Kau hanya akan berlanjut, praktis dan tenang. Sialan itu sangat membosankan! Kau tak akan senang jika aku hamil, tapi kau tidak akan marah! Kau hanya akan menghadapinya dan melanjutkan. Tuhan aku sangat muak dengan sikap datarmu. Bersikaplah ekstrim tentang sesuatu. Bereaksilah sekali saja."

"Heechul, kau tahu bagaimana perasaanku padamu ketika kau banyak mengumpat kan?" katanya, tenang tak terusik seperti biasanya.

Aku hanya ingin dia mudah menajdi senang atau marah, hanya sekali saja. Mulutku sudah terbuka siap untuk mengumpat atau mengutuk, kemudian sesuatu dalam diriku menahannya. Waktu berhenti dan aku melihat kami lima tahun mendatang. Kami akan memiliki gadis kecil yang berpenampilan manis dan menyenangkan, Hangeng yang pulang dari bank. Kami akan memiliki rumah yang menyenangkan, TV layar datar yang tidak terlalu besar, anjing kecil yang tidak banyak menggonggong. Kemudian sepuluh tahun kemudian, gadis kecil itu akan tumbuh menjadi remaja, tetapi ia telah memiliki adik laki-laki yang juga menyenangkan. TV yang baru, tapi modelnya sama.

Anjingnya juga sama, kecil dan tenang. Dan Hangeng setelah beberapa tahun akan tetap sama, tetap langsing dan ramping. Mungkin rambutnya yang hanya akan menipis dan memutih. Kami akan melakukan hubungan seks setiap hari Sabtu, mungkin Minggu pagi sesekali, posisi misionaris, seperti biasa dalam kegelapan.

Aku hampir muntah membayangkannya.

Hangeng dengan hati-hati menghentikan mobil di lampu merah, dan aku gemetar. Perutku seperti sudah naik di tenggorokan, dan aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk menatap Hangeng, membayangkan seperti apa ia sepuluh tahun mendatang. Dia akan tetap sama, hanya Nampak lebih tua saja. Semua itu mudah untuk diprediksi dan menyenangkan.

Aku menarik cincin dari jariku dan melemparkannya di dashboard, menyambar dompetku, tas brandedku yang berharga, satu barang bagus yang aku punya. Kemudian aku keluar dari mobil, di tengah guyuran hujan lebat dengan sepatu hak tinggiku. Aku berlari ke dalam lalu lintas saat lampu berganti hijau membuat mobil-mobil membunyikan klakson mereka, dan Hangeng berteriak dengan tenang memanggilku kembali.

Aku bersumpah demi Tuhan Hangeng adalah satu-satunya orang yang dapat berteriak dengan tenang.

Aku hanya memberi dia jari tengah. Aku terus berlari, berhasil sampai ke trotoar dan terus berjalan melalui dinginnya hujan deras. Sesuatu menyentak di bawah kakiku dan aku limbung, tersandung kemudian jatuh ke tanah, menabrak beton yang kasar dengan tanganku, membuat gaunku terobek. Aku merintih dan terduduk, membuat percikan dalam genangan air. Aku melihat telapak tanganku robek karena aspal, dan lututku berdarah. Tumit sepatuku patah. Tasku yang berharga dua ratus lima puluh ribu Won milikku tenggelam dalam lumpur sebelah trotoar. Iphoneku yang berumur satu tahun dan tidak aku asuransikan juga telah mati. Hujan menerpa di atas kepalaku, membuatnya berdenyut. Aku mendengar suara mobil berhenti di sampingku, dan jendela berdengung beberapa inci.

"Masuk," kata Hangeng. "Kau terluka dan basah. Aku tak tahu apa yang merasuki dirimu, kau akan terkena pneumonia.

Aku berdiri, mengharapkan Hangeng langsung berada di depanku, membantuku. Tapi itu tidak mungkin. Dia tetap duduk di dalam mobil, mengobrak-abrik kursi belakang untuk mencari handuk guna menutupi jok tempatku duduk. Aku menatap dengan mulut menganga, dia bahkan tidak mau keluar membantuku? Bagus.

"Masuk, kulit kursiku nanti basah!"

Aku tertawa, menggelengkan kepala. "Kau memang luar biasa."

