Dear readers, sekiranya kalian malas meninggalkan review, lebih baik JANGAN memfollow/memfavoritkan cerita ini. Terima kasih.


A/N:

Haiiiiii, Dami bawa another chaptered story dengan pairing kesayangan Chanbaek.

Tenang-tenang, jangan kabur dulu. Cerita ini ringan dan bukan ANGST. Jelas? Ini bukan Angst. *lirik Chanyeol sama Baekhyun*

Chanyeol: Bener ya, kamu ga PHP-in kita lagi. Kita udah capek di-PHP-in di setiap FF angst yang kamu tulis!

Dami: Iya bener kok beneerrrrr. Eh, tapi ga tau deng. Liat aja nanti. :p *Kabur sebelum ditimpuk Baekhyun*

Happy reading and please gimme your review! :)

.

.


Suara dengung teko membangunkan tubuh lelapnya pagi itu. Chanyeol menggeliat, melirik ke samping nakas.

Lima menit sebelum alarmnya berbunyi.

Jemarinya menggapai-gapai jam mungil tersebut sebelum benda itu memekik nyaring.

Setelah dirasa nyawanya terkumpul, ia menegakkan tubuhnya lalu berjalan ke arah pintu. Tepat setelah daun pintu terbuka, macam-macam bau sedap memeluk indra penciuman. Tak jauh dari meja makan, sesosok tubuh mungil bercelemek kuning sibuk menuangkan air mendidih pada cangkir-cangkir berisi bubuk kopi sambil bersiul riang.

Dia menoleh ketika menyadari sosok kusut Chanyeol tengah berdiri di ambang pintu.

"Hai, selamat pagi," sapanya riang.

Chanyeol menggaruk tengkuknya yang memang gatal. "Apa ini tidak terlalu pagi?"

"Aku ada janji di kantor pagi ini dan aku akan pulang larut." Jemari putih itu mulai melepas celemek yang melekat di tubuhnya. "Aku juga sudah menyiapkan makan malam, jadi kau tinggal memanaskannya saja."

Chanyeol berjalan ke arah meja makan lalu menyambar roti sandwich tanpa repot-repot duduk manis.

"Hei, sudah kubilang kan cuci tangan dulu sebelum makan!" protes si brunette gusar. Dia memakai mantelnya cepat lalu memasukan beberapa barang ke dalam tas kerja. "Jangan lupa bayar tagihan air, listrik, dan kebersihan. Kita sudah terlambat satu hari."

Chanyeol mendengarkan sambil sibuk mengunyah.

"Aku membawa kunci rumah, jadi kau tidak perlu menungguku jika sampai tengah malam aku belum pulang."

Chanyeol menyeruput kopi hitamnya pelan-pelan.

"Baiklah, aku pergi."

Tubuh mungil itu telah siap menghilang di balik pintu jika saja Chanyeol tidak menyerukan namanya.

"Baekhyun-ah!"

Yang dipanggil menoleh. "Ada lagi yang kau perlukan?" tanyanya pendek.

Chanyeol tersenyum simpul. "Hati-hati di jalan."

Baekhyun ikut tersenyum lantas melambai cerah. "Oke, sampai ketemu besok pagi." –karena kau pasti sudah tidur ketika aku pulang.

Lalu pintu ditutup pelan.

.

.


2nd PROPOSAL

by kwondami

EXO FAN FICTION

CASTS: Chanyeol, Baekhyun, and another supporting casts.

GENRE: Romance, drama.

RATING: T

.

.


Sesaat tidak ada yang aneh dengan mereka berdua. Sesaat kau mengira mereka pastilah salah satu sekian banyak dari pasangan muda yang menikah, tinggal bersama, menjalani hidup bersama, dan semuanya baik-baik saja.

Semuanya baik-baik saja—tentu saja.

Jika kau menganggap pernikahan yang tidak dilandasi cinta termasuk dalam kategori baik-baik saja.


Mereka bertemu dalam suatu kebetulan.

Kebetulan yang manis sebenarnya.

Hari itu Chanyeol terpaksa bersembunyi di balik air mancur karena jengah akan pertanyaan orang-orang.

'Chanyeol, kau masih lajang?'

'Chanyeol, mana pendampingmu?'

'Kau sudah punya karier yang bagus, tunggu apa lagi?'

