Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Salam kenal untuk warga fandom KnBI. Saya mohon kerjasamanya, pendatang baru di fandom ini. *sungkem dalam-dalam*
Ketika saya membuat fic ini, murni di saat hiatus berkepanjangan dan kemampuan menulis sedang tumpul-tumpulnya. Tapi, nurani (sisi fangirling tepatnya) menjerit minta ide ini disalurkan, meski … saya masih sangat awam dengan fandom KnB! *dogeza* sungguh, maafkan saya. /padahal menjejaki satu fandom tanpa tahu medan amat melanggar prinsip pribadi saya/ (_._)a
So, I will survive~ Dozo, Minna-sama!
.
Disclaimer : Kuroko no Basket belongs to Fujimaki Tadatoshi. I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.
Warning : Alternate Reality, OOCness, OC, absurdity, alur lambat, light shounen-ai, sisipan bahasa asing, etc.
.
Warning berjaga-jaga maka saya masukkan light shounen-ai, meski sebenarnya masih sangat friendship hanya buddy-buddy complex. ;)
Tidak suka? Mohon jangan memaksakan diri untuk membaca. Terima kasih. ;)
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
"Tetsu-kun!"
Langkahnya terhenti karena panggilan dari seberang jalan. Dia menoleh, menemukan gadis itu tersenyum ceria seraya melambai penuh semangat padanya.
"Ayo kita main basket lagi suatu saat nanti!" seru gadis bersurai merah muda tersebut, "lain kali, bersama semuanya!"
Tersenyum tipis, ia mengangguk. "Iya."
Kisah-kisah masa lalu menggelinding layaknya bola basket, dari sejak dulu ketika ia hanya bermimpi, hingga sekarang mahir memainkan bola oranye itu.
Cerita di waktu lampau hingga dewasa ini mengilas balik—memantul-mantul laksana bola basket.
Dan peristiwa terkini diakhiri oleh aksinya yang meraih bola basket lalu melemparkannya pada destinasi, bermuara menembus keranjang dan jatuh diraih lagi seperti quick-rebound oleh tangannya.
Kemudian suara peluit panjang, gegap-gempita euforia, dan sosok-sosok samar berhamburan … hangat memeluknya.
"Woof … WOOF!"
Oh, itu suara anjing.
Tirai kelopak terangkat, mengerjap dalam gelap, manik biru berpendar. Hening ruangan disisipi deru napasnya yang terengah-engah. Ia mendudukkan diri, meraih anjing kecil yang melompat ke pangkuannya lalu mendeking—seakan mengkhawatirkan kondisinya.
"Sshh … aku hanya bermimpi—" Tangan yang ahli mengendalikan bola basket itu kini menepuk-nepuk pelan kepala anjing berwarna hitam putih itu, hendak menenangkan, "—mimpi yang amat panjang, Nigou."
"ARf!"
Senyum tipis terbit di wajahnya tatkala si anjing mendaratkan jilatan basah pada pipinya. Bermimpi tentang mereka dan relasi yang bahkan terbersit dalam imaji, agak miris ia menertawakan realita dan mimpinya yang bagai ironi.
Di akhir, mimpi bisa saja terealisasi. Mungkin terwujud ironi ini, entah kapan namun pasti.
.
#~**~#
A Kuroko no Basket fanfiction,
.
Kiseki no Nakama
.
Chapter 1
"The Important Things"
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
"Papa, sarapan sudah siap!" Gadis yang merupakan pelatih tim basket SMA Seirin itu selesai menata kudapan, terkejut melihat ayahnya sudah duduk manis di meja makan. "Sejak kapan Papa duduk di sana?!"
"Ah, sungguh pagi yang indah~ disiapkan sarapan oleh putriku yang imuuut! Oh, Riko, sungguh Papamumu ini amat tersan—"
"Oke-oke, sarapan sekarang!" potong Riko tegas seraya menarik kursi untuk duduk.
"Itadakimasu~" ucap sepasang ayah dan putri keluarga Aida itu di sela suara televisi yang menayangkan salah satu channel internasional olahraga terkemuka.
