Konoha Gakuen no Akuma © HanRiver

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

SasukexSakura Alternate Universe Fanfiction

.

.

.

OOC, chara labil seperti author-nya, bad diction.

.

.

.

If you don't like, don't ever try to read.

.

.

.

Enjoy.

.

.

.

Chapter 12 : The End

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Haruno Sakura hanya bisa terbungkam dengan emerald yang melebar. Gadis itu melirik Sasuke yang nampak menatap tajam pada pria yang berjarak lima meter darinya itu. Setetes keringat pun mengalir di pelipis Naruto, Sai dan Gaara yang khawatir dengan apa yang akan terjadi nantinya. Firasat mereka berkata bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Sasuke bertanya dengan nada dingin, disambut senyuman sinis dari Uchiha Itachi.

"Kau tahu jawabannya, Sasuke." Itachi memberi jeda. "Tentu saja, aku ingin melenyapkanmu."

Sakura, Naruto, Gaara, Sai dan Shion terbelalak. Sasuke tampak tenang walau ia juga terkejut dengan hal yang baru saja diucapkan Itachi. Ia pun sadar, bahwa kakaknya sangat membencinya. Kasih sayang yang dibicarakan Sakura dulu hanyalah omong kosong. Tak ada kasih sayang yang tersisa. Hati Itachi telah menggelap untuknya.

"A—apa yang kau katakan, Itachi-san?!" Sakura membuka suara saat mendengar ketidakwarasan Itachi. "Dia adikmu! Bagaimana bisa kau berniat seperti itu padanya?! Dia—"

"Cukup, Sakura."

Sasuke menggenggam tangan Sakura, menghentikan ucapan gadis itu. Emerald Sakura mulai berkaca-kaca, apalagi saat Sasuke tersenyum tipis kepadanya. Ia tahu dalam senyum itu tersirat kesakitan luar biasa. "Cukup."

"Sasuke—" Tenggorokan gadis itu tercekat saat Sasuke mengeratkan genggamannya.

"Aku baik-baik saja," bisik Sasuke pelan.

Ketua dewan murid tersebut terdiam. Namun bukan berarti ia percaya dengan penegasan Sasuke. Mana mungkin Sasuke baik-baik saja. Sekuat apapun Sasuke, mana mungkin pemuda itu baik-baik saja!

"Naruto, Gaara, Sai, apapun yang terjadi padaku nanti, jangan ikut campur," perintah Sasuke yang semakin membuat ketiga orang itu terkejut.

"Ketua! Apa yang kau katakan?! Kami akan membantumu!" ujar Gaara cepat. Orang yang dihadapi Sasuke bukan preman yang biasa mereka pukuli. Pria satu itu cukup gila, dan ia yakin Itachi akan melakukan hal gilanya. Dan satu poin penting yang mereka ingat, bahwa Itachi lebih dulu belajar teknik beladiri daripada Sasuke. Mereka yakin Itachi bukanlah lawan yang mudah, bahkan untuk seorang Uchiha Sasuke sekalipun.

"Kau tak dengar apa kataku?" Nada suara pemuda itu menajam, membuat ketigannya bungkam, seolah-olah kata-kata Sasuke benar-benar kata yang paling mutlak.

"Keputusan yang bijak untuk seorang pengecut sepertimu." Itachi menanggapi. "Jangan buang waktu lagi, Sasuke."

Dengan gerakan pasti, Itachi membuka jaketnya, memperlihatkan kaos hitam dibaliknya. Sasuke pun juga sudah membuka kancing kemejanya, walau pergerakannya terasa cukup sulit baginya. Ini konyol baginya. Mengapa ia harus melawan kakaknya sendiri?

"Panggil polisi, Hinata."

Usul Ino membuat Sasuke menolehkan kepalanya dan menatap tajam teman-temannya. "Jangan lakukan itu."

"Kenapa?" Ino balas menatap tajam Sasuke. "Kau pikir kami hanya bisa diam? Mungkin Sai, Naruto dan Gaara akan menuruti perintahmu. Tapi aku dan Hinata tidak akan menurutinya. Aku—"

"—Ino." Sakura memotong. "Ikuti saja kemauan Sasuke."

"Sakura-?! Kenapa kau juga—"

Sakura menatap pasti pada Ino, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Walau di lubuk hatinya, wanita itu benar-benar merasa khawatir.

Itachi maju beberapa langkah, begitupun Sasuke. Tanpa pertahanan, Itachi langsung meninju wajah Sasuke dengan gerakan cepat. Sasuke tak melawan, dirinya hanya mempertahankan keseimbangan tubuhnya dengan darah yang langsung menetes di sudut bibirnya.

Saat Itachi baru saja hendak melancarkan pukulan keduanya, Sasuke terlebih dahulu meninju perut kakaknya, membuat pemuda itu sedikit meringis dan membalas perlakuan itu dengan tendangan. Perkelahian itu seimbang. Kedua kakak beradik tersebut saling membalas satu sama lain, menimbulkan berbagai memar di tubuh mereka.

"Kenapa ..." Itachi menggeram kesal. "Kenapa kau bisa membalas seranganku?!"

Bugh!

