New Secretary, New Life

.

.

.

Summary :

.

Pekerjaan menuntut seorang Draco Malfoy untuk tetap fokus. Memiliki seorang anak sudah menyita sebagian besar waktunya dan memilki pasangan sama sekali tak ada dalam agendanya. Selama 5 tahun belakangan ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya ini. Apakah Draco, pria yang takut berkomitmen dan takut pada pernikahan akan merubah pendiriannya setelah bertemu dengan ayah dari teman anaknya itu yang tak lain adalah sekretarisnya sendiri.

.

.

.

Harry Potter dan all cast bukan punya saya. Melainkan milik J. K. Rowling

.

.

.

A/N: Hi all, thanks ya udah mau baca atau nge-fave&nge-follow fic ini. Makasih banyak buat yang udah ninggalin jejak di kolom review bawah, sekali lagi makasih buat semua readers yang mau singgah. Maap ya kalo sy belum ngebalas review, soalnya lagi males buangeettt, happy reading to all my precious readers. Love ya all*Muachhmuachh# Cipok atu-atu hehehe byeeeeee.

Tq yang mau nunggu dengan extra sabarrrr lanjutan cerita ini. Sy bukan author yang tepat waktu update. See ya next chap and it'll be a super duper late an update, so be patient with me hehehe

Maap ya, chap ini agak panjang dan mungkin mengecewakan. Mungkin chap depan baru ada drarry romantis-romantisan lagi.

Chap 4:

.

.

.

.

Prev Chap:

.

.

.

.

Harry merasa kesal dengan kekeraskepalaan bos-nya ini. Namun ia bisa apa, ia menghela nafas panjang dan berkata "Tidurlah, aku akan tetap disini sampai anda bangun nanti." Entah kenapa kalimat ini bisa keluar begitu saja dari bibirnya, ia hanya merasa perlu menyampaikan ini pada Draco.

Draco menatap takjub Harry dari sisi sebelahnya. Pandangan penuh kasih sayang Harry membuatnya tertohok. Pandangan penuh perhatian ini tak pernah dirasakannya sebelumnya.

'Satu lagi hal yang menjadi kejutan untuknya dan ini tak lain karena Harry-sang sekretaris yang baru saja membuatnya menyadari sesuatu.'

'Tak tau seberapa dalam, namun Draco tau ia sudah jatuh dalam pesona orang ini'.

.

.

.

.

"Apa?" Tanyanya tak mengerti.

Draco yang baru saja keluar dari ruangannya tampak diam di tempatnya untuk sesaat sebelum ia mengangkat memperlihatkan kunci mobilnya pada Harry.

"Shit, kenapa aku bisa lupa. Ahh dan lagi kenapa aku sampai berbaik hati mau menawarkan diri mengantarkannya pulang segala. Hhh pasti aku sudah gila." Batinnya menggerutu kesal.

"Baiklah tunggu sebentar." Ucapnya malas.

"Ok, ku tunggu di bawah." Ujar Draco berjalan pergi, hanya beberapa langkah sebelum ia berhenti lagi "Aku tak suka menunggu, jadi cepatlah." Draco tersenyum menang sebelum benar-benar pergi dari sana.

Harry beralih menatap horor siluet Draco yang menghilang dari pandangannya "Apa dia tidak bisa belajar berkata sopan pada orang lain." Batinnya kesal.

.

.

Setelah mengumpulkan semua perlengkapan yang akan di bawanya pulang, Harry melenggang keluar dari ruangannya.

Tas jinjing yang penuh dengan berkas-berkas yang memang belum selesai di kerjakannya hari ini beserta beberapa barang pribadinya yang sudah di atur rapi dan jangan lupakan guratan wajah lelahnya menambah kesan betapa berat yang harus di laluinya hari ini.

Harry berjalan pelan disepanjang perjalanannya menuju lantai basement kantornya. Beberapa kali terlihat ia mengusap kasar wajahnya. Hari ini sungguh membuatnya lelah.

"Drrtt drttt."

Benda kecil di saku celananya terasa bergetar, tak butuh waktu lama sampai ia merogoh dan membaca dengan seksama tulisan yang tertera di screen handphone-nya. Hah hari ini sangat melelahkan dan ia baru ingat harus menambah lagi satu daftar kunjungannya nanti.

"Seperti orang bodoh saja" Pikirnya melihat bos-nya yang tengah bersandar di luar mobilnya. "Bukankah dia bisa masuk dan menunggu di dalam mobil saja."

Mendengar suara langkah yang mendekat kearahnya, sontak membuat Draco berbalik " Kenapa lama? Aku sampai berfikir untuk menyusulmu keatas." Sahutnya cepat.

Harry sama sekali menghiraukan 'kicauan' sinis Draco. Ia terus berjalan dan menghentikan langkahnya begitu ia berada tepat di samping pintu kemudi, mengulurkan sebelah tangannya mengisyaratkan pada Draco agar memberinya benda dengan gantungan kecil yang tampak berkilau meski dari kejauhan.

Draco memperhatikan maksud uluran tangan Harry kearahnya, begitu mengerti , Draco menggeleng tak terima. "Kemarilah ambil kuncinya di sini, karena aku tak mungkin melemparnya sembarang."