Riko yang sebelumnya fokus pada sarapannya sambil sibuk googling di ponsel, fangirling tentang para olahragawan macho bertubuh seksi dan membuatnya terkikik senang. Ah, sungguh lihatlah tubuh-tubuh indah mereka—
"Riko, apa hari ini kau akan pulang cepat?"
Pertanyaan sang ayah mengusik sesi menyenangkannya. Tanpa menoleh ia menjawab, "Tidak. Aku akan mendiskusikan menu latihan dengan tim basket Seirin. Semester ini aku dan teman-teman seangkatan sudah kelas tiga, sudah harus non-aktif kegiatan grup. Karena itu aku harus memastikan junior-junior kami tidak bermalas-malasan dan tetap berlatih."
"Baru juga dua minggu masuk. Kenapa terburu-buru begitu?" Kepala keluarga Aida itu menilik dua buah surat yang berada di dekatnya.
"Haaah~" Riko meletakkan handphone-nya dengan tangan kiri. "Sesuai jadwal, sebenarnya. Klubku sudah dapat anggota-anggota baru kelas satu, cukup banyak. Harus diseleksi mana yang benar-benar berniat bergabung atau hanya ingin cari popularitas. Lalu filtrasi, mencari yang kira-kira bisa masuk tim regular atau paling tidak bench. Target tim basket Seirin semester ini, tentu menang Inter-High!" ujarnya ambisius sembari mengacungkan sendok menggunakan tangan kanan.
Gadis yang kini berambut coklat sebahu itu menyadari perubahan ekspresi ayahnya. Alisnya terangkat sebelah, kerutan samar muncul di dahi yang dikeruti usia itu. "Inter-high?"
"Tentu saja! Ini karena tahun lalu kami tidak menang. Tahun ini harus balas dendam. Fufufufu~" Pelatih sekaligus manager tim basket Seirin itu tertawa ambisius.
Pria paruh baya tersebut menyadari sesuatu. Matanya lantas melirik dua buah surat yang ia letakkan dekat tas kerjanya. Diam-diam pandangannya berubah datar Begitu saja rasa simpati muncul tanpa disadari putrinya yang tenggah memekik entah karena apa.
"Generation of miracles—"
Perkataan itu mengalihkan perhatian keduanya. Sepuluh orang sosok pemuda pemain basket ditampilkan di layar televisi. Riko memekik kagum tatkala melihat pemuda-pemuda yang dijuluki generation of miracles tersebut, tampan dengan tubuh proporsional yang layak dilabeli kata sempurna. Matanya berbinar-binar terpaku pada televisi, terpukau dengan pemain-pemain basket yang terpecah jadi dua tim itu bertanding satu sama lain dengan imbang dan luar biasa.
"—they will beat every opponent over with their waves of miraculous. They will become number 1 in the world soon!"
Pembaca berita di televisi channel internasional itu mengulas luas tentang sepuluh pemain tersebut lengkap dengan profil dan histori, serta prestasi karir mereka selama bermain basket. Menilik hanya dari tubuh-tubuh para pemuda itu, angka-angka imajiner dari kemampuan mereka menjadi data solid yang mencengangkan. Ia menarik konklusi bahwa kesimpulan dari data yang ia dapatkan sungguh mengintimidasi, terlebih dengan tugas yang dibebankan kepadanya.
Belum apa-apa Kagetora sudah merasa hidupnya agak rumit.
Kagetora tidak lagi memedulikan bahwa putri tersayangnya sibuk fangirling begitu bahagia, tak menghiraukan sang ayah yang cenderung protektif—posesif diperhalus—dan roman wajahnya berubah serius. Ia berpikir keras—terpengaruh oleh superioritas Generation of Miracles—sembari menandaskan sarapannya. Setelah selesai, pria yang dulu merupakan mantan pemain basket tim nasional Jepang tersebut menyesap sisa kopinya. Diliriknya Riko yang sibuk bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
"Riko-chan, bagaimana kalau diantar—"
"Tidak usah~"
"Tapi, nanti kalau di jalan terjadi sesua—"
"Oh, Papa! Tidak bisakah sehari saja kau tidak paranoid?"