Itachi sekali lagi memukul wajah Sasuke, kali ini membuat darah menetes dari hidung pemuda itu, membuat pemuda itu cukup terhuyung namun dapat membalas pukulan Itachi.

Bugh!

"Aku ... tidak menginginkanmu. Aku tidak menginginkan adik sepertimu!"

Duak!

"—ukh!" Tendangan pada ulu ati Sasuke membuat pemuda itu meringis dan sedikit menunduk. Hal ini membuka kesempatan Itachi yang langsung menyerang tengkuk Sasuke dengan sikunya, membuat Sasuke terjatuh di tanah.

Tak bisa melewatkan kesempatan emas, Itachi mulai menendang tubuh Sasuke lagi tiga kali sampai Sasuke menangkap kaki kakaknya dan menariknya, membuat keseimbangan Itachi ikut runtuh.

Sasuke membalas perlakuan Itachi. Pemuda itu menaiki tubuh Itachi dan memukul wajah kakaknya. Setelah sekali memukul, Sasuke berlirih pelan, "apa untungnya kita melakukan ini, Kakak ...?"

"Jangan ..." Itachi menggeram, mengambil batu yang berukuran cukup besar di dekat tangan kanannya. "JANGAN PANGGIL AKU 'KAKAK'!"

BUGH!

"Sasukeee!" Sakura hendak mengambil langkah, namun Naruto dan Gaara menahan tangannya. Gadis itu mulai menangis saat melihat darah yang bercucuran di pelipis Sasuke akibat batu yang digunakan Itachi untuk menghantam kekasihnya. "Jangan halangi aku! Apakah kalian tidak melihat Sasuke di sana?!" pekik Sakura pada ketiga pemuda itu.

Naruto dan Gaara terdiam. Sai yang menjawab dengan nada serius, "kami diperintahkan unuk tak ikut campur. Kuharap kau juga, Sakura-sama."

"Lupakan perintahnya! Sasuke—dia bisa—" Hinata memeluk Sakura yang menangis.

"Aku akan menelpon polisi." Ino meraih ponselnya, namun Sai segera merebut benda itu. "Apa yang kau lakukan, Sai?!" geram Ino yang berusaha merebut ponselnya kembali.

"Kenapa kau tidak mengerti juga, Ino?!" Suara Sai meninggi. "Sebanyak apapun kebencian Itachi padanya, Sasuke tetap menyayangi Itachi. Sasuke tak bisa melihat kakaknya berurusan dengan polisi. Dia tidak mau hal itu terjadi. Kumohon, mengertilah."

Ino terbungkam. Tak bisa membalas perkataan Sai lagi.

Bugh!

Pertahanan Sasuke sudah mulai goyah. Darah terus menetes dari pelipis, sudut bibir dan hidungnya. Namun bukan hanya dia, Itachi juga sudah mulai tampak lelah. Wajahnya pun tak kalah bonyok dengan Sasuke. Dirinya tak menyangka adiknya bisa menandinginya. Tapi tetap saja, ia tidak akan kalah!

Duak!

"—ugh—!" Tendangan telak pada rusuk Sasuke, membuat pemuda itu terbatuk. Itachi kembali melancarkan serangan lagi, tapi kali ini tangannya berhasil ditangkis oleh Sasuke yang langsung melancarkan hantaman keras pada wajah kakaknya.

Kesadaran Sasuke sudah mulai menipis akibat darahnya yang terus keluar. Itachi pun juga sudah tak bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya.

"Sudah cukup." Itachi meraih sesuatu pada saku celananya. Sebuah pisau lipat. Membuat Sakura, Ino, Hinata, Naruto, Gaara dan Sai terbelalak.

"Kau sudah gila, Itachi!" Naruto berteriak.

"Gila?" Itachi tertawa. "AHAHAHAHAHA!"

"Itachi-saan! Kumohoon! Jangan!" pinta Sakura dalam tangisannya. "Naruto! Sai! Gaara!" Gadis itu kembali menatap ketiga teman Sasuke dan mengatupkan kedua tangannya, pertanda memohon.

Naruto menggeretakkan giginya. "Sial! Aku akan membantu Sasuke! Aku tak bisa melihat dirinya seperti itu!" Sai dan Gaara mengangguk. Mereka juga tampak bersiap untuk membantu Sasuke.

"JANGAN IKUT CAMPUR!"

Teriakan Sasuke membuat Naruto, Sai dan Gaara menghentikan pergerakan mereka. "Jika kalian masih menganggapku sebagai seorang ketua, maka turuti perintahku." Sekali lagi, mereka tak berkutik dengan perkataan sang ketua.

Setelah memastikan Naruto, Sai dan Gaara telah mengurungkan niatnya, Sasuke kembali terdiam dengan napas terengah-engah. Pandangan pemuda itu telah sayu. Ia yakin tak bisa lagi bertahan dalam waktu lama. Tenaga Itachi tidak sebanding dengan preman yang selalu dipukulinya.

"Aku sudah membawa pisau ini spesial untukmu, Sasuke." Itachi menyeringai. "Dengan pisau ini, aku akan—"

"—lakukan."