Mata Harry membola tak percaya. Demi tuhan, itu hanya sebuah kunci mobil. Benda yang tak akan merasakan sakitnya gaya gravitasi bumi jika ia tak berhasil menangkapnya nanti.

"Berikan sekarang agar aku bisa segera mengantar anda sir." Ucapnya mencoba sabar.

Kembali, gelengan kepala Draco membuat emosi Harry kian melambung naik. Pekerjaan yang menumpuk tertunda tentu saja membuatnya harus bekerja ekstra malam ini dan urusan kunci mobil ini sungguh membuatnya naik pitam.

Seolah membaca mimik wajah Harry yang berubah kesal, dengan cepat Draco berkata "Ini LV, maksudku gantungan kuncinya. Aku hanya tak ingin membuat produk limited edition ini mencium lantai parkir. Kau tentu paham maksudku kan!"

"Kenapa aku harus tau?" Sahut Harry cepat.

Dalam hatinya Harry mengutuk tingkah kekanakkan Draco. 'Dan lihatlah dia bahkan memberi nama untuk sebuah gantungan kunci mobil!' Batinnya tak percaya.

"Louis Vuitton yang di persembahkan untuk -Perusahaan Balet Moscow's Bolshoi-, hanya saja kali ini aku meminta mereka men-design dengan sedikit berbeda. Tak mungkin aku memakai gantungan kunci berbentuk sepatu balerina berwarna pink pilihan mereka. Yah bisa di bilang ini keuntungan mengenal beberapa orang dari kalangan atas bisa membuatmu meminta apa saja. Termasuk gantungan ini" Draco mengangkat bangga benda di tangannya dengan model dasi berwarna pure keemasan " Hanya ada satu di seluruh dunia." Tambahnya lagi.

Dan detik itu juga Harry kembali dapat menyimpulkan satu kata yang menggambarkan pribadi Draco .

"Angkuh."

Satu kata yang langsung terlintas di kepala Harry. C'mon, mana ada lelaki yang terlalu mementingkan barang ber-branded. Mendiang istri tercintanya yang nyatannya ber-gender wanita saja belum tentu mempunyai pengetahuan seluas Draco. Atau apa sebenarnya atasannya ini wanita yang menyamar menjadi pria?, bahkan mungkin trans gender? Bulu di sekujur badan Harry meremang naik memikirkan kesimpulannya ini.

"Hey, Harry." Panggil Draco merasa tak mendapat tanggapan pria di seberang mobilnya.

Begitu tersadar dari lamunannya, dengan wajah bergidik ngeri ia berjalan cepat kearah Draco.

"Berikan sekarang." Ucap Harry pelan. Jujur saja kepalanya berat mulai terasa sakit, mungkin karena ia harus 'rela' men-skip waktu makan siangnya tadi. Pantas saja sedari tadi bibirnya terasa kering. Tanpa sadar Harry membasahi bibirnya sedikit menggunakan ujung lidahnya.

Dengan seksama Draco mengawasi gerakan 'membasahi bibir Harry' yang entah kenapa terlihat sensual dimatanya. Kini matanya dengan sengaja meluncur turun ke gerakan pelan tenggorokkan Harry saat pria itu menelan ludah. Kerah baju dan setelan jas Harry tak mampu menutupi lehernya yang jenjang beserta adam apel-nya yang terlihat samar untuk seukuran pria sepertinya. Wajah pucat Harry yang seakan tak berwarna itu mampu membuat sesuatu dalam diri Draco berdenyut kencang, bahkan, nyaris membuatnya nyeri. Sontak membuatnya ingin mendekat, menggapai, bahkan menyentuh Harry, memeluknya.

Memeluknya!, apa sekarang dia sudah kehilangan akal sehatnya!.

Draco terkesiap, ia ingin memaki dirinya sendiri. Bukan ini yang diinginkannya, jelas bukan ini. Hal terakhir yang ingin di rasakannya adalah gairah sebagai pria pada umumnya dan dengan gampang tubuhnya menghianati kepercayaan yang bertahun-tahun dibentenginya kuat, semua berubah nampak jauh berbeda jika itu sudah menyangkut sekretarisnya ini.

Meski ragu, Draco tetap membiarkan kunci mobilnya berpindah ke tangan Harry.

.

.

'Wow'

Harry sungguh terkagum begitu ia menginjak rem tepat di depan sebuah pagar yang menjulang tinggi. Menunggu sebentar saat terlihat seorang penjaga memberi hormat dan menekan tombol untuk membuka pagar tinggi itu.

Begitu pintu terbuka, mobil sontak mengarah lurus mengitari pohon-pohon yang berjejer rapi di kanan dan kiri jalan sampai ia melihat bundaran kecil dengan pahatan indah di tengahnya. Dan saat itu ia bisa melihat dengan jelas model rumah atau mungkin kerajaan pikirnya.

'Apa ini bahkan masih bisa di katakan tempat tinggal!' Batinnya tak percaya.

"Seriously, kau melakukan ini lagi?" Draco terkekeh melihat raut wajah Harry yang terlihat sama saat di restoran kemarin.

"Hm, maaf apa?" Tanyanya balik tak mengerti.