Bahkan pasangan pengantin Joonmyeon dan Yixing—yeah, hari itu memang pesta mereka—ikut memberondongnya dengan pertanyaan serupa, "kapan kau menyusul kami?"

Chanyeol menghembuskan napas pepat. Keputusan yang salah memang datang ke acara pernikahan sepupumu tanpa pendamping. Tahu begini, dia seharusnya menggandeng sekretarisnya—Minseok—untuk menemaninya dengan imbalan bonus akhir tahun.

Tapi ia cepat-cepat menyingkirkan pikiran itu karena mana mungkin menggandeng sekretaris yang tengah hamil lima bulan ke sebuah pesta jika kau tidak mau diberondong pertanyaan yang lebih nyinyir. Bisa-bisa dia dilabeli perebut istri orang!

Sekarang semua orang yang dia temui berubah menjadi mulut ibunya, mendesaknya agar cepat menikah.

"Sendirian?"

Suara lembut membuyarkan lamunan. Chanyeol menoleh pada si pemilik suara. Rambut brunette madu bersetelan tuxedo tersenyum dengan seperempat wine putih di tangan.

Chanyeol mengangguk singkat. "Kau?"

"Sama," balasnya pendek lalu menenggak isi gelas kristal. "Pesta kebun yang indah bukan?" tanyanya berbasa-basi.

"Yeah."

"Tapi kau kelihatan tidak menikmatinya."

"Tentu saja—kalau semua orang di sini membombardirmu dengan pertanyaan 'kapan menikah'?"

Pemuda yang tubuhnya beberapa inci lebih pendek itu mengangkat sebelah alisnya. "Wow."

"Kenapa?"

"Kita sama," sahutnya sebelum meneguk tandas cairan alkohol di genggaman.

Chanyeol menyapukan pandangan pada pemuda di sampingnya. "Jadi kau juga bersembunyi di sini—?"

"...untuk menghindari mulut-mulut monster yang mendesakku dengan pertanyaannya yang sama," imbuhnya cepat.

Chanyeol tertawa kecil. "Park Chanyeol," sambungnya memperkenalkan diri.

"Aku Byun Baekhyun," pungkasnya dengan senyum hangat.


Mereka bertemu lagi dalam sebuah kebetulan lain.

Hari itu Chanyeol memutuskan untuk sedikit berbelanja. Beberapa setelan pakaian kantornya terasa sudah ketinggalan zaman, jadi sore itu dia sengaja meluangkan waktu berjalan-jalan di Myeongdong untuk melihat-lihat.

Chanyeol masuk ke salah satu butik setelah melihat display manekin bersetelan jas yang cutting-nya dirasa akan cocok ia kenakan.

Saat itulah dia bertemu lagi dengan Baekhyun.

"Kau kerja di sini?"

"Aku seorang desainer. Tapi butik ini tidak hanya milikku, tapi juga milik dua temanku yang lain," tukasnya lalu menyebutkan nama Xi Luhan dan Huang Zi Tao.

Baekhyun sendiri yang mengukur tubuh Chanyeol dan memilihkan setelan jas yang dirasa pas. Setelah selesai, Chanyeol menghampiri sosok si perancang yang tengah berkutat menulis bon tagihan.

"Apa kau kosong setelah ini?"

Baekhyun menurunkan kaca matanya. "Sepertinya begitu, ada apa?"

"Mau temani aku minum kopi?"


"Jadi Joonmyeon adalah sepupumu?"

"Begitulah, lalu apa hubunganmu dengan Yixing?"

"Dia seniorku sekaligus teman sekamarku sewaktu kuliah."

Sudah dua jam mereka duduk berhadapan di cafe tapi obrolan belum menunjukkan titik jenuh. Tiga gelas kopi telah tandas namun pembicaraan masih berlanjut, mengalir bak aliran sungai. Ini ketiga kalinya mereka bertemu di cafe untuk sekedar minum kopi bersama melepas penat. Keduanya langsung merasa klop karena disatukan nasib yang sama—lajang yang terdesak.

Gelak tawa kadang menyelingi percakapan mereka. Baekhyun berinduksi, Chanyeol adalah pendengar sekaligus pelawak yang handal. Pria itu begitu humoris dengan candaan segar, namun akan duduk manis dengan telinga terpasang jika harus mendengarkan.