Sasuke memotong ucapan Itachi, yang membuat Itachi cukup terkejut. "Kau ingin melenyapkanku, bukan? Kau ... sangat ingin melakukannya, bukan?"

"Kalau begitu, wujudkan keinginanmu. Aku tak akan melawan lagi." Sasuke tersenyum. "Asal itu membuatmu senang dan puas, Kakak ..."

Deg!

"A-apa yang kau katakan?" Tubuh Itachi gemetar.

"Setidaknya, sampai akhir hayatku aku tidak menyesal memiliki seorang kakak sepertimu." Sasuke mempertahankan senyumannya. "Kau masih tetap seorang kakak yang aku kagumi."

Sasuke melangkah mendekati Itachi yang masih tampak tercenggang dengan kata-kata adiknya. "A—apa yang kau katakan? Jangan mendekat!"

Setelah sampai tepat di hadapan Itachi, Sasuke meraih tangan kakaknya, menuntun tangan itu untuk menusukkan pisau pada perutnya sendiri dengan gerakan cepat.

"—ukh!"

"Sasukeee!" Sasuke tak peduli dengan teriakan Sakura yang memanggil namanya. Darah mulai menetes pada bagian perutnya, dan Itachi tak bergeming. Pemuda itu terlalu syok dengan apa yang dilakukan adiknya.

'Kakak!'

'Aku ingin menjadi seperti kakak!'

'Kakak adalah orang yang sangat kukagumi!'

Perkataan-perkataan Sasuke ketika kecil terngiang di kepala Itachi. Tangan pemuda itu menghangat akibat darah yang berasal dari perut Sasuke. Adiknya kembali menuntun tangan itu, mengarahkan pisau tersebut tepat ke arah jantungnya.

"Jika aku hanya menjadi beban untukmu, aku tak masalah tak berada di dunia ini lagi." Mata Sasuke semakin sayu. Pemuda itu kini benar-benar kehilangan kesadarannya. "Tusuk aku sekarang, maka kebencianmu akan pergi bersamaan dengan kepergianku."

Itachi terdiam dengan benak yang penuh dengan masa lalu mereka berdua.

Pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar membenci adiknya?

Siapa yang patut dia salahkan?

Apakah adiknya benar-benar bersalah?

Memangnya apa yang telah dilakukan Sasuke padanya?

Tidak ada.

Sasuke tak pernah membebaninya. Sasuke tak pernah melakukan apapun padanya. Sasuke hanya ... menyayanginya.

Lalu, kenapa? Apa yang dia lakukan?

Apa ... yang telah dia lakukan?

"AAARRRGGGHHH!" Itachi membuang pisau itu dengan air mata yang keluar dari onyx-nya. "Apa ... yang telah aku lakukan?!" Pemuda itu jatuh terduduk di tanah dengan penyesalannya.

Dua detik setelahnya, Sasuke benar-benar kehilangan kesadarannya. Hal yang terakhir ia lihat adalah Sakura yang berlari mendekatinya, juga para guru yang ternyata dipanggil oleh Shion.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Onyx Sasuke terbuka dengan perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah raut wajah Sakura yang sudah hampir menangis serta ruangan serba putih. Bau antiseptik pun senantiasa menusuk indra penciumnya. Ia tahu ia berada di mana sekarang.

"Sasuke!" Teriakan bahagia Sakura mengawali tangis gadis itu. Kekasihnya mulai terisak seraya bergumam dengan tidak jelas, "bodoh ... bodoh ... bodoh ..."

"Begitukah tanggapanmu setelah aku siuman?" Sasuke berkata dengan senyuman lemah yang membuat Sakura menatapnya dengan tatapan kesal.

"Ini bukan waktunya untuk berkata seperti itu! Kau memang ... bodoh! Kenapa kau melakukannya?!" amuk Sakura dengan air mata yang masih mengucur sedikit demi sedikit. "Aku hampir mati melihatmu seperti itu, Sasuke. Dasar egois. Kau tak memedulikan perasaan orang-orang yang sayang padamu. Bodoh! Egois! Jelek!"

"Saku—"

"Kumohon ... jangan seperti itu lagi ... hiks ... kau membuatku sangat takut ..."

Sasuke terdiam. Pemuda itu menjulurkan tangannya dan memberi kode pada Sakura agar mendekatkan kepalanya. Setelah jarak mereka sudah mendekat, Sasuke meraih tengkuk Sakura dan menyandarkan kepala gadis itu di dadanya seraya berucap, "maaf ..."

Keduanya sama-sama terdiam, menikmati kehangatan yang saling mereka salurkan.

Tok! Tok!

Suara ketukan membuat Sakura terkesiap. Gadis itu langsung bangkit dan berjalan menuju pintu. Dirinya lebih terkesiap saat melihat sosok dibalik pintu. Uchiha Itachi, yang berdiri dengan wajah agak tertunduk.

"Mmm ... boleh aku masuk?" tanya pemuda berambut panjang tersebut dengan nada canggung.

Sakura mengangguk ragu, namun ia mempersilahkan Itachi masuk dengan mengawasi pergerakannya. Ia takut Itachi akan kembali menyerang Sasuke di saat seperti ini.