"Wajah itu, aku ingat betul raut wajahmu yang satu ini. Kau kagum dengan mansion ini atau hanya terkesan lagi dengan interiornya! Ah atau kali ini kau bahkan ingin berjelajah dulu di dalam, bagaimana?" Tawar Draco.

Diam sejenak, sampai ia mengerti maksud sindiran bos-nya ini. "Yah benar aku kagum, apa ada yang salah jika aku terkesima dengan tempat tinggal orang kaya. Bagaimanapun juga ini kali pertama aku pergi ke perumahan mewah seperti ini." Balasnya tak terima.

"RALAT. Bukan perumahan mewah, tapi tempat seperti ini di sebut mansion." Sergah Draco cepat.

Harry terkesiap dengan kepercayaan diri Draco yang lebih menjurus kesombongan menurutnya.

"Yah yah mansion atau apalah itu." Serunya malas.

Meskipun seakan tak percaya tiap kata- kata pedas balasan yang keluar dari mulut sekretarisnya, Draco mencoba ramah. "Kau tak ingin masuk dulu?"

Harry terlihat berpikir sejenak dan buru-buru ia mengatakan "Mungkin lain kali. Aku sedang terburu-buru." Ucapnya menyesal. Sebenarnya ia merasa sayang jika harus melewatkan kesempatan masuk berjelajah di dalam istana di hadapannya kini. Ini seperti kesempatan seumur hidup. Kapan lagi ia di ajak tur keliling kerajaan besar, setidaknya itu yang terlintas di pikirannya.

"Huh baiklah, tapi setidaknya kau harus memastikanku selamat sampai di tujuan. Ini peganglah, antarkan aku masuk dulu baru setelahnya kau bisa pergi." Draco memberi jas beserta tas jinjing-nya pada Harry.

'Hah apa dia kira aku ini pembantunya!Lain kali aku harus lebih teliti memberi bantuan pada pria ini' Batinnya kesal lalu melangkah mengikuti Draco.

.

Mata Harry menjelajahi setiap sudut sisi ruangan pertama yang memanja penglihatannya. Mulai dari semua perabotan bahkan arsitektur tiap sudutnya seperti telah di rencanakan dengan matang. Lihatlah ada lampu yang tergantung menjuntai kebawah dengan indah dan berkilau, belum lagi lukisan dan beberapa setel sofa & lantai marmer yang terlihat sangat serasi dengan tema ruangan ini.

"Seperti di surga" Batinnya, tapi kali ini ia berusaha keras untuk membuat wajah sedatar mungkin untuk menghindari atasannya yang terlihat siap mengolok jika ia tak memperhatikan tingkahnya lagi.

"Ini kutaruh disini. Baiklah, apa kau sudah merasa aman sampai di tujuanmu sir?" Kesal harry setelah memberikan bawaan Draco pada seorang maid.

Draco menoleh sebentar untuk melihat kearah sekretarisnya "Tentu, tak ada tempat senyaman rumah." Ucapnya sambil terkekeh pelan. Merasa puas bisa mengerjai harry. Draco tak bisa menutupi wajah sumringahnya ketika Harry menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Setidaknya ada untungnya dengan tak mempekerjakan seorang supir pribadi, pikirnya.

'Senyaman istana.' Batin Harry menimpali.

"Kalau begitu aku permisi sekarang sir." Harry melangkah mendekat kearah Draco. "Ini kuncinya"

Draco menaikkan kedua alisnya tanda tak setuju. "Kau bisa pakai mobilnya dulu, bukankah kau sedang ada urusan?."

Harry menggeleng cepat "Tak usah, aku bisa panggil taxi dan lagi aku tak tega melihat benda itu harus bermalam dirumahku yang sederhana. Bagaimana jika ia menangis ingin kembali pada ayahnya di tengah malam buta." Tunjuk Harry mengejek tepat pada gantungan kunci yang kini di pegang Draco.

"Kalau begitu aku permisi dulu sir."

'Shit' Rutuk Draco dalam hati. Melihat wajah menang Harry sebelum pemuda itu berbalik pergi mampu membuat emosinya melambung naik.

.

.

Belum lagi 10 menit ia meninggalkan mansion besar Draco. Kini ia kembali berdiri tepat di depan pintu pagar milik bos-nya ini.

Kagum, jelas bukan satu kata itu yang mewakili perasaannya saat ini. Tak henti-hentinya ia memastikan tulisan yang tertera jelas di screen ponselnya dan bangunan yang megah di hadapannya secara bergantian.

"Ini memang tempatnya. Huh ada apa lagi ini." Heran Harry mencoba men-dial nomor telepon.

Telepon terus mendengarkan nada sabung yang berulang, namun tak sekalipun telepon itu di angkat oleh pemiliknya. Harry sedikit mengeluh kesal menatap nanar ponsel ditangannya.

"Jangan bilang aku harus masuk lagi ke dalam."

Beradu argumen selama beberapa menit dengan pikirannya sendiri bisa membuat kepalanya berat seperti sekarang ini. Ia sebenarnya malas jika harus kembali lagi kedalam sana, tapi kalau ia hanya berdiri mematung di depan mansion besar ini, dapat di pastikan ia bisa pingsan nanti.

