Pathetic Demise

[_Prologue_]

.

.

Kami hidup atas kehidupan yang lain.

Menjalar dan terjalar oleh sulur-sulur takdir yang saling terikat. Menjerat.

Masa depan? Lupakan. Buang juh itu semua. Kami sudah menguburnya di dalam bagian bumi terdalam alih-alih menerbangkannya di atas langit teratas—sejak berabad-abad yang lalu.

Bagaimana pun, konsep keabadian telah terlanjur dipahat di atas kulit kami. Disatukan dengan jiwa dan raga kami. Keabadian telah mengalir di setiap tetes darah kami.

Entah harus mengutuk atau berterima kasih pada Tuhan.

Kami perwujudan tanah yang kalian pijak.

Yang terluka saat kalian berdarah.

Yang sekarat saat kalian tertawa.

Ironis.

Kalian merong-rong mempertahankan kehidupan, kami menjerit frustasi meminta kematian—yang sayangnya takkan pernah kami genggam; yakin sekali diri kami, ya?

Mau tahu rasanya mendekap keabadian?

Mari kemi simpulkan; melihat orang yang amat berarti bagimu mati. Setiap hari. Lenyap. Sementara kau hidup. Eksistensimu masih dapat kau rasakan, masih sanggup kau lihat, masih bisa kau dengar, dan kau kecap dengan baik.

Nah, lalu apa kalian tahu apa yang dimaksud dengan kematian, bocah?

Kematian ... heh ... apa yang kau harapkan? Yang bisa kuberitahu—dengarkan baik-baik, bocah; kegelapan dan kehampaan.

Lantas kalian bertanya, 'Lalu kenapa susah-susah mencari hampanya kematian jika sudah mendekap keabadian yang nyata?'

Jawabannya mudah saja, bocah.

Kami bosan. Bosan atas konsep keabadian yang Tuhan interplesentasikan pada kami. Bosan karena setiap saat—catat itu, bocah; tiap jam, menit, dan detik—kami melihat yang mortal lenyap.

—dan ah ... kami juga sudah lelah menangis hingga akhirnya substansi bening itu tak lagi sekalipun keluar dari kedua kelereng kami.

[Omong-omong, kami juga sudah bosan akan kesendirian ini.]

Saat negara ini—iya, tanah yang kalian pijak—hancur, maka kami akan lenyap; pada akhirnya, konsep keabadian itu hanya akan menjadi omong kosong, bukan? Asal kalian tahu saja, dunia ini memang konyol.

Namun saat kami lenyap ... siapa yang mau susah-susah untuk peduli?—untuk apa? toh, aku masih hidup, mereka bilang.

Hei, Tuan Pirang di bawah sana! Yang sudah mengecp kematian di dalam takdir keabadian! Sudikah kau mengajari kami apa yang pernah kau rasakan sebagai 'kematian' itu?

Gurat keabadian ini sudah disubstitusikan di atas kenvas kehidupan kami; dengan tinta imortal—tinta abadi, kalau kalian tanya.

Perang. Darah. Hitam. Luka. Jerit.

—Namun mengapa tak ada kata 'mati' dimanapun?

Mungkin bentuk kental sepekat lembayung senja itu pernah menetes dari tiap inci—oh, tiap mili-meter, tepatnya—raga kami.

... namun tak pernah sekalipun sanggup menghapus eksistensi kami di dunia ini.

Mengapa—cukup! Kami sudah terlalu capek untuk bertanya.

Depresi. Frustasi. Kesal. Marah. Kecewa. Sedih.

Tak cukup sekiranya penderitaan kami jikalau dihitung dengan jari.

Heh, bocah, jangan pandang kami dengan pandangan kasihan seperti itu.

Kami tak pernah pantas dikasihani.

Mengapa? Oh ... cukupkan pertanyaan itu, bocah.

Karena jawabannya sudah pasti—

"Kami muak."

Karena itu sudah jadi takdir kami.

.

.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;

Pathetic Demise

Genre: Angst | Spiritual

Cast: Pararell Nations

Warning: Fail-Spiritual | Fail-Angst | Fail-Diction | Fail-Poetry | Fail-Narration | OOC, maybe | Typo(s) | Dramatically Live in Future Chapter


Kami sudah lelah terus sendirian—


Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya

Pathetic Demise © Nekoya Chevalier

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;;;;

[_First Fate: Russia or England?_]

[_Feel free to vote, review, even flame_]

.

.

[_See 'ya in next chapter_]

Best regards,

Nekoya Chevslier