"Sasuke ..." Itachi berlirih, menatap kondisi adiknya yang terlihat cukup buruk, walau dirinya juga dipenuhi memar.

"Kakak." Sasuke mencoba untuk duduk dengan sedikit rintihan. Sakura yang melihat hal itu segera membantu kekasihnya.

Ketiga remaja di ruangan bernuansa putih itu terdiam. Suasana canggung menerkam mereka. Sakura baru kali ini bertemu dengan Itachi, dan Sasuke pun tak tahu lagi bagaimana harus berkomunikasi dengan kakaknya sejak mereka selalu bersitegang.

"Maaf." Pada akhirnya, sebuah kata penyesalan terucap dari bibir Itachi. "Aku tak tahu apakah aku pantas mengucapkan kata itu. Aku ... hanya terlalu bodoh dan membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan."

"Aku membuangmu dan selalu membebanimu. Aku bahkan melibatkan orang yang kau sayangi. Aku selalu menyalahkanmu atas segala takdir yang kuterima. Aku menyakitimu. Aku selalu menyakitimu. Tapi ..." Air mata penyesalan tampak di sudut mata Itachi. "...aku tak sadar bahwa kau selalu menyayangiku. Aku tak sadar bahwa kau adalah adikku yang masih sama seperti dulu. Mataku buta akan kebencian. Kebencian karena kehilangan orang tua dalam waktu dekat. Aku melimpahkan semuanya padamu, tanpa sadar bahwa kau juga merasakan hal yang sama denganku."

"Cukup, Kakak." Sasuke menyela. "Kau selalu saja melimpahkan kesalahan pada siapapun."

Sakura sedikit mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Sasuke.

"Setelah melimpahkan semuanya padaku, sekarang kau menyalahkan dirimu sendiri. Cukup. Tak ada yang perlu disalahkan."

"Sasuke ... kau boleh memukulku."

"Kubilang cukup, Kakak."

"Aku—"

BUGH!

Sasuke terkesiap. Itachi bahkan tak sanggup mengelak saat Sakura yang daritadi menjadi penonton tiba-tiba menghajar perutnya.

"Anggap saja aku mewakili Sasuke." Sakura berkacak pinggang. "Sasuke mungkin tak membencimu ataupun kesal padamu. Tapi aku sangat kesal padamu, Uchiha Itachi. Kau membuat kekasihku bersedih dan bahkan ia sempat memutuskanku karena depresi. Kau membuatku hampir bergeser dari jabatanku. Terakhir, kau membuat Sasuke sang ketua iblis terbaring lemah seperti ini. Oh ya, aku belum tahu kepastiannya tapi aku yakin kaulah yang membuat ayahku terfitnah di rumah sakitnya."

"Aku diceritakan mengenai masa lalu kalian. Satu-satunya yang salah adalah Sasuke yang terlalu memanjakan kakaknya dan aku yakin hal itu terjadi karena kakaknya yang juga terlalu memanjakannya dulu. Kata maaf cukup berarti, tapi perubahanlah yang dibutuhkan. Berhenti bersikap dramatis dan jadilah sepasang saudara yang benar-benar bisa disebut sebagai 'saudara'." Setelah mencerocos panjang lebar, Sakura yang kehabisan oksigenpun segera bernapas kembali. Setelah sadar atas semua yang telah dia ucapkan telah melewati batas, gadis itu segera memasang cengirannya. "Maaf jika aku telah melewati batasanku."

"Pfftt—"

Sasuke dan Itachi kompak menutup mulut mereka, menahan tawa setelah mendengar ceramah Sakura.

"Sebenarnya, aku cukup penasaran dengan wanita yang membuatmu jatuh hati, Sasuke." Itachi tersenyum. "Setelah melihatnya secara langsung, aku jadi tahu kenapa kau bisa menyukainya."

Onyx Sasuke tergulir ke arah Sakura yang balas menatapnya dengan tatapan heran. "Dia memang luar biasa, bukan?"

Wajah Sakura memerah saat dipuji seperti itu oleh Sasuke.

"Baiklah. Aku harus menemui psikiater saat ini." Itachi berucap seraya melirik arlojinya.

"Psiakiater?"

"Aku memerlukan sedikit konsultasi tentang kejiwaan." Itachi tersenyum. "Sampai jumpa, Sasuke, Sakura."

"KETUAAAA!"

Sakura terperanjat kaget saat mendengar teriakan yang tidak asing di telinganya. Itachi yang belum sepenuhnya keluar dari ruangan pun juga sedikit tertawa saat melihat keenam remaja yang memasuki ruang rawat Sasuke.

"Eh? Kak Itachi? Kau sudah mau pulang?"

"Ya. Sampai jumpa, Naruto."

"Hum! Sampai jumpa!" Naruto melambaikan tangannya pada Itachi sebelum memasuki ruangan.

"Ketua, kau tak apa?" Sai bertanya dengan raut wajah khawatir. Gaara dan Naruto juga memasang ekspresi yang sama.

"Entahlah, Teme. Tapi, aku sedikit merasa aneh dengan perubahan signifikan dari kak Itachi." Naruto berkomentar seraya sedikit lebih mendekat pada Sasuke. "Melihatnya tersenyum seperti itu membuatku takut."