"Aku kan hanya mengkhawatir—"
"—oke, oke. Aku bisa terlambat kalau berdebat terus—" Usai memakai sepatu, Riko berdiri dan mengecup ringan pipi sang ayah. "—tenang saja, aku akan hati-hati di jalan, Papa."
Kagetora tampak luluh. Senyum melebar, matanya berbinar-binar bahagia. Akhirnya dengan sukacita ia melepas keberangkatan putrinya ke sekolah. Barulah dia teringat dua amplop itu, lantas dititipkannya pada Riko.
"Apa ini, Papa?" Riko membolak-balik dua amplop yang diberikan kepadanya. Sebuah tulisan tanpa identitas pengirim, hanya ada pada penerima yang dituju. Gadis berambut coklat sebahu itu terkejut ketika melihat tulisan di pojok kanan atas pada setiap amplop.
"Berikan saja pada mereka," jawab Kagetora tenang. Ia tidak lagi memasang ekspresi oh-aku-ayah-bahagia-sedunia. "Katakan pada mereka untuk mengikuti apa yang tertulis di surat itu."
"Papa, apa maksud—"
"Berangkatlah, Riko! Kau bisa kesiangan jika tidak berangkat sekarang." Kagetora menepuk kepala putrinya yang cemberut, kekeraskepalaannya terlihat dengan gelagat hendak melancarkan protes andai sang ayah tidak berkata tegas, "dan segera berikan pada mereka. Jangan intip isinya!"
Riko mencibir. Ia menghentakkan langkah-langkah panjang, berlari-lari kecil seraya menyerukan, "Ittekimasuuu!" jelas sekali hendak lekas sampai sekolah, jadi ia bisa tahu apa isi surat yang dititipkan padanya.
Tepat setelah itu, ponselnya bordering. Kagetora yang memutuskan untuk menonton channel olahraga internasional lagi, kini menerima panggilan masuk. Suara khas seseorang menyapanya, melaporkan hal yang ingin ia dengar. Hal berikutnya yang ia dengar membuat dahinya berkerut dalam.
"Baguslah, Shiro-chan. Soal syarat yang dia ajukan, aku akan coba bernegosiasi dengannya."
.
#~**~#
.
Putri tunggal keluarga Aida itu gila karena penasaran yang menghantuinya. Ia baru saja akan merobek amplop untuk mencari tahu isi surat yang dititipkan sang ayah padanya, ketika telepon genggamnya berdering menandakan menerima pesan masuk.
Ia membaca pesannya, semakin jengkel karena ayahnya yang mengirim pesan bertuliskan, 'Jangan coba-coba membuka suratnya. Nanti juga kau akan tahu sendiri isinya setelah mereka membaca surat.'
"Aku bisa gilaaaa!" desis Riko kesal. Ia menjejalkan surat-surat itu kembali pada tas sekolah. Menggerutu dan merutuki betapa bus dengan kecepatan 80km/jam berjalan selayaknya siput, keong, ulat, atau makhluk apa pun yang bergerak terlampau lambat.
Dalam bus ia bertanya-tanya motif sang ayah menitipkan surat pada mereka. Mengapa pada mereka? Ada urusan apa sang ayah dengan kedua orang tersebut? Mengingat ekspresi serius sang ayah, Riko mengerti bahwa apa pun itu, ini adalah hal yang serius.
Ah, memikirkannya membuat Riko kian dihimpit rasa penasaran.
Seturunnya dari bus, dengan kecepatan luar biasa yang Riko tak pernah tahu ia punya, ia berlari sepanjang jalan menuju sekolahnya. Entah sudah berapa orang yang ia sodok dan tabrak, pelatih tim basket Seirin itu menggumamkan maaf teriring senyum yang dipaksakan. Langkahnya berpacu dengan waktu, gadis tersebut tak berpikir panjang untuk berlari sepanjang jalan menuju ke gym. Entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa mereka pasti ada di gym, berlatih basket atau pemanasan, atau mungkin piket membersihkan gym.
BRAAAK!