Setelah memantapkan hati, Harry melangkah menekan bel berbentuk klasik yang berada di luar pagar.

.

.

"Siapa katamu?"

"Pria yang tadi mengantarkan anda pulang sir, ia sekarang ada diluar. Apa anda ingin kami membukakan pintunya?" Salah satu maid bertanya dengan sopan.

Draco yang baru saja selesai mengenakan pakaian kasual rumahnya sontak kaget mendengar penuturan maid-nya itu.

Tak mau membuang waktu lama memikirkan alasan sekretarisnya itu kembali ke mansion megahnya ini. "Tentu saja, cepat buka pintunya." Instruksinya cepat.

Setelah maid melangkah meninggalkan pintu kamarnya, Draco berjalan menuju pintu balkon, mengintip sedikit di balik gorden kamarnya memperhatikan dengan seksama setiap langkah Harry yang terkesan ragu-ragu masuk ke dalam.

Draco beranjak dari tempatnya, membawa kakinya melangkah cepat menuju lantai bawah di mana Harry akan menyerukan alasan ia kembali kemari. Draco tak mau menebak-nebak, karena itu adalah hal yang paling dibencinya.

Selang beberapa detik ia berdiri tepat didepan pintu masuk, seperti sedang menunggu kolega penting perusahaannya. Tapi tidak sekarang, ini tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. Ia tau itu, setidaknya ia tak lagi merasa waspada dengan kehadiran orang lain di dekatnya, melainkan tubuhnya bergejolak memberontak ingin segera menyambut kedatangan sekretarisnya ini.

Entah karena alasan apa, senyumnya terkembang ketika Harry tepat berada di depan matanya. Ia tak bisa mengelak lagi, sudah jelas kalau ia punya perasaan lebih pada pria dihadapaannya ini. Sekuat apapun ia berkilah berkata tidak, sekuat itupun pesona Harry menyerbu pikirannya mengambil tempat spesial di hatinya.

"Maaf sir, aku kembali lagi kemari." Ucap Harry sedikit malu. Bagaimanapun ia pria dengan etika yang tinggi. Tak mungkin ia tidak merasa malu dengan asumpsi Draco yang bisa menilai kedatangannya negatif. Bukankah ia sendiri yang pergi dan mengindahkan tawaran Draco padanya tadi.

"Tentu kau harus mengatakkan maaf, bukannya tadi kau menolak tawaran baik ku." Ucap Draco dingin.

"Itu, aku ingin.."

"Simpanlah dulu alasanmu itu, sekarang kita masuk dan melanjutkan pembicaraan di dalam, bagaimana?" Potong Draco.

Kali ini saja Draco bisa membuatnya menuruti tanpa balas menyalak balik perkataan tajam bos-nya ini. Sungguh ia benar-benar merasa lelah bercampur malu. Tanpa keraguan lagi, Harry menangguk setuju lalu berjalan mengikuti Draco ke dalam.

.

.

Setelah menerangkan alasannya datang kembali, Harry melihat Draco mengisyaratkan seorang pria mendekat kearah mereka.

"Scorpy dimana?" Tanya Draco.

Suara Draco yang terdengar tegas mampu membuat Harry sesaat terkesima dengan aura alami seorang pemimpin yang ada dalam diri Draco. Bos-nya di tempat bekerja sebelumnya pun tak mampu menyaingi kekuatan seorang pemimpin yang selalu mengekori Draco.

"Tuan Scorpius sedang berada di kamarnya." Jawabnya sopan.

"Apa Scorpy sedang ada tamu?"

"Ah maaf tuan saya hampir lupa. Dari tadi siang Tuan Scorpius berada di atas bersama temannya." Tambahnya.

Draco hanya mengangguk mengerti. "Baiklah, kau bisa pergi sekarang."

Draco berbalik kembali menatap Harry "Ya, kau benar. Mungkin anakmu sedang ada di kamar atas bersama anakku. Jadi...".

"Jadi" Tanya Harry bingung.

"Jadi, ini urusan pentingmu tadi? Kau sangat teledor untuk menjadi orang tua. Bagaimana mungkin kau melewatkan tawaranku begitu saja, disaat anakmu sedang menunggu ayahnya datang menjemput."

Kalimat Draco yang datang padanya membuat Harry geram. Bos-nya boleh mengoloknya atas sesuatu, tapi bosnya tidak perlu meragukan eksistensinya sebagai orang tua. Ia yang tau itu, ia yang tau bagaimana rasanya menjadi orang tua tunggal dan harus berperan sebagai ayah ataupun ibu dalam kondisi tertentu.

Sudah cukup di rasanya Draco yang terus-terusan mengguruinya sebagai pegawai yang tak kompeten. Tapi ia tak akan membiarkan orang ini masuk seenaknya dalam kehidupan pribadinya. Tidak untuk sekarang ataupun nanti.

"Anda tak perlu menghabiskan tenaga anda mengurusi urusan pribadiku, cukup katakan dimana letak kamar anak anda dan aku akan segera membawa James keluar dari sini." Ucap Harry marah.

"Bukan, maksudku bukan seperti itu." Sesal Draco begitu melihat Harry yang emosi. Suara Harry bergetar dengan dada yang naik turun khas orang marah membuat Draco menyesali ucapannya tadi.