"Apa yang kau katakan, Bodoh?" Sebuah jitakan diberikan pada Naruto oleh Gaara yang sedari tadi berada di sampingnya. "Seharusnya kau bahagia saat dirinya tak menatap sinis pada kita lagi."

Sai menengahi mereka dengan senyum palsunya seraya berucap, "sudah, sudah. Berdoa saja semoga sifat kakaknya ketua tak berubah lagi, dan ketua kita bisa sembuh secepat mungkin."

"Tentu saja aku akan sembuh dengan cepat," tukas Sasuke dengan senyum 'apa kau meremehkanku?'. "Luka seperti ini tidak bisa menghalangi jalanku."

Sakura menyipitkan matanya. Kekasihnya benar-benar sombong, padahal pemuda itu bahkan sulit untuk duduk dengan luka tusukan di perutnya.

"SASUKEEEE!"

BRAAK!

Mata para remaja yang ada di ruangan tadi—minus Sasuke- sukses melebar saat Temari memasuki kamar rawat Sasuke dengan mendobrak pintu. Wajah gadis pirang itu sangat tak santai. "Apa yang terjadi padamu?! Kenapa kau bisa berada di sini, hah?! Hei, kau! Jelaskan padaku!" Temari berubah haluan ke arah Naruto, mencengkram kerah pemuda itu dan mulai menggoyang-goyangkan tubuh malang Naruto dengan keras.

"Tenang dulu, Temari! Lagipula kenapa kau malah menjadikanku sasaran dari rasa penasaranmu?!"

Perempatan siku-siku muncul di dahi Temari saat itu juga. "Jadi kau menyuruhku menjadikan adik kecilku sebagai sasaran, hah?!"

"Apanya yang adik kecil, hah?! Kau tak lihat adikmu itu sudah sebesar orang utan?!"

"Kau menyamakan Gaara dengan Orang Utan?!"

Gaara dan Sakura menyaksikan kedua orang itu dengan pandangan sweatdrop. Sai menyaksikan dengan wajah senang, seakan hal di depannya adalah hiburan tersendiri baginya. Sedangkan Sasuke malah sibuk mengutak-atik ponselnya.

"Hei, kalian tenanglah. Perawat menyuruhku menegur kalian." Shikamaru yang ternyata sejak tadi masih berdiri di luar pintu akhirnya membuka suara dengan nada malas. "Temari, kau memintaku menemanimu untuk menjenguk Sasuke, bukan untuk beradu mulut."

Setelah mendengar perkataan tunangannya, akhirnya Temari melepas cengkramannya dan berdehem pelan, "jadi, bagaimana bisa Sasuke berada di tempat ini?"

Gaara, Naruto dan Sai saling memandang. Mereka saling berharap bahwa salah satu dari mereka bersukarela untuk menceritakan semuanya pada Temari. Melihat tak ada niatan dari ketiganya, akhirnya Sakura lah yang membuka suara. Gadis itu menceritakan dengan singkat apa yang terjadi di taman belakang sekolah.

"Hmm ..." respon Temari saat Sakura telah menyelesaikan ceritanya. "Tapi sudah kuduga. Pertarungan antara Sasuke dan Itachi pasti akan berakhir seperti ini. Walau Sasuke lebih kuat pun, ia pasti akan menahan dirinya. Tapi, sudahlah. Toh semua juga sudah berakhir."

"Temari, ini sudah waktunya pulang." Shikamaru melirik arlojinya. "Sampai jumpa lagi. Sakura, ingat tugasmu sebagai ketua dewan murid. Kau harus segera mengumpulkan laporan kegiatan."

Sakura mengangguk. Benar juga. Ia belum mengerjakan laporan festival sama sekali. Setelah Temari dan Shikamaru pergi, pintu kembali terbuka dan membuat emerald Sakura melebar.

"A—Ayah! Ibu!"

What?! Ayah?! Ibu?!

Sasuke dengan cepat meletakkan ponselnya kembali ke meja sebelah ranjangnya dan menatap dua orang berseragam serba putih yang baru saja masuk di ruangannya. Naruto, Gaara dan Sai yang tadinya sempat merebahkan diri mereka di sofa kini kembali berdiri tegap.

Ayah Sakura tersenyum. "Perkenalkan, aku ayah Sakura, dokter Haruno Kizashi. Dan ini adalah istriku. Dia adalah seorang perawat, Haruno Mebuki."

"Salam kenal. Namaku Uchiha Sasuke. Aku—" Sasuke tampak ragu, onyx-nya menatap Sakura yang juga menatapnya.

"Hihihi ... sudahlah. Tak perlu disembunyikan. Sakura sudah cerita semuanya pada kami."Ibu Sakura terkikik geli saat melihat ekspresi Sasuke. "Kami hanya ingin melihat seperti apa dirimu, Sasuke-kun."

Gaara, Naruto dan Sai baru kali ini melihat ekspresi ketuanya yang agak kacau. Entahlah, mungkin pemuda itu gugup melihat orang tua Sakura pertama kali, apalagi di tempat yang tak sesuai dengan keadaan yang tak baik pula.