Pemuda-pemuda yang semula sedang berkonversasi ringan sembari latih-tanding basket itu menoleh, awalnya hendak menyapa ceria siapa pun orang yang baru masuk dengan membanting pintu semena-mena. Mereka langsung syok ketakutan menemukan sang pelatih, pelaku yang membanting pintu besar gym, tersengal-sengal tak karuan selaras dengan wajahnya yang campur-aduk antara semangat yang membara disisip kesal.
"O-ohayou, Kantoku!" seru mereka serentak dengan tubuh ditegapkan. Permainan terhenti seketika.
Riko berusaha mengatur napasnya. Ia melangkah masuk ke dalam gym, lalu menghempaskan tubuhnya pada bangku panjang sembari menggeser tas-tas para pemuda didikannya dalam basket itu.
Anggota-anggota tim basket Seirin tersebut perlahan menghapiri pelatih mereka. Saling berpandangan dan menyikut satu sama lain. Hyuga yang saling lirik dengan Kiyoshi selama sekian detik akhirnya menghembuskan napas panjang. Sang kapten paham makna yang tersirat dari lirikan tersebut, jadi ia meraih sebuah botol air mineral belum diminum miliknya, menawarkannya tanpa suara pada gadis yang kini sedang menyeka keringatnya. Riko meraih botol tersebut, lalu menenggak banyak-banyak air yang terdapat di dalamnya. Baru dia menghembuskan napas panjang.
"Ada apa, Riko?" tanya Kiyoshi tenang. Suaranya mengisi keheningan aneh yang menelusup ke gym di antara hawa ketegangan para pemuda lainnya.
Riko tidak lekas menjawab. Dia memberikan kembali botol pada Hyuga sebelum beralih rusuh mengobrak-abrik tasnya untuk mengeluarkan dua buah amplop. Ia melesakkan dua buah amplop tersebut kepada mereka yang berhak menerimanya. "Cepat buka ini … SEKARANG!" serunya dengan eksitasi berlebihan dan suara terlampau kencang, menyebabkan para pemuda di hadapannya berjengit.
"Surat apa ini, Kantoku?" tanya Kagami seraya meraih amplop yang disodorkan padanya.
"Ja-ja-jangan-jangan … itu surat pemecatan Kagami dan Kuroko dari tim!" cetus Tsuchida dengan asumsi asalnya.
"HEEE?! Kenapa?! Aku kan tidak berbuat kesalahan apa pun!" protes Kagami keras.
"Atau skorsing … karena kemarin kau mematahkan ring basket kita, Kagami!" kata Fukuda mengingatkan.
"Hei, itu kan karena ring basketnya sudah karatan!"
"Bohong," Kuroko ikut menimpali dengan ekspresi datarnya, "ring basket tentu saja masih baru. Itu karena Kagami-kun melakukan dunk terlalu keras."
"Ta-tapi, kan, ring basketnya langsung diganti dengan yang baru!" Kagami semakin syok sebelum teringat, "Kau juga dapat surat yang sama, Kuroko."
"Woof!"
"Diam kau, Nigou!"
"Oh, lihat! Kalian membuat Mitobe khawatir, Kagami, Kuroko." Koganei menunjuk Mitobe yang airmukanya tampak bingung dan khawatir.
"Atau mungkin itu detensi. Bukan skorsing apalagi dikeluarkan," kata Kiyoshi mencoba menengahi, "lagipula bagaimana bisa duo combo Seirin dikeluarkan dari tim basket Seirin? Mereka berdua kan scorer tim kita."
"Scorer … scoring! Skorsing scoring!" Tiba-tiba Izuki membuka buku catatannya, lalu mencatat dengan serius. "Aku harus mencatat ini."
Hyuga memijat pelipisnya. Bingung dengan kerusuhan yang hanya diakibatkan oleh satu cetusan saja. Sudah tugasnya sebagai kapten untuk menenangkan tim. Baru saja ia hendak menegur mereka yang rusuh berkonversasi dimulai dengan mengomeli Izuki dan kata-kata randomnya, tapi ia keburu didahului oleh sentakan Riko.