Aku menendang sepatu heelku dan meninggalkannya dalam genangan air lumpur. Aku membungkuk untuk mengambil tasku, tapi aku tergelincir ke dalam lumpur dan jatuh lagi, cipratan lumpur mengenai wajah dan pakaianku. Aku menahan isak tangisku saat aku berdiri, goyang di atas lututku yang lemas, menggenggam pergelangan tanganku yang berdenyut nyeri.

"Heechul, jangan idiot! Cepat masuk!"

Aku terus berjalan, menolak membiarkan airmataku di depan Hangeng. Dia hanya mengulurkan tissue dan menunggu agar aku berhenti menangis, seperti yang selalu ia lakukan.

"Menyingkirlah Hangeng, kita putus."

"Kita 5 mil dari rumah, sekarang hujan, kau terluka dan kau berjalan ke arah yang salah. Masuk akal lah untuk sekali saja," Hangeng tidak memohon, atau keluar untuk memohon kepadaku, ia hanya mengemudi di sampingku dan berbicara padaku dengan tenang, memalui celah jendela. Hanya celah jendela, sehingga hujan tidak bisa merusak jok mobilnya.

Aku berpaling ke arahnya, tidak berhenti saat telapak kakiku yang telanjang menapak trotoar. "Apa pedulimu? Pergilah dan tinggalkan aku sendirian!"

"Kau tak perlu memakiku Heechul. Baiklah terserah padamu."

Bukankah aku baru saja bilang kemungkinan aku hamil? Dan dia hanya melaju pergi, dengan aku yang basah kehujanan, terluka dan lima mil jauhnya dari rumah.

Brengsek.

Aku melangkah melalui genangan air dan lumpur, semakin basah dan basah, rambutku jadi rata di atas kepalaku lengket menempel pada pipi dan leherku. Ketika Hangeng sudah tak terlihat, aku membiarkan diriku menangis. Itu adalah tangisan panjang dank eras yang membakar mata dan mengaburkan pandanganku. Aku terus berjalan, tak peduli salah arah atau tidak.

Aku tidak memperhatikan saat gemuruh Harley perlahan melewatiku, kecuali bertanya-tanya orang gila macam apa yang mengendarai Harley di tengah hujan seperti ini. aku tak memperhatikan, hanya terus melangkah dan menangis, menatap kakiku dan mengutuk semua orang, khususnya Hangeng. Oleh karena itu, aku juga tidak melihat ketika Harley minggir di apron jalan dan berhenti, aku juga tak melihat saat pengemudinya turun dan berdiri di depan motornya, menunggu.

Aku berjalan tepat ke arahnya.

Dia bertubuh besar, padat dan basah kuyup. Dia berbau kulit basah, bau yang tampaknya memiliki rasa tajam di ujung lidahku. Aku terhuyung mundur dan dia menangkapku, tangan kuatnya menahan tubuhku dan menjaga aku tetap stabil. Aku mendongak dan benar-benar tersentak saat sepasang mata hitam itu menembus menembus ke arahku. Penuh simpati, perhatian dan sesuatu seperti nafsu. Ini pasti bukan nafsu, atau setidaknya bukan karena aku. Tidak ketika aku basah kuyup, berdarah. Menangis terisak dan marah.

Dia mengenakan jaket kulit biker, ditempeli dengan logo punk rock serta tengkorak dan salib dari besi. Celana jeansnya yang ketat, hitan dan kelihatan mahal, begitu juga sepatu bootnya, paku di ujung jari depan, gesper perak dan kancing-kancingnya. Rambutnya tebal, hitam serupa dengan sepasang alisnya.

Demi Tuhan, matanya membakar dan berkilauan, memberi pengaruh yang tidak seharusnya bisa diberikan oleh pria manapun padaku. Tetapi tangannya terasa hangat di kulitku, dan dia belum melepaskannya dari tubuhku, meskipun aku terang-terangan mengamati tubuhnya. Ia pria kekar dengan tinggi sekitar 182 cm, dadanya bidang seperti dinding bata, bahu dan lengan yang terlihat besar bahkan saat ia mengenakan jaket menutupinya. Dia memancarkan bahaya, testoteron murni pria dari kekuasaan, kekuatan yang terkumpul dan kepercayaan diri yang luar biasa.

Dan yang dia lakukan hanya berdiri disana, memegangi lenganku.