Seakan mengingat sesuatu, Sakura bertanya, "Ayah, bagaimana dengan kasusmu?"

Kizashi tersenyum sumringah seraya menjawab, "semuanya sudah membaik. Aku tak jadi dipindahkan." Jawaban tersebut membat Sakura bernapas lega. "Mereka menemukan bukti bahwa aku tak bersalah dan mencabut semua tuduhan itu. Direktur rumah sakit bahkan meminta maaf padaku."

Perkataan Kizashi membuat Sasuke bergerak, hendak menuruni tempat tidurnya. Sai dengan sigap menghampiri ketuanya dan membantunya untuk berdiri.

"Apa yang kau lakukan, Nak? Tetaplah berbaring," perintah ibu Sakura saat melihat Sasuke yang mencoba berdiri dengan rintihan pelan. Namun Sasuke tak menghiraukannya dan kali ini mencoba untuk menegapkan badannya.

"Semua yang terjadi, pasti telah menyakiti keluarga kalian, apalagi Sakura." Onyx Sasuke bergulir menatap Sakura yang balas menatapnya dengan tatapan khawatir. "Aku sudah menyakiti putri kalian dengan memberikan banyak masalah padanya. Anda bahkan juga mendapat masalah karena konflik yang terjadi antara aku dan kakakku. Dengan sepenuh hati, aku sangat minta maaf." Sasuke menunduk memohon maaf, membuat Sai, Naruto dan Gaara sedikit tercenggang. Baru kali ini mereka melihat ketua mereka menunduk di hadapan orang lain.

Suasana kini menjadi hening sampai ibu Sakura tersenyum dan membuka suara, "tidak perlu meminta maaf. Masalah sudah selesai saat ini, bukan? Tapi ingatlah, jangan menyakitinya lagi. Jagalah dia dengan baik karena kami percaya padamu."

Bibir Sasuke melengkung, tersenyum tipis seraya berucap, "ya. Terima kasih."

"Kurasa ini waktunya bagi kami untuk pergi. Sakura, pulanglah dengan kami."

Sakura menatap ayahnya dengan wajah memprotes. "Tapi, Sasuke—"

"Pulanglah, Sakura-chan." Naruto menepuk pundak Sakura. "Kami yang akan menjaga ketua kami. Tenang saja, walau bertampang seperti itu, tapi Gaara adalah seorang perawat yang hebat!"

Mendengar namanya disebut, Gaara seketika menatap Naruto dengan tatapan malas seraya bergumam, "... sejak kapan aku menjadi perawat yang hebat?"

Walau tambah khawatir, namun Sakura akhirnya menyerah dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku pulang dulu. Sampai jumpa, Naruto, Sai, Gaara, ... Sasuke."

Orang tua Sakura melangkahkan langkahnya dan keluar ruangan lebih dahulu. Sakura membalikkan badannya dan hendak melangkah, namun sebuah pelukan dari belakang membuat langkahnya terhenti.

Dengan pelan, Sasuke berbisik tepat di telinga Sakura, "sampai jumpa."

Perlakuan tersebut sukses membuat wajah Sakura memerah. Bahkan, Naruto, Gaara dan Sai yang menyaksikannya pun juga ikut memerah. Pelukan itu hanya bertahan lima detik sampai Sasuke melepaskannya dengan wajah kesakitan. Sepertinya posisi itu membuat lukanya terasa sakit.

"... Sakura? Ada apa? Kenapa kau berdiam diri seperti itu?" Ibu Sakura menongolkan kepalanya ke dalam ruangan saat putrinya tak juga menyusulnya. Hal itu membuat Sakura tersadar dan melangkah dengan cepat untuk meninggalkan ruangan Sasuke.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Baiklah. Kita mulai rapat evaluasi festival kemarin. Hmm ..." Emerald Sakura menelusuri laporan-laporan mengenai kegiatan festival tempo hari yang berada di tangannya. "Neji, apakah semua properti yang telah dipinjam dari sekolah sudah dikembalikan?"

Hyuga Neji mengangguk singkat seraya menjawab, "ya. Semuanya sudah dikembalikan kemarin."

Jawaban Neji membuat Sakura tersenyum puas. "Bagus. Selanjutnya, Hinata, apakah ada dana tambahan yang kau keluarkan kemarin?"

"Tidak ada. Aku tak mengeluarkan sepeserpun."

"Yosh. Terakhir, Shikamaru, bagaimana dengan semua stand? Aku melihat ada beberapa stand yang masih berdiri di koridor. Kalau stand itu masih ada sampai besok, sudah dipastikan kita akan mendapat teguran dari guru."

Dengan desahan malasnya, Shikamaru menanggapi, "aku sudah lelah menegur kelas yang masih belum membereskan stand-nya. Sepertinya mereka sama sekali tidak mendengarkan perintahku."

"Dan kebanyakan stand yang masih berdiri itu adalah milik kelas tiga. Aku pikir mereka menganggap remeh Shikamaru karena dia adalah junior mereka." Ino menambahkan dengan raut wajah agak kesal. Kemarin wanita itu juga sempat menemani Shikamaru untuk menegur para kelas yang belum membereskan stand-nya, namun mereka benar-benar diacuhkan.