"Iya, maksud anda seperti itu." Tantangnya marah.

"I-itu maksudku jika kau tak keras kepala dan membiarkan aku memberikan pinjaman mobil padamu, mungkin kau bisa tiba lebih cepat menjemput James anakmu itu."

'Tunggu, apa aku bilang James?' Batin Draco tak percaya.

"Aku tak perlu bantu..."

Belum sempat harry menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Draco menyela.

"James? Apa anakmu bernama James?" Draco berkata tak percaya. James adalah teman baru Scorpy anaknya. Ini jelas suatu pertanda baik atau buruk untuknya, ia belum bisa memastikan untuk sekarang. Namun satu hal yang baru saja di ketahuinya.

'James anak yang selalu di bicarakan Scorpy adalah anak dari Harry, sekretarisnya sendiri.'

"Iya, apa sekarang ada yang salah dengan nama anakku?" Tampak jelas Harry tersinggung dengan keseluruhan pembicaraan mereka.

"Sudah kubilang bukan seperti itu. Ah kenapa kau selalu berpikiran buruk dengan maksud baikku."

Harry tertawa meremehkan "Maksud baik?, jadi maksud baikmu seperti ini? Tak kusangka maksud baik orang kaya seperti ini, meremehkan dan memandang rendah orang-orang dari kalangan bawah mereka. Kalau maksud baik anda selalu seperti ini, aku tak dapat membayangkan maksud buruk anda seperti apa"

"Kenapa kau tak pernah mau mengerti setiap ucapanku? Apa semua ucapanku sangat buruk?"

Manik harry membola tak percaya dengan penuturan Draco. 'Apa selama ini bosnya tidak menyadari kata-kata sinis dan merendahkan yang selalu di tujukan padanya.'

"Anda benar, aku tak mengerti.. Sekarang anda bisa mengantarkan aku menemui James dan aku janji kami akan langsung pergi setelahnya.

Kini gantian dada Draco yang sesak mendengar ucapan Harry yang menyiratkan ia tak menyukai keberadaan Harry dan james di sini. "Berhenti berkata seperti itu, bukankah sudah kubilang aku sama sekali tak bermaksud buruk dengan ucapanku." Teriak Draco marah.

Harry menoleh kaget melihat Draco yang kini berdiri dengan wajah merah padam. Selama ini mereka hanya saling berdebat dan jujur ia takut, ini yang pertama kalinya Draco berteriak lantang padanya.

Seperti De Javu, kembali Harry melihat tubuh Draco jatuh tersungkur kelantai dengan Draco yang mencengkeram kuat dadanya.

Harry menggeleng takut. Tidak, ia mungkin membenci atasannya ini. Tapi ia tak menginginkan ini. Ia tak ingin merasakan rasa takut lagi melihat Draco jatuh tak berdaya dihadapannya.

Seorang pria di bantu beberapa orang maid tampak berlari kearah mereka. Tidak begitu lama sampai Draco dibopong ke kamarnya.

Kakinya melangkah pasti, Harry terus mengikuti sampai dimana Draco di dudukkan dan meminum beberapa pil yang disodorkan seorang pria untuknya.

Takut, atau rasa bersalah yang menghinggapi perasaan Harry saat ini. Ini yang kedua kalinya ia melihat sisi lemah Draco, dan entah kenapa ia jelas tak menyukai perasaan takut yang melingkupi hatinya.

15 atau mungkin sekitar 20 menit ia terdiam didepan pintu kamar Draco, tampak berfikir sampai tampak seorang pria berjalan mendekatinya.

"Maaf tuan?" Tanyanya dengan nada sopan.

Meskipun Harry agak tersentak kaget melihat kini dihadapannya berdiri pria yang di yakini bekerja di mansion bos-nya ini, ia tetap berusaha membalas sopan "Harry, Harry James Potter. Aku sekretaris tuan Draco Malfoy." Tuturnya dengan sedikit senyum.

"Silahkan masuk, Tuan Draco menunggu anda di dalam." Katanya sopan.

"11 – 12 – 13." Sangat pelan, tanpa sadar ia menghitung setiap langkahnya dan berhenti tepat di saat hitungan ke-16. Dan ia bersumpah kalau beban kakinya tiap melangkah bertambah berkali-kali lipat.

"A-aku." Suara Harry terdengar gugup.

Draco berusaha menoleh pada Harry dan yang pertama dilihatnya adalah wajah cemas sekretarisnya. Raut cemas Harry membuatnya yakin jika pria ini benar-benar perduli padanya. Dan anehnya, gelagat sekretarisnya ini mampu membuatnya menarik senyum halus di wajahnya.

"Kemarilah dan temani aku sebentar." Suara bos-nya terdengar pelan, namun Harry masih mendengar nada memerintah di dalam sana dan ini membuatnya sedikit tersinggung.

Harry mencoba tenang tanpa harus memperburuk keadaan. Berfikir sebentar, begitu mengerti ia mengambil duduk di kursi kecil tepat disebelah tempat tidur Draco.

Terlihat beberapa maid yang tadi berada di ruangan itu berjalan meninggalkan kamar ini.