"Apakah kau baik-baik saja Nona?" suaranya dalam dan halus, mengingatkanku pada penyanyi-penyanyi musik country kesukaanku.

Aku menggeleng, rambutku menampar leherku. "Apakah aku terlihat baik-baik saja?"

Aku tidka menangis lagi karena dia mengejutkanku. Tapi aku masih tersengal-sengal. Mulutnya melengkung dan diluruskan.

"Kurasa kau tidak. Kau tampak….marah. dan basah."

"Sangat jeli pengamatanmu."

Dia masih memegang lenganku, seakan-akan aku masih dalam bahaya terjatuh. Aku mungkin akan jatuh sebenarnya, apalagi jika matanya yang menggairahkan terus-terusan menatap ke arahku. Dia membalas tatapanku dengan stabil, tapi aku tahu ia melakukannya dengan mengerahkan tenaganya. Gaunku menempel ketat di kulitku, dan sekarang hampir tembus pandang karena basah. Tubuhku jelas-jelas terpampang, tidak menyisakan imajinasi sedikitpun kecuali warna-warna kulitku. Dan pria ini berusaha keras, dan ia berhasil tidak menatap tubuhku.

Aku menghargai upayanya, bahkan aku sendiri menyukai ide sedang dilirik kali ini.

"Well apakah kau ingin tumpangan ke suatu tempat?" dia bertanya mengacungkan ibu jarinya ke arah Harleynya.

Aku menggunakan kesempatan saat tangannya yang melepaskan pegangan pada lenganku untuk mundur, namun tangannya yang lain menjepit lengan kananku, erat tapi lembut dan tidak mau lepas. Aku berdiri menarik diriku dan berdiri di depannya. Aku bisa saja memintanya melepas lenganku, tapi aku tidak melakukannya.

"Kau akan sakit Nona," kata biker itu. "Kenapa kau tidak membiarkanku mengantarmu ke suatu tempat? Aku akan menjaga sikap, aku janji. Aku hanya akan mengantarmu. Aku bahkan tak akan meminta nomormu."

Aku ragu-ragu. Dia tampak berbahaya, meskipun matanya menyatakan bahwa ia tak akan menyakitiku. Ditambah ia melepaskan pegangannya pada lenganku sebelum aku mengatakan "lepaskan".

"Aku seharusnya menolak. Aku tidak pernah naik sepeda motor sebelumnya, dan aku tidak mengenalmu," kataku. Itu adalah alasan lemah yang tidak bisa dipercaya, aku yakin. "Aku akan baik-baik saja, tapi terima kasih tawarannya."

"Oh ayolah," katanya kesal. "Kau berdarah, pergelangan tanganmu terlihat bengkak, kau tidak memakai sepatu. Dan sekarang hujan sangat deras. Biarkan aku mengantarmu ke suatu tempat, aku mohon."

"Ini tidak aman," kataku, alasan terakhirku lebih hati-hati.

"Apa yang tidak aman, aku atau sepeda motornya?" dia terdengar tersinggung.

Aku mendesah, menyadari bahwa ia berpikir aku telah menilainya dari penampilannya. Dan sebenanrnya memang begitu.

"Kedua," kataku. "Tapi kau benar. Terima kasih, aku akan senang mendapat tumpangan."

"Kau berpikir aku tidak aman kan?" matanya menyipit dan seperti memancarkan ancaman. Aku tidak takut, tapi aku punya perasaan bahwa aku tidak berniat membuatnya marah.

"Tidak, kupikir memang tidak aman," kataku. "Kau seorang biker yang memiliki paku di sepatumu. Kau mungkin akan membawaku ke sebuah gudang dan melakukan sesuatu yang mungkin hanya Tuhan yang tahu."

Aku bergerak menuju sepeda motor miliknya saat aku berbicara, dan ia menyeringai menyesakkan dada.

"Well bagian aku biker dan memiliki paku di sepatuku, itu benar. Tapi aku tidak tahu dimana gudang itu berada," ia duduk di Harley dan memutar kunci tapi belum menyalakannya.

"Bagaimana tentang bagian hanya Tuhan yang tahu?" tanyaku sambil mengayunkan kakiku naik di belakangnya.

Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya kencang di sekitar pinggangnya. Dia keras seperti batu dan dua kali lebih besar dariku. Otot perutnya bagaikan beton di bawah tanganku. Aku membiarkan jari-jariku melebar dan telapak tanganku menekan, menikmati otot-ototnya.