Sakura berpikir sejenak. "Aku ... tahu."

"Hmm? Tahu apa?" Para anggota dewan murid mengerutkan keningnya kala melihat senyum licik ketuanya.

.

.

.

.

.

.

.

"HEII! BERESKAN STAND-STAND INI DENGAN CEPAT, ATAU KAMI AKAN MENGHABISINYA!"

"Atau kami juga akan menghabisi kalian, Senpai."

"Stand ini sangat mengganggu."

Naruto menatap garang gerombolan senior yang menatap mereka dengan tatapan takut. "HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN?! CEPAT BERESKAN STAND KALIAN ATAU KAMI AKAN MENGAMUK DI KORIDOR INI!"

"B-baik!"

Para senior langsung tergerak, membuat Sakura yang menatapnya menampilkan ekspresi sweatdrop. Ya, memang idenya untuk memanggil Naruto, Sai dan Gaara. Tapi ia tak menyangka idenya ini benar-benar berhasil.

"Aku tak menyangka mereka berbakat menjadi seorang algojo," komentar Ino yang berada di sampingnya seraya menatap Sai yang sedang menakut-nakuti senior mereka.

"Senpai, ayolah. Kalau tidak—" Sai tersenyum palsu seolah-olah menggorok lehernya sendiri dengan gerakan tangannya.

"BERESKAN SAMPAI BERSIH! SAMPAI KORIDOR KEMBALI SEPERTI SEMULA! HAHAHAHAHA!" Sepertinya, Naruto adalah orang yang paling menikmati pekerjaan ini. Pemuda itu terus saja tertawa puas sampai sebuah tendangan mendarat mulus di belakangnya. Baru saja ia hendak berbalik untuk melawan, gerakannya tiba-tiba terhenti saat melihat orang yang telah menendangnya.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI KORIDOR KELAS TIGA, HAH?!" Rei Temari menatap mereka bertiga dengan tatapan lebih garang. "DI MANA RASA HORMAT KALIAN PADA SENIOR KALIAN?!" Temari menjewer telinga Sai dan Naruto yang disambut ringisan dari kedua pemuda itu.

Kacau.

Sakura yang melihatnya dari jauh tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Tapi dia harus bertanggung jawab atas semua ini.

"Temari-san, aku yang menyuruh mereka." Sakura mendekat. "Shikamaru telah menyuruh para senior untuk membereskan stand mereka, tapi mereka sama sekali tak menghiraukan perintah dari dewan murid."

Temari melepas jewerannya dari Naruto dan Sai. "Apa?!" Wanita itu kemudian menatap tajam teman-temannya. "BERANI-BERANINYA KALIAN MENGACUHKAN PERINTAH TUNANGANKU!"

"Hiiyyyy!" Para senior yang tadinya merasa lega saat Temari datang kini kembali melanjutkan pergerakan mereka untuk membereskan stand mereka. Seorang Temari sama saja dengan Naruto, Sai dan Gaara.

"Naruto dan Sai! Cepat bantu senior kalian!" perintah Temari pada keduanya yang menampilkan raut wajah ogah-ogahan namun akhirnya ikut membantu.

"Kakak, kenapa kau tidak menyuruhku untuk ikut membantu?" Gaara mendekati kakaknya dengan raut wajah bersalah yang menurut Naruto hanyalah acting belaka.

Temari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku menyuruh adikku untuk melakukan pekerjaan seperti ini. Aku tidak tega melakukannya."

"Tapi, Kak—"

"Sudahlah, Gaara. Aku akan ikut membantu mereka. Kau diam saja di situ." Setelah kepergian Temari, Naruto melihat dengan jelas senyuman penuh kemenangan terpatri di wajah Gaara. Raut menyesal pemuda itu hilang entah kemana.

'Dasar panda busuk!' batin Naruto mengomel.

Setelah beberapa saat, akhirnya keadaan koridor kembali seperti semula, membuat Sakura tersenyum puas. "Terima kasih banyak, Naruto, Sai, Temari-san, dan Gaara."

"Gaara tak melakukan apapun." Sebuah perempatan siku-siku muncul di jidat Sai. Sudah lama dia tidak merasa kesal seperti ini. "Mentang-mentang Sasuke tidak ada di sini, kau berbuat seenaknya. Lihat saja apa yang akan Sasuke lakukan padamu jika tahu bahwa kau tak membantu kami."

"Sudahlah, kalian berdua. Jangan menyimpan dendam pada adik kecilku." Temari menengahi, disambut tatapan menyipit dari Naruto dan Sai yang kompak berbatin 'Kaulah dalangnya!'

Ngomong-ngomong, soal Sasuke. Ah, Sakura lupa bahwa kekasihnya itu tengah sendirian di rumah sakit. Namun pemuda itu juga sama sekali tak menghubunginya sedari tadi. Sakura sekarang penasaran sebenarnya apa yang pemuda itu lakukan sekarang.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Tadi, dia demam tinggi."

"Ehh? Jadi? Sekarang bagaimana, Ayah?"