"Tetaplah disini sampai aku tertidur, pastikan sampai aku benar-benar tertidur lalu kau bisa pergi setelahnya." Ucapnya parau.

Harry bisa apa lagi selain mengangguk mengerti "B-baiklah sir, aku akan keluar setelah anda tertidur." Tanggap Harry ragu-ragu. Ini aneh, sikap dan hubungan antar partner kerja mereka mau di lihat dari segi manapun terbilang aneh.

Untuk beberapa saat yang di lakukannya hanya diam dan memperhatikan dengan intens paras layu Draco, hingga ia benar-benar yakin bahwa bos-nya sudah tertidur lelap.

Remuk, seluruh badannya terasa remuk. Ini adalah satu hari yang sangat melelahkan meregangkan tubuhnya dan memberi senyum ketika tampak seorang pria berjalan menghampirinya.

Pria itu balas tersenyum dan mengulurkan tangannya mempersilahkan Harry berjalan mengikutinya. "Baiklah tuan Harry, silahkan ikuti saya sebentar."

Harry tentu menuruti ucapan pria itu. Ia berdiri dan mengikuti pria itu dengan langkah pelan sampai ia di persilahkan duduk di kursi depan meja counter yang lebih terlihat seperti mini bar dengan berbagai macam botol minuman yang terpampang di sana.

"Silahkan duduk, anda ingin minum apa?" terlihat pria tadi sibuk mengeluarkan gelas beserta shaker ke atas meja.

Harry tersenyum canggung melihat jejeran botol yang tersusun rapi dan instingnya tidak salah lagi. Pasti pria ini sedang menawarinya salah satu minuman berkadar alkohol tinggi disana.

"Thanks, aku tak keberatan dengan segelas air mineral saja. Aku masih punya pekerjaan yang harus di selesaikan setelah ini." Ucapnya tak enak.

"Tentu, pilihan yang baik tuan Harry. Air selalu punya cara untu membuatmu merasa lebih baik." Ujarnya tersenyum.

"Thanks...?" Suara Harry terdengar bertanya.

"Sirius Black, kau bisa memanggilku Sirius saja." Ucapnya mengerti.

"Thanks Sirius." Kali ini Harry tersenyum lebar "Kau juga bisa memanggilku dengan Harry saja."

"Tentu Harry. Ini dia minumannya." Sirius menaruh segelas air dingin untuk Harry.

Sirius juga menuangkan segelas air untuk dirinya dan bersiap meneguk minumannya.

"Aku tak mengerti ada apa dengan kalian berdua, tapi dari kesimpulanku sendiri tuan Draco tak berniat merendahkan anda dengan semua ucapannya. Malah dari yang kulihat tadi, Tuan Draco sangat perduli dengan penilaianmu padanya."

'Perduli padaku!' Batin Harry tak percaya.

"Anda mungkin salah, ini tak seperti itu. Kurasa ia terlalu membenciku untuk perduli padaku." Balas Harry.

Sirius tersenyum tulus "Tuan Tak mungkin tau bagaimana berbicara dengan sopan jika ia hanya terus bergelayut dengan tumpukan kertas-kertas yang tak pernah ada habisnya itu."

Harry tersenyum sambil mengangguk mengerti.

"Apa tuan Draco baik-baik saja?" Wajahnya kini berganti cemas.

Sirius mengangguk mengiyakan."Ia akan baik-baik saja setelah meminum obatnya."

Sirius menghembus kasar nafasnya "Congenital heart disease, ia sudah lahir dengan jantung yang lemah. Kelainan formasi dari jantungnya membuatnya harus rela membatasi pergaulan sejak kecil. Ini juga mungkin alasan mengapa nyonya dan tuan Malfoy senior membatasi setiap pergerakkan tuan Draco.

Harry hanya bisa memperhatikan dengan seksama raut wajah Sirius yang berubah sendu.

.

.

"Aku baru saja mengecek anak-anak. Mereka tertidur, mungkin kelelahan. Aku akan mengatur menu makan malam, lalu kita bisa membangunkan mereka jika makanannya sudah siap nanti, bagaimana?" Tawar Sirius.

Harry pun tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Dia bisa bilang apalagi selain bersikap sopan, Sirius orang yang menyenangkan dan ia bisa berbicara apa saja pada pria ini tanpa merasa tertekan. Tipikal seorang paman yang sempurna, menurutnya.

"Anda bisa menunggu di ruang kerja tuan Draco, kurasa ia tak akan keberatan jika anda memakai kantornya sementara." Sirius melihat Harry membuka tas jinjingnya dan mulai mengeluarkan setumpuk file di atas meja bar.

"Kau benar, aku sedikit tak nyaman dengan posisi kursi ini." Ucap harry malu dan ia mulai memasukan kembali peralatannya ke dalam tas.

Sirius terkekeh dan mempersilahkan Harry mengikutinya.

.

Harry mengangguk membenarkan, semua imajinasinya positif benar. Sama seperti ruangan lainnnya. Ruang kantor pribadi Draco tak kalah mewah dengan yang ada di perusahaan tempatnya bekerja.

Harry tidak mau meneliti lebih jauh. Ia Terlalu lelah, inilah satu-satunya alasannya menolak mengagumi ruang kerja Draco.