Bagi Chanyeol sendiri, Baekhyun adalah sosok yang menyenangkan. Baekhyun tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Ia bisa semangat berapi-api, namun bisa juga berubah lembut dan ceria.

"Kau tentunya sudah tahu kalau istri sepupuku tengah hamil bukan?"

Baekhyun hampir tersedak. "Apa? Yixing hamil!? Dia belum memberitahuku!"

"Mungkin belum—karena aku sendiri baru mendengar kabarnya kemarin." Baru sebulan berselang sejak pesta pernikahan mereka dan kedua sejoli itu akan segera dikaruniai seorang putera. "...atau mungkin dia sengaja menyembunyikannya untuk—err—menjaga perasaanmu yang belum menikah?"

Baekhyun menyikut lengan Chanyeol keras. "Ya! Kau juga seorang lajang, ingat?"

"Terima kasih sudah mengingatkan." Bibir Chanyeol mengerucut, pura-pura kesal.

Keduanya tertawa.

"Jadi apa ibumu masih saja menghujanimu dengan pertanyaan 'kapan menikah'?"

"Tiga kali sehari tanpa absen, seperti jadwal minum obat." Chanyeol meraih ponselnya dari dalam saku. Nama ibunya terpampang di display. Dia bersyukur karena tidak mendengar dering ponselnya tadi.

"Ayahku bahkan mengancam akan memboyongku pulang ke kampung halaman untuk dijodohkan dengan anak saudagar tanah di sana." Nada bicaranya terdengar miris.

"Astaga, malang benar nasibmu." Chanyeol ikut bersimpati.

Baekhyun mengaduk kopinya yang sudah dingin, resah. "Padahal umurku baru dua puluh delapan."

"Aku juga—untuk apa buru-buru menikah di usia tiga puluh tahun." Chanyeol meluruskan kakinya ke bawah meja.

Baekhyun menyenderkan punggungnya yang kaku. Maniknya menerawang kosong. "Jika aku menikah nanti, pasanganku harus mengerti akan profesiku. Dia tidak banyak menuntut dan harus pengertian," tegasnya.

"Kalau aku menikah nanti, aku tidak akan banyak menuntut pada pasanganku. Aku akan membebaskan dia untuk tetap melakukan apa yang dia mau, asalkan dia tidak lupa meyajikan makan pagi dan makan malam," timpal Chanyeol panjang lebar.

Keduanya terdiam. Keduanya sibuk mengaduk kopi yang sudah dingin.

"Baekhyun—"

"Hm?"

"Bagaimana kalau kita—ng—menikah?"


Chanyeol ingin sekali menampar mulutnya yang lancang. Dia sendiri tidak sadar pada apa yang ia ucapkan. Kata-kata itu meluncur saja dari neuron otaknya tanpa sempat dipikir ulang.

Baekhyun berhenti mengaduk, napasnya tertahan. Ia mendongak, menatap Chanyeol lekat-lekat. Bibirnya sedikit terbuka, kelihatan terkejut.

Baekhyun berkedip. Dan berkedip lagi.

Apa dia tidak salah dengar?

Dia cepat-cepat menguasai diri lalu kembali mengaduk cangkirnya tak beraturan.

"Ma-maaf, jangan ambil hati omonganku barusan." Chanyeol benar-benar salah tingkah. Wajahnya pasti sudah merah padam. Sedetik kemudian ponselnya berdering, layarnya menampilkan kontak yang sama. "...ini pasti efek ibuku yang terus-terusan bertanya bak dokter mendiagnosa penyakit pasien. Nah benar kan, ibuku menelepon lagi."

Ketika Chanyeol bersiap mengangkat, jemari Baekhyun terulur mencegahnya.

Chanyeol menatap Baekhyun dengan ekspresi bingung.

"...jadi kapan, kau akan melamarku secara resmi?"


Baekhyun tidak punya alasan untuk menolak Chanyeol. Sebenarnya dia bisa saja punya, tapi dia tidak mau terlalu memikirkannya.

Sebaliknya dia punya banyak alasan untuk menerima Chanyeol.

Chanyeol adalah sosok yang baik, tampan, berpenghasilan, humoris, dan pendengar yang baik. Dengan setuju menikah dengannya itu berarti Baekhyun bisa memangkas pengeluarannya untuk membayar sewa apartemen, tagihan listrik, air, dan yang terpenting—menyumpal mulut-mulut yang terus menerus mendesaknya agar cepat menikah.