Haruno Kizashi tersenyum, "sekarang baik-baik saja. Aku sudah memberinya obat penurun demam. Demam adalah hal yang wajar saat seseorang mengalami kesakitan seperti ini."

Sakura menatap Sasuke dengan wajah khawatir.

"Ayah masih harus mengunjungi pasien lain. Tetap jaga kesehatanmu, Nak Sasuke."

Sasuke mengangguk dan berucap, "terima kasih, Paman."

Sepeninggal ayah Sakura, gadis itu langsung menghampiri Sasuke dan memegang kening pemuda itu. "Kau tak apa-apa? Apakah kau pusing?"

"Aku baik-baik saja." Sasuke meraih tangan Sakura. "Ayah dan ibumu merawatku dengan baik."

Jawaban Sasuke membuat Sakura bernapas lega. "Aku senang mendengarnya."

Emerald Sakura menangkap raut wajah Sasuke yang tengah memikirkan sesuatu. Gadis itu langsung bertanya, "ada apa?"

"Kau pernah berkata padaku, bahwa kau sering ke rumah sakit dan melihat perjuangan orang-orang untuk bertahan hidup dan sembuh. Sekarang aku merasakan bagaimana seorang dokter seperti ayahmu berusaha sebaik mungkin untuk menangani pasiennya." Sasuke menatap lurus pada wajah Sakura. "Aku kagum padanya."

Sakura terkikik geli. "Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu."

"Karena aku baru pertama kali dirawat di rumah sakit, mungkin?"

"Eh? Benarkah? Kau baru pertama kali masuk rumah sakit?" tanya Sakura dengan raut wajah terkejut.

Sasuke mengalihkan pandangannya dan berucap, "karena biasanya aku yang memasukkan orang ke rumah sakit."

"Huh. Dasar. Karena kau sudah masuk rumah sakit dan menyaksikan langsung keadaan di sini, maka sebaiknya kau hentikan hobi anehmu itu."

"Baiklah."

"Eh?"

Sakura tertegun saat mendapat respon yang terbilang cepat dari Sasuke. Ia berpikir bahwa kekasihnya itu tengah bercanda, namun pada onyx Sasuke sama sekali tak terpancar aura bercanda. "Tapi, jangan halangi aku jika ada orang yang menyakitimu, Naruto, Sai, Gaara dan Temari."

Dengan senyuman manis, Sakura mengangguk senang dan refleks memeluk Sasuke. "Terima kasih. Aku mencintaimu, Sasuke."

Sasuke mengangkat tangannya, balas memeluk Sakura dan tersenyum tipis. "Aku lebih mencintaimu."

Onyx Sasuke menatap lurus emerald Sakura sampai bibir kedua ketua tersebut menyatu dengan hembusan angin yang mengibar-ngibarkan gorden rumah sakit, menambah kesan romantis dari mereka berdua. Sampai—

"KETUAAA! KAMI DATANG LAGI!"

Sasuke dan Sakura sontak saling melepas diri saat Naruto, Sai, Gaara, Ino, Hinata dan Shion memasuki kamar rawat Sasuke dengan kantungan plastik besar yang menggantung di tangan mereka.

"Eh? Sakura-chan, kau di sini?" Naruto tampak berpura-pura terkejut saat melihat Sakura.

"Ah, Sakura. Kau di sini rupanya, kebetulan sekali," ucap Ino dengan nada datar.

"Kami membeli banyak snack untuk dimakan bersama." Hinata mengangkat kantungan yang ada di genggamannya dengan tersenyum senang.

Sedangkan Shion yang tengah berkacak pinggang mendecih, "a—aku diseret ke sini. Jadi bukannya aku sengaja bergabung dengan kalian, yah."

"Kau yang menyeretkan dirimu sendiri, Shion," timpal Gaara.

"Ahh ... sepertinya kita lupa mengundang Temari." Sai tersenyum palsu.

Ruangan Sasuke seketika menjadi ricuh.

"PESTAAA! PESTAAA! KITA BERPESTAAA!" Naruto berteriak girang.

"HEI ANAK MUDA! INI RUMAH SAKIT, BUKAN BAR!"

Teguran perawat dari luar membuat semuanya terdiam. Namun sedetik kemudian, mereka tertawa lepas bersama.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

The End

Apaaaannn

Ending apaan ini hahahaha #plak

Maapin diriku yang baru muncul ini, udah kurang lebih setahun yah? Akhirnya bisa namatin fic ini jugaaaa huhuu maap kalo endingnya gaje guuyysss #civokatuatu

Terima kasih bagi para pembaca yang mau nungguin fic ini, terima kasih bagi yang udah baca dari chapter 1 sampe akhir ataupun yang nyerah di tengah-tengah karena author-nya kelamaan update :')

Love uuuu guuysss

Aku selalu terharu kalo review fic ini nambah padahal update-annya lama bener huhuhu :'(

Aku benar-benar minta maaf. Maapin juga kalo endingnya kurang memuaskan. Ku bukan ikemen yang bisa memuaskan wanita dan bukan loli yang bisa memuaskan pria #wut

Terakhir, hontou ni arigatouu gozaimasu #ojigi

Salam,

HanRiver