Jumat. Pukul lima sore. Mungkin waktu yang paling sulit untuk bisa bergerak tanpa terdeteksi di dalam kota. Atau mungkin justru yang paling mudah. Karena tidak ada orang yang memerhatikan apa pun pada pukul lima sore di hari Jumat. Kecuali jalan di depan mereka.


Some Description from One Shot (c) Lee Child.

Silver Bullet (c) Guardian of Mineral.

Hetalia (c) Hidekazu Himaruya.

Warning : OOC and some typo.


Pria yang membawa senapan itu berkendara ke arah utara. Tidak pelan, tidak juga cepat. Tidak menarik perhatian. Tidak mencolok. Dia mengendarai sebuah minivan berwarna cerah yang sudah bobrok. Dia menyetir sendirian. Dia mengenakan jaket berwarna merah muda dan sejenis topi rajut cerah tak berbentuk yang biasa dipakai orang tua di lapangan golf ketika matahari bersinar terik atau hujan mengguyur. Topinya memiliki garis dengan dua corak warna merah di sekelilingnya. Topi itu menutupi wajahnya. Mantelnya dikancingkan hingga ke atas. Pria itu memakai kacamata hitam meskipun jendela mobilnya gelap dan langit mendung. Dan dia juga mengenakan sarung tangan meskipun musim dingin masih tiga bulan lagi, dan cuacanya tidak dingin.

Jari telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk setir mobil, menyesuaikannya dengan nada lagu jazz Am I Blue?. Kepalanya mendongak sedikit. Mata violet-nya melihat lampu merah kini menyala menggantikan hijau. Dalam arti tata lalu lintas, lampu merah itu menginginkan ia untuk menginjak tuas rem dan menghentikan mobilnya. Walau hanya 60-70 detik atau kurang dari itu. Tak ada decakan sebal keluar dari pria itu. Toh, dia tidak begitu terburu-buru.

Minivan itu bergerak kembali—ketika lampu lalu lintas itu berubah menjadi hijau—mengikuti mobil-mobil yang lain. Lalu lintas kota Berlin terlihat tenang, tak semrawut seperti hari-hari sibuk. Pria itu memutar setir ke kiri, membuat minivan itu berbelok—masuk—ke dalam sebuah gedung yang masih dalam proses pembangunan. Kendaraan itu menaiki jalan menanjak masuk ke dalam bangunan sebelum akhirnya sampai di area parkir.

Pria itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kepala jok mobil. Lengan kanannya menutupi matanya sembari menarik-menghembuskan napasnya beberapa kali. Dibuka salah satu matanya dan menatap jam tangan perak yang dipasang di lengannya itu.

Masih banyak waktu. Kulakukan sekarang atau nanti saja, da?

Ia menatap senapan yang berbalut selimut—untuk menyamarkannya—yang masih bersandar manis di kursi penumpang disebelahnya. Menunggu untuk ditarik pelatuknya.

Da, lebih baik kulakukan sekarang.

Ia matikan radionya itu, membuka balutan selimut dan keluar dari mobil sembari menyiulkan alunan nada lagu Let it be. Ia berjalan menaiki tangga yang ada dan terus menaikinya hingga sampai di lantai lima. Mendekati pinggir bangunan dan memasang beberapa selongsong peluru ke senapannya, membuka tripod untuk mennyangga senapannya. Targetnya ada di lantai empat, setidaknya ia perlu tripod itu.

Pria bersenapan itu menarik napas, dan menghembuskannya, dan menunggu.

Kemudian dia berhenti menunggu.

Dia menarik pelatuknya dan terus menariknya.

Peluru itu meluncur, menghantam kepala seorang pria yang ada di gedung bertingkat di depannya dan langsung membunuhnya. Suara tembakan itu sangat keras, dan peluru itu mengeluarkan suara ledakan supersonik serta kepulan kabut merah muda dari kepala si pria yang langsung tersungkur seperti boneka tali yang putus.

Pria itu mengangkat senapannya—merubah posisinya menjadi vertikal di depan bahu kanan—kepulan asap keluar dari moncong senapan itu. Senyum puas terbentuk di wajahnya itu. Dengan segera, ia bereskan peralatannya. Dan langsung turun menuju kembali ke parkiran.

Pintu belakang mobil masih terbuka. Dia membungkus kembali senapannya yang masih hangat dengan selimut dan kemudian menutup pintu. Duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin. Menatap meteran parkir dari balik kaca depan mobil. Dia memundurkan mobil dan menuju jalan keluar yang melandai. Menuruninya dan melewati pintu keluar yang tidak dijaga, lalu belok ke kanan dua kali, menuju jalan yang kusut di belakang pusat perbelanjaan. Dia sudah melewati jalanan di bawah jalan layang ketika mendengar bunyi sirene pertama. Dia menghembuskan napas. Bunyi sirene itu mengarah ke timur, sedangkan dia sendiri mengarah ke barat.

Minivan itu kembali berhenti tepat saat lampu merah. Pria itu tersenyum.

Malam ini akan menjadi malam yang menyenangkan da~.

-To Be Continued-


Yap! Prolognya selesai, maaf kalau pendek. Mungkin yang membaca berkenan untuk meninggalkan kritik dan pesannya.

Thursday, December 05, 2013.