"Aku akan bekerja di sana saja." Tunjuk Harry ke arah kanan ruangan, tepatnya pada satu setel sofa maroon di pojok ruangan.

"Baiklah, mmm kopi atau teh mungkin?" Tawar Sirius.

Harry tersenyum dan menggeleng "Tak perlu, sungguh. Sedikit konsentrasi dan semua akan selesai lebih cepat, thanks."

"Hahaha tentu, baiklah. Aku akan segera meninggalkanmu disini dan memastikan konsentrasimu tak akan pecah dengan alasan apapun." Balasnya bercanda dan berbalik meninggalkan Harry.

.

.

"Maaf Harry, makan malamnya sudah siap. Anak-anak dan tuan Draco sudah menunggu di bawah." Ucapnya sopan.

Harry mengangguk mengerti. Ia melepas kacamatanya, mengurut pelan kedua matanya dengan punggung tangannya "Baklah, aku harus mengumpulkan ini dulu dan akan segera bergabung ke bawah."

"Baiklah, perlu bantuan?" Tanya Sirius.

"Thanks, aku baik-baik saja." Tolaknya sopan.

"Baiklah, aku akan mengatakan pada yang lainnya untuk menunggu anda sebentar lagi." Sirius pamit setelahnya.

Sepeninggal Sirius, Harry berbalik memperhatikan belakang punggung Sirius mencoba mengingat perkataan Sirius tadi. "Apa tadi dia berkata Draco?. " Bisiknya bingung.

Tak mau terlalu lama bergelayut dengan pikirannya sendiri. Harry mengedikkan bahunya cuek dan lanjut berbenah.

.

"Daddy.." Teriak James riang turun dari kursinya dan langsung menerjang tubuh daddy-nya.

Senyum Harry terkembang sempurna dan berhenti sebelum James lari menghambur ke dalam pelukannya. "Sudah bangun?" Tanyanya sambil mengelus sayang surai anaknya.

"Tentu saja. Tadi aku menunggu daddy sampai tertidur di kamar Scorpius. Daddy kenapa lama?"

"Oh mnn i-itu karena tadi daddy punya beberapa hal yang harus diselesaikan dulu."

"Terus kenapa daddy..."

Belum sempat James menyeruakkan segala pertanyaannya, deheman Draco menginterupsi pembicaraan mereka.

Harry bebrbalik, seolah mengerti akan maksud Draco ia menuntun James dengan tangannya dan langsung membimbing dirinya dan James ke tempat duduk disana.

"Kita akan membicarakannya nanti." Bisik Harry pelan pada anaknya dan James hanya bisa mengangguk pelan.

"Kurasa kita bisa mulai makan sekarang. Anak-anak pasti sudah lapar." Ucap Draco tegas.

Harry menatap Draco dengan seksama. Kaos berkerah kasual untuk pakaian rumah berwarna coklat muda, tak begitu kontras dengan wajahnya yang terlihat pucat.

Dan seketika itu juga ia merasa bersalah.

Dirinya ikut andil membuat keadaan atasannya berubah seperti ini. Kalau saja dia bisa lebih menahan diri untuk tidak mudah terpancing amarahnya dengan semua kata kasar bos-nya, mungkin saja atasannya akan terlihat angkuh dan baik-baik saja seperti biasanya.

Suasana di meja makan agak ramai dengan ocehan Scorpy dan James yang terus saja bercerita tentang kegiatan mereka hari ini. Sesekali Draco terkekeh dan ikut dalam pembicaraan mereka.

Lain halnya dengan Harry, ia satu-satunya penghuni meja makan yang hanya menjadi pendengar disana. Entahlah, mungkin ia takut. Bagaimana jika dia berbicara dan berakhir dengan beradu argumen 'lagi'. Mungkin kata orang 'Diam Adalah Emas' adalah salah satu kalimat yang mewakili perasaannya saat ini.

"Dad, bagaimana dad?" Tanya James antusias.

Harry yang tengah asik bergumul dengan pikirannya, jelas tak mengerti dengan maksud pertanyaan anaknya.

"Hmm?" Tanyanya tak mengerti.

"Iya dad, tentang bermalam disini malam ini. Bagaimana?"

Harry mencoba mencerna maksud anaknya dan langsung berubah panik saat mengerti apa arti 'bermalam disini' maksud James.

Sontak Harry mengalihkan pandangannya pada Draco yang duduk diseberang mejanya. Dan anehnya kali ini bos-nya langsung manyapa penglihatannya juga.

Wajah Draco biasa saja, tak menolak ataupun menyetujui permintaan anaknya yang terdengar 'gila' menurutnya. Saat itu juga ia merasa terpojok. Tatapan seluruh penghuni meja makan tertuju padanya.

James dengan wajah yang berbinar dan mendamba. Sedangkan dua orang lainnya yang merupakan pemilik rumah, tampak santai. Tak menunjukkan ketertarikan ataupun penolakan atas usul James.

Perasaan seperti seorang terdakwa di tengah-tengah sesi sidang, kian membuatnya gugup. Arah pandang Harry tak henti-hentnya berubah mengamati satu-persatu orang yang juga tengah menatap balik kearahnya. Sontak, ini membuat suasana bertambah canggung baginya.