Dia tidak percaya jika tiga bulan sejak pesta pernikahan sahabatnya, kali ini dirinya sendiri lah yang berdiri di hadapan altar dengan sosok pria tinggi di sampingnya.

Di altar yang sama, taman yang sama, dengan susunan meja yang persis sama.

Kedua pihak keluarga begitu gembira dan ribut mempersiapkan pernikahan megah gila-gilaan. Tapi Chanyeol dan juga Baekhyun menepisnya ringan dan beralasan mereka ingin pernikahan yang sederhana namun khidmat, kalau bisa persiapannya diadakan secepat dan seringkas mungkin.

Lebih tepatnya, mereka tidak ingin uang dihambur-hamburkan untuk membiayai perkawinan kontrak ini.

Chanyeol melotot. "Kau tidak bercanda kan?"

"Aku serius." Baekhyun nampak gugup. Wajahnya sekeruh cairan kopi. "Ttunggu, jadi yang tadi itu bercanda?"

Chanyeol mengembuskan gumpalan napas yang tertahan di diafragma paru-parunya. "A-aku serius kalau kau juga serius."

Hening. Riuh orang-orang di sekitar mereka terdengar seperti desiran angin.

"Bagaimana jika setelah kita menikah, aku malah menemukan sosok lain yang aku cintai?"

Chanyeol tertegun. Ia tidak berpikir sampai sana.

Otaknya segera berpikir cepat. "Kita tinggal cerai saja, gampang kan?"

Baekhyun berhenti mengaduk kopi dan berganti menautkan jari-jari tangannya. "Jadi sampai masing-masing dari kita menemukan orang yang benar-benar kita cintai?"

Chanyeol mengangguk singkat. "Jadi bagaimana?" Hei, ini bukan ide yang buruk bukan?

"Baiklah, ayo kita menikah."

.

Dan inilah mereka. Berdiri berdampingan dihadapan hadirin dan kerabat dengan senyum kebohongan. Dari kejauhan, ibu Chanyeol memandang haru puteranya saat penghulu mempersilakan groom mencium bride-nya.

Chanyeol tampak salah tingkah. Baekhyun menyunggingkan senyum palsu, ujung bibirnya bergerak-gerak memberi isyarat—cepat cium aku di manapun asal jangan di bibir!

Tidak ada tatapan mesra, atau pandangan melankolis. Chanyeol mengecup pipi Baekhyun—singkat, cepat, tanpa perasaan, apalagi rasa cinta.

Para tamu bersorak.

.

.

.

...itu sudah lebih dari cukup.


Segera setelah pesta penuh sandiwara tersebut, Baekhyun pindah untuk tinggal bersama Chanyeol. Mereka menjalani keseharian mereka secara wajar, lebih seperti dua orang sahabat yang tinggal dalam satu atap.

Mereka membagi tugas. Kau bisa melihat tabel mingguan dengan coretan warna-warni bersisi job desk masing-masing tertempel di dinding dapur.

Baekhyun bertugas memasak, dua kali sehari, sarapan dan makan malam karena makan siang dihabiskan di kantor masing-masing. Dia juga bertanggung jawab atas kerapihan apartemen termasuk kamar mereka masing-masing. Sedangkan Chanyeol bertugas mencuci pada malam hari, menyikat kamar mandi, membuang sampah, dan mengepel lantai.

Hal-hal yang belum diatur akan dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Itu poin terakhir yang tertera di bagian bawah sudut kertas perjanjian mereka.

Selebihnya mereka akan saling menghormati privacy masing-masing dan menjalankan pernikahan palsu ini dengan wajar.

Baik Chanyeol maupun Baekhyun merasa nyaman dengan kondisi ini. Namun rasa nyaman itu tidak berlangsung lama sampai ada dua sosok lain yang muncul dalam kehidupan mereka.


"Sendirian?"

Oh ayolah, Baekhyun sedang tidak ingin diganggu sekarang. Dia sedang duduk seorang diri di meja bar dengan segelas cocktail. Dia butuh sendirian untuk mendinginkan otaknya yang lelah setelah seharian bekerja.

Label rancangannya diikutsertakan dalam ajang fashion internasional yang kali ini digelar di Seoul. Ini merupakan langkah bagus untuk melebarkan sayap dan mengokohkan diri sebagai salah satu merk yang patut diperhitungkan. Namun masalah timbul karena tiba-tiba, agensi model yang selama ini bekerja sama dengannya memutuskan kontrak sepihak tanpa alasan yang jelas.