"Nah," katanya, menyengir sambil menoleh di atas bahunya. "Mungkin aku akan melakukan yang hanya Tuhan tahu, tapi hanya jika kau ingin aku melakukannya."

Motornya menyala dengan raungan serak, memotong jawabanku yang mungkin telah kuberikan. Dia memundurkan motornya dan memutar pedal gas sehingga kami meompat ke depan, mesin mengaum dan ban tergelincir meluncur ke jalan yang basah. Gemuruhnya memekakkan telinga, bergetar sampai ke kaki dan perutku. Hal ini membuat bagian-bagian tertentu dari anatomi femininku tergelitik antara nyaman dan menyenangkan.

Kami melewati persimpangan tempat aku melompat keluar dari mobil Hangeng, tapi kami tidka lebih dari satu mil ketika kami melewati VW Golf milik Hangeng datang menghampiri kami. Rupanya dia berpikir lebih baik kembali untuk mendatangiku di sana. Tapi semua sudah terlambat baginya.

Dia melihatku di atas Harley dan memutar mobilnya dengan sangat tidak santai dan illegal. Dia berhenti di samping sepeda motor dan memberi isyarat ke arah sisi jalan, agar kami menepi. Teman biker baruku berpaling untuk menatap curiga kepadaku. Aku mengangguk dan ia berhenti.

Hangeng menjerit mengatakan berhenti dan aku geli sendiri melihat ia mengemudi seperti orang gila, ketika ia melihat aku bersama pria asing. Sekali lagi, pikiran yang berputar di kepalaku adalah semua tak ada gunanya, sudah terlambat.

"Apa yang kau lakukan Heechul?" tanya Hangeng sedikit histeris.

Dia berdiri di sampingku, meraih lenganku. Aku menariknya dan ia menjatuhkan tangannya ke sisi tubuhnya.

"Mendapatkan tumpangan," jawabku menggunakan nada tenang sama yang selalu ia gunakan kepadaku.

"Mendapatkan tumpangan? Tumpangan kemana? Dan dengan dia?"

Temanku-yang baru aku sadari aku tidak tahu namanya-menggeram di dadanya seperti beruang.

"Hati-hati bocah!" geramnya.

Hangeng memucat dan mundur menempel ke mobilnya. "Apa yang kau lakukan Heechul? Apa yang terjadi?"

Aku mendesah dan aku menyeka air hujan dari wajahku. Biker ini hanya menunduk dengan pasif, mendengarkan dan tidak menanggapi.

"Hangeng, aku sudah bilang padamu. Hubungan kita telah berakhir. Tak ada yang bisa kau katakana atau lakukan, tidak ada lagi."

Mata Hangeng goyah dan dia melangkah ke arahku lagi, meraih lenganku dan mencoba untuk menarikku dari atas motor. "Kita bisa memperbaikinya Sayang! Ayo turun dari motor ini, dan kita pulang."

Aku menyentak lenganku, dan Hangeng meraihnya kembali menarikku hingga aku hilang keseimbangan. Biker itu menggeram lagi dan mengayunkan tinjunya, tepat mengenai dagu Hangeng. Itu adalah pukulan malas, lambat dan hampir disebut pukulan santai tetapi itu membuat Hangeng terbang dan jatuh terduduk.

"Lepaskan tanganmu dari gadis ini," kata dia. "Dia tak akan ikut denganmu. Kau sudah punya kesempatan dan kau jelas-jelas sudah mengacaukannya. Jika aku melihatmu mengganggunya lagi, aku akan menghancurkanmu."

Hangeng menganggukkan kepalanya dengan kaku, ketakutan. Biker itu memutar pedal gas motornya, memutar roda belakang melingkar, memuncratkan lumpur ke arah Hangeng. Kamu masuk ke dalam keramaian lalu lintas, dan biker ini mengendarai motor dengan kencang tetapi cermat.

Aku tidak memberitahunya arah kemana aku akan pergi, tetapi ia sepertinya memiliki tujuan sendiri. Aku mencengkeram perutnya dan membiarkan dia berkendara, cukup puas dibawa ke suatu temapt. Itu mungkin terdengar bodoh, tetapi sesekali aku ingin menjadi gadis yang mengambil keputusan dengan ceroboh dan tidak bertanggungjawab.