"selamat malam semua."

Dan satu suara asing mampu membuatnya bernafas lega.

"Ah sedang ada apa di sini! Kalian mengadakan acara makan malam tanpa mengundangku. Ah, aku akan merasa tersinggung Dray!" Ucapnya dengan nada suara yang di buat-buat.

Draco menatap malas arah seorang pria tinggi yang terlihat rapi bahkan setelah ia hanya menggunakan pakaian kasual yang membungkus rapi tubuh tegapnya. Pria itu tak segan-segan, menarik kursi kosong tepat di sebelah Harry dan mendudukinya dengan santai.

"Wow, kau pakai shampoo apa Harry? Harumnya sampai menutupi aroma hidangan ini." Kalimat pilihan Blaise yang ternyata mampu membuat seorang di seberang sana menegaskan rahangnya, kesal.

Harry tersenyum kaku sambil menatap Blaise dengan pandangan bertanya 'Apa-Maksudmu!'

"Hahaha kau benar-benar mengagumkan Harry." Tak tau kalimat Blaise memuji atau mencela. Jujur Harry merasa memilih opsi kedua, yaitu mencela. Alasannya, gampang saja. Itu karena dia merasa hari ini begitu melelahkan, tubuhnya serasa penuh peluh dan parahnya ia tak punya waktu walaupun hanya untuk mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat.

Namun lain lagi bagi pria diseberang sana. Jika satu kalimat pujian lagi berani dilontarkan Blaise, bisa di pastikan ini kali terakhir pria mesum itu menginjak kediamannya ini.

"Pastikan ada hal yang penting sampai kau kemari, atau kau bisa keluar sekarang Blaise." Ucap Draco tegas.

"Rupanya memang benar, kau sedang tidak sehat ternyata." Ucap Blaise memberi gesture pura-pura mengerti.

"Katakan sekarang atau ku pastikan para penjaga yang akan mengantarkanmu keluar, dan itu tak akan berakhir dengan baik." Tambah Draco cepat.

"Whoa easy easy boy. Kau kira aku datang kesini karena siapa! Salahkan saja kedua orang tuamu yang memintaku melihat keadaan anaknya dan kalau memungkinkan mereka juga memintaku menjagamu disini." Balas Blaise mendramatisir.

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja dan akan lebih baik tanpamu di sini. Jadi kusarankan kau lanjutkan kembali acaramu apapun itu aku tak perduli." Sergah Draco cepat.

"Kau ini, bukannya berterima kasih karena teman datang menjenguk, malah mengusir." Ucap Blaise berpura-pura tersinggung.

Sementara Harry dan James menadi pendengar setia perdebatan dua orang dewasa ini. Lain halnya dengan Scorpy, ia tengah asik melanjutkan aksi makannya, malah terlihat tak begitu perduli dengan pertengkaran disana.

"Kenapa Cuma aku yang di suruh pergi. Bagaimana dengan Harry? Bukankah dia juga harus kau suruh pergi. Atau kita bisa pulang bersama, bagaimana?" Tawar Blaise pada Harry.

Alis Draco terangkat mendengar kata-kata Blaise ini. Draco menghela nafas dan menghembuskan nafasnya kasar. Kedatangan Blaise sungguh menguji kesabarannya.

"Tidak, Harry tidak akan kemana-mana, Pergilah Blaise atau kupastikan kau tidak akan di perkenankan lagi masuk di night club'mu itu." Ancam Draco.

Blaise menatap horor Draco yang terlihat seperti siap menelannya hidup-hidup. "Aku kan Cuma menawarkan diri mengantar sekretarismu ini pulang, ini sudah malam dan lagi lokasi rumahmu ini ada di perbukitan. Bagaimana bisa aku membiarkan pria manis sepertinya tersesat atau bahkan..."

Belum sempat Blaise menambahkan kata-kata manisnya, tiba-tiba Draco berdehem keras "Panggil penjaga, sekarang." Titahnya pada Sirius.

Blaise merasa ada yang salah di sini. Ia melayangkan pandangan curiga secara bergantian pada keduanya sebelum mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Tunggu tunggu, baiklah. Huh ada yang salah denganmu Tuan Draco yang terhormat. Baiklah aku pamit sekarang. See ya.." Ucapnya sebelum berjalan pergi.

"Tapi kau memang terlihat lebih mempesona tanpa kaca mata itu Harry." Goda Blaise sebelum ia berlari menjauhi Draco yang ternyata sudah berdiri tegak dengan aura yang menakutkan.

Harry menganga menyimak ucapan aneh Blaise. 'Pria Manis, Mempesona, Mengagumkan dan parahnya wangi shampoo' Apa si Blaise itu memang sudah gila. Dilihat dari manapun ia termasuk lelaki tangguh yang tak memiliki kriteria tadi.

Ini sungguh menggelikan dan mampu membuat sekujur bulu di tubuhnya meremang naik. SO SCREEPY. Rupanya si Blaise Zabbini lebih gila dari perkiraannya sendiri.

"Siapkan kamar dan pakaian, lalu antar tuan Harry beristirahat ke kamarnya." Adalah kalimat aneh lain yang di dengar Harry setelahnya.

.

.

.

TBC

.

.

.