"DIAM!" Riko berdiri seraya berkacak pingggang. "Jika benar isi suratnya seperti itu, tentu aku tidak akan membiarkannya terjadi, tahu!"
Kuroko kembali mengobservasi suratnya—tanpa identitas pengirim sama sekali—melontarkan tanya. "Siapa yang mengirimkan surat ini, Kantoku?"
"Papaku."
"HEEEE?! KENAPA?!" serempak kompak mereka berseru terkejut.
"Oh, sekarang aku benar-benar khawatir," ucap Hyuga seraya membenarkan letak kacamatanya.
"Entahlah. Dia bilang aku tidak boleh intip isinya! Makanya aku buru-buru ke sekolah karena penasaran." Riko mengedikkan bahu. Mata coklatnya dibinari sarat penasaran dan keingintahuan. "Cepat baca sekarang!"
Ketika Kagami dan Kuroko membuka amplop, mengeluarkan surat lantas membacanya, dikelilingi teman-teman mereka yang turut ingin tahu isi surat tersebut—notabene dikirim oleh ayahnya pelatih. Ada tiga kertas dengan ukuran berbeda yang terdapat di dalam amplop.
"Surat dispensasi?" Kagami memiringkan kepalanya tidak mengerti.
"Hoo! Lihat itu! Tanda tangan langsung kepala sekolah dan wakilnya!" Furihata yang berada di samping Kagami menujuk bagian bawah kertas di lembar pertama surat, plus stempel berlambang Seirin.
"Diberikan dispensasi untuk mengikuti rapat penting di Tokyo National Gym?" gumam Kawahara yang berdiri di antara Kagami dan Kuroko.
Gerombolan pemuda itu bergumam terkejut. Kuroko membuka lembar kedua. Isinya yaitu alamat Tokyo National Gym dari sekolah menengah atas Seirin. Di lembar ketiga adalah pesan singkat yang ditutup dengan tanda tangan serta tertanda Aida Kagetora.
Pesan singkat dari Aida Kagetora: "Diharapkan kehadiran siswa yang diberikan dispensasi untuk menuju Tokyo National Gym dan mengikuti rapat tepat sesuai waktu yang ditentukan."
Tertera pula keterangan waktu tentang rapat yang akan diselenggarakan. Hari ini, pukul sebelas siang. Sementara pada jam itu mereka tentu harusnya tengah melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas masing-masing. Oh, pantas saja diberikan surat dispensasi.
"Rapat apa?" tanya Koganei heran, menyuarakan satu pertanyaan yang terlintas di benak semua yang berada dalam gym.
"Sini coba aku lihat!" pinta Riko. Kagami menyerahkan suratnya pada Riko yang lantas membacanya dengan seksama. Tak seberapa lama kerutan samar muncul di bahunya karena bingung dan tidak mengerti, sama seperti yang lainnya. "Tokyo National Gym … itu tempat Papaku bekerja."
"Hmmm … Tokyo National Gym … gimnastik yang sangat terkenal di ibukota itu, 'kan?" ujar Kiyoshi.
"Kau tahu sesuatu, Kiyoshi?" Hyuga menatap partner bermain basketnya yang sebelah alisnya terangkat, tampak berusaha mengingat sesuatu.
Mereka kini menatap pemain tim basket Seirin nomor tujuh tersebut. Berharap banyak apa pun yang dikatakan Kiyoshi tidaklah konyol—
"Temanku … dia atlet basket nasional Jepang. Dia suka bercerita bahwa tim nasional Jepang sektor olahraga bermarkas di sana. Bisa dibilang, di sana pusatnya olahraga di Jepang," tutur Kiyoshi, tentunya bukanlah mengemukakan hal non-sense atau konyol.
Semua terlarut dalam hening dan pikiran masing-masing. Berusaha mencerna informasi mengejutkan dan masih sangat membingungkan yang mereka dapatkan.
Sampai sebuah ketukan teriring sapaan "Ohayou," yang lembut bergema di gym. Semua lekas menoleh pada sumber suara. Seorang gadis berambut hitam panjang lurus dengan poni rata di atas alis, membawa sebuah surat, berdiri di pintu masuk.