Dia membawa kami ke Mark Hills di Cheongdam-dong, parker di garasi bawah tanah. Dia meraih tanganku saat aku mengayunkan kakiku turun, dan kemudian menangkapku ketika aku tersandung. Kakiku mendadak lemas seperti jelly karena getaran mesin Harley. Kemudian aku menemukan diriku sudah ada di dalam gendongannya, wajahku tepat ada di depan dadanya.

Aku menggigil, entah karena dingin dan basah, atau karena tatapannya yang panas. Aku tidak tahu.

"Ya Tuhan aku minta maaf," kata biker itu, melepas mantelnya dan menggantung di atas bahuku. "Kau pasti kedingininan, aku harusnya memberikan mantelku ketika kau naik."

Dia tampak benar-benar menyesal, dan aku merasa sedikit lebih aman. Jaketnya disampirkan di pahaku, dan terasa hangat oleh panas tubuhnya. Aku meringkuk ke dalamnya, agak terangsang oleh bau keringat pria itu, kulit basah dan cologne.

Dia meraih tanganku dan masuk ke dalam lift. "Ayo kita keringkan tubuhmu."

Aku menarik mundur dan ia berhenti. "Tunggu dulu, dimana kita?"

"Apartemenku, kupikir karena bocah tadi bilang ia ingin membawamu pulang ke rumah berarti kau tinggal bersamanya. Dan aku yakin kau belum ingin bertemu dengannya lagi."

"Orang yang kau panggil bocah itu adalah tunanganku," kataku. Aku sama sekali tak mengerti apa sebenarnya maksudku, dan apa alasanku mengatakannya.

Mulutnya melengkung ke atas lagi dan alisnya terangkat, ekspresi lengkungan alis menghina. "Tidak lagi sekarang," katanya.

Aku mengangguk, "itu benar, dia hanyalah bocah berandal."

Aku melangkah ke arahnya, dan ia berbalik ke arahku. Menatapku dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa aku baca.

"Aku akan membawamu ke tempat lain jika kau tidak nyaman disini," dia menawarkan, kemudian menghancurkan momen itu dengan tersenyum licik. "Maksudku jika kau takut."

Aku melangkah lebih dekat lagi, dan sekarang aku hampir menempel dirinya, jantungku berdebar kencang atas keberanian diriku. Aku telah melihat betapa kuatnya dia, dia memukul Hangeng hingga terlempar, padahal Hangeng bukan orang bertubuh kecil.

"Aku tidak takut. Aku hanya tidak pernah pulang bersama seorang pria ketika aku tidah mengetahui namanya."

"Kapan kau pulang bersama seorang pria?"

"Dengan orang-orang seperti kau? Belum pernah."

Matanya menyipit, "Orang seperti aku?"

"Ya orang-orang sepertimu. Bahkan sebenarnya aku belum pernah pulang dengan seorang pria," aku beringsut lebih dekat, dan kepalaku sejajar dengan bahunya membuatku mendongak ketika berbicara. "Tapi, aku memutuskan hubunganku dengan Hangeng juga karena aku membutuhkan perubahan. Jadi disinilah kita."

"Orang seperti aku," kata dia lagi. Dia benar-benar terpaku pada hal itu.

"Oh rileks, aku hanya menggoda."

"Tentu saja," ia bergemuruh.

Dia menarikku untuk berjalan lagi, membawaku menuju lift. Aku membiarkan dia mendapatkanku sebelum aku menarik tanganku.

"Kau belum memberitahu namanu," kataku.

"Choi Siwon," dia menatapku lagi, dan matanya menembusku ke dalam diriku.

"Nah Siwon kita bisa masuk sekarang. Terima kasih," aku berbalik ke dalam lift dan menunggu.

Dia belum menekan tombol, dan aku tahu itu. "Kau belum memberitahu namamu," katanya.

"Kim Heechul."

"Heechul," panggil Siwon. Dia menatapku ketika lift terbuka. Dan aku mengerling padanya.

Kami melangkah ke dalam lift, dan pintu tertutup. Siwon berpaling kepadaku, menggeram seperti predator. Dia meraih lenganku dengan tangannya yang besar, mendorongku ke dinding lift dan menekan tubuhnya keras terhadap tubuhku. Dia memiliki ereksi di balik celana jeansnya, dan itu adalah tonjolan keras yang terasa di perutku. Aku terkesiap, tiba-tiba terjebak antara Siwon dan dinding lift.