"Boleh aku duduk di sampingmu?" suara bass itu lagi-lagi menyela lamunannya.

"Terserah," gumam Baekhyun ketus tanpa menoleh.

"Aku pesan yang biasa." Suara rendah itu terdengar lagi ketik seorang barista bertanya minuman apa yang hendak dipesan.

Mau tidak mau Baekhyun menoleh pada sosok di sampingnya.

Oh, lupakan rasa letihnya karena pria di sampingnya ini benar-benar tampan, menawan, dan berkelas. Catat—berkelas.

Baekhyun bisa mencium aroma Chanel yang menguar maskulin dari tubuh bidang itu. Setelannya pasti Giorgio Armani atau salah satu dari etalase rumah mode Dior. Tentu saja dia hapal karena ia seorang perancang busana.

"Sedang menunggu seseorang?" cetusnya kelewat ramah, tidak terganggu akan respon ketus Baekhyun.

Baekhyun segera mengubah nada bicaranya yang ketus menjadi amat sangat lembut,"tidak."

Mendengar jawaban Baekhyun, pria itu tersenyum simpul . Senyumnya membuatnya dua kali lipat lebih menawan. "Tidak keberatan jika kutemani?"

Diam-diam Baekhyun memasukan jarinya ke dalam saku celana lalu melepas cincin perak yang melingkar di jari manisnya dengan hati-hati.

Baekhyun menggeleng pada si pirang, lalu mengulas senyum. "Tentu saja tidak."

.

.

.

Kesempatan baik semacam ini tidak boleh dilewatkan.


Chanyeol duduk di balik meja kerjanya sambil memilah-milah laporan calon karyawan yang diajukan oleh departemen Human Resources perusahaan. Dia melirik sekilas jadwal interview yang ditulis pada sehelai kertas oleh Sehun—sekretaris Joonmyeon yang kini merangkap menjadi asistennya karena Minseok—sekretarisnya yang asli sedang cuti melahirkan.

Joonmyeon mengeluh karena kerja Sehun jadi tidak optimal. Dia kemudian menyarankan agar sepupunya ini segera mencari pengganti Minseok untuk sementara sampai pemuda berpipi bakpau itu kembali ke kantor.

"Sehun!" panggilnya melalui interkom telepon. "Kau bisa persilakan kandidat pertama untuk masuk ke ruanganku sekarang dan jangan lupa bawa CV-nya."

Pintu ruangan terbuka sepuluh detik kemudian. Sehun bergegas menuju meja atasannya. Jarinya yang panjang membolak-balik beberapa kertas di atas folder.

"Ini CV-nya Tuan," katanya sambil menyerahkan sebuntal kertas.

"Oke, sekarang kau bisa panggil si pelamar." Chanyeol membetulkan letak kaca matanya sebelum mempelajari daftar riwayat hidup calon sekretarisnya.

Tak lama kemudian, Sehun berjalan ke luar lalu muncul lagi bersama sosok lain.

Chanyeol membuat isyarat tangan mempersilakan duduk sambil tetap fokus membaca CV. Sehun sendiri telah kembali ke bilik kerjanya.

"Nama?"

Getaran lirih menyambut pertanyaan Chanyeol. "Do Kyungsoo."

"Apa sebelumnya kau punya pengalaman sebagai sekretaris?" Chanyeol menurunkan buntalan kertas yang menghalangi wajahnya. Nada angkuh ala bos langsung teredam kala maniknya menemukan sosok mungil yang tengah mengigit bibirnya gugup.

Diam-diam Chanyeol memasukan jarinya ke dalam saku jas, melepas cincin perak yang melingkar di jari manisnya dengan hati-hati.

Sudut bibirnya tertarik ke atas.

.

.

.

Kesempatan baik semacam ini tidak boleh dilewatkan.


To be Continued...


A/N:

Lanjut ga nih?

Bagi yang berniat (bagi yang berniat aja sih) menekan tombol follow atau favorite, bisa kan sekiranya meninggalkan sejentik komentar di kolom review?

Soalnya kalau ada notif email follow/favorite tanpa review tuh rasanya kaya di-PHP-in loh. Beneran :(

Please respect.

Thank you. ;)

Love,

Dami.