Junior tim basket Seirin yang sekarang kelas dua tidak sempat terpesona dengan penampakan gadis manis (ya, selain pelatih mereka) bermata oniks itu. Sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi. Namun satu hal yang mereka sadari, senior mereka yang berada di kelas tiga terpana seolah melihat bidadari masuk ke gym.
"Ohayou, Shizuka-chan. Masuklah!" Riko melambaikan tangannya pada gadis tersebut. Dia melirik tajam remaja-remaja lelaki yang pada sekon berikut segera berkasak-kusuk heboh. Kemudian berganti dengan senyuman ceria ketika Shizuka menghampirinya dengan ragu-ragu—tidak terbiasa dengan pemandangan para pemuda yang bercucuran keringat padahal hari masih pagi dan sekolah bahkan belum dimulai.
"Ah, dia manis sekaliiiii~" puji Furihata terpesona.
"Imut," sahut serentak Fukuda dan Kawahara.
"Syuuut!" desis Koganei. "Dia itu primadona di angkatan kami."
"Tidak hanya cantik," Tsuchida menaruh telunjuknya tepat di pelipis, "prestasi akademinya bagus dan pintar!"
Mitobe mengangguk membenarkan terlebih ketika Izuki ikut menimpali, "Dia juga baik hati. Tipikal tuan putri. Sayang, dia pemalu dan kikuk."
"Oposisi dari Kantoku," celetuk Hyuga pelan tanpa dosa hingga hanya teman-teman dan adik-adik kelasnya yang bisa mendengar. Celetukan tersebut merespon tawa kecil yang susah-payah ditahan oleh mereka semua.
"Ohayou, Kiyoshi-kun," sapa Shizuka dengan wajah tersipu malu pada pemain yang berposisi sebagai center di tim basket Seirin.
Sunyi.
Riko tersenyum modus mengerling temannya yang saling bertegur sapa.
Kiyoshi nyengir, santai. "Ohayou, Shizuka. Kelas sudah mulai?"
"Be-belum. Bel masuk belum be-berbunyi, 'kan?"
"Oh, benar juga. Ahahaha~" Pemuda dengan tinggi sepantaran Kagami itu tertawa seraya menepuk-nepuk asal kepalanya sendiri.
"Dan, sialnya, sepertinya dia naksir Kiyoshi," kata Hyuga lagi dengan suara sengaja dipelankan.
Sunyi lagi sebelum desis "Heeee?! Bagaimana bisa?!" dari junior kelas dua menggema pelan teriring raut syok.
"Mereka, kan, sekelas saat kelas sebelas. Tahun ini juga mereka sekelas lagi—juga dengan Mitobe," Koganei menambahkan dengan lirikan mata menerjemahkan ekspresi si pemuda yang tak pernah diketahui suaranya.
"Kapten, tidak usah kecewa begitu. Kan, masih ada kantoku?"
Maksud hati, Furihata murni ingin menghibur. Tapi hal itu berefek sebaliknya karena sodokan maut ujung-ujung jari si clutch shooter menusuk pinggangnya, Furihata mengaduh kesakitan penuh duka didendangi kekeh geli yang lainnya.
"Beauty and the Iron Heart Man. Tidak buruk." Kuroko yang mencetuskan hal tersebut melirik ke sekelilingnya, menatapinya dengan pandangan tidak percaya. Sebelum mendesah membenarkan.
Hampir sebagian besar dari anggota tim basket Seirin mengumpat pada Kiyoshi dalam hati, merutuki keberuntungannya. Kasihannya, sepertinya Kiyoshi tidak peka karena ia tampak biasa-biasa saja menghadapi Shizuka.
Sementara itu, Riko yang bersimpati sekaligus gemas karena temannya itu terlalu salah tingkah di hadapan Kiyoshi menyelamatkannya dengan melempar tanya, "Ada apa, Shizuka-chan?"
Shizuka menghela napas lega. Ia menyerahkan sebuah surat pada Riko. "Seto-Kaichou menyerahkan ini padaku. Dia bilang ini dari kepala sekolah yang