Dia menciumku. Aku sudah mengira ketika matanya berubah sayu dan dia bergerak ke arahku seperti predator menyelinap di atas rumput. Aku tidak mengira ciumannya akan menjadi lembut, sensual dan pelan. Ia menguasai bibirku dengan bibirnya, tidak ragu-ragu tapi juga memberiku kesempatan untuk mendorongnya. Bibirnya bergerak di atas bibirku, dan lidahnya mencari lidahku, aku juga tak bisa berhenti menciumnya.

Lututku terasa lemas dan aku tiba-tiba basah di antara kedua kakiku, kelembaban yang tidak ada hubungannya dengan hujan. Dia merasakan lututku gemetar dan merengkuhku dalam pelukannya, mengangkat tubuhku dengan mudah, tidak menghentikan ciumannya bahkan untuk sesaat.

"Turunkan aku," bisikku dalam mulutnya. "Aku terlalu berat dan akan menyakiti punggungmu."

Dia hanya mendengus, bibirnya tersenyum padaku. Dia tidak menjawab, hanya mengangkat tubuhku keluar dari lift dan menyusuri lorong panjang menuju pintu di ujung. Aku merangkulkan lenganku di lehernya. Aku tak pernah dalam hidupku digendong seperti ini oleh seorang pria. Aku mencium rahangnya, tiba-tiba menjadi berani. Kemudian mencium tenggorokannya dan naik ke dagunya. Dia menunduk dan mulutnya menutupi milikku, kemudian aku tersesat dalam pelukan dan ciumannya yang panas.

Dia menurunkan tubuhku, merogoh saku jaketnya untuk mengambil keycard. Dia membuka pintu, menendangnya terbuka dan mengangkatku lagi, menutup pintu dengan tumitnya. Dia membawaku ke dalam apartemen, dan aku melihat sekilas dinding putih yang luas dengan lukisan berselera, sofa besar dan kursi empuk, TV besar di dinding di atas perapian. Dan kemudian aku dibaringkan di atas ranjang selembut bulu, tubuhnya di atasku, bibirnya di bibirku, turun ke tenggorokan dan kemudian di antara buah dadaku.

Aku terkejut terhadap perilakuku sendiri, tapi kemudian aku mendorong pikiran itu menjauh. Aku menyukai orang ini. aku suka menciumnya. Aku suka fakta bahwa ia berbahaya dan asing. Aku belum pernah tidur dengan siapa pun kecuali Hangeng, dan aku jelas belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Aku merasa nakal, sensual dan ceroboh. Tapi aku menyukai itu.

Aku membungkus kaki dan lenganku pada tubuhnya dan mencium dengan semua yang aku miliki. Aku merasa ereksinya menggembung di balik celana jeansnya dan menekan di atas perutku. Aku merasakan dorongan yang gila untuk membuka risleting celana jeansnya dan menyentuhnya.

Aku ragu-ragu, masih menciumnya tapi kemudian tanganku bergerak di antara tubuh kami. Dia mengangkat tubuhnya memberiku peluang. Dan kemudian aku bersin. Tiga kali. Kemudian aku terbatuk dan menggigil. Tapi aku masih menginginkan dia, aku masih ingin meneruskan dorongan tidak bermoralku untuk menyentuh kejantanannya.

T B C

Ini full remake ya sekali lagi, ada yang sudah membacanya mungkin? Novel ini merupakan novel trilogy, dengan bab yang tidak terlalu banyak. Tapi sangat rinci dan mudah dinikmati. Nama karakter aslinya yaitu Shane Sorrenson yang saya ganti dengan Choi Siwon. Dan Leona Larkin yang saya ganti dengan Kim Heechul. Kenapa memilih mereka berdua? Alasannya simple sih, pas say abaca trilogy ini yang ada di otak saya Siwon dan Heechul. Kenapa Heechul saya bayangkan jadi wanita? Ini lebih simple lagi jawabannya, itu karena imajinasi saya. Dan alasan terpenting adalah karena SICHUL IS MORE REAL THAN OTHER SIWON'S PAIR

Chapter dua saya update hari Minggu semoga tidak ada halangan. Silahkan review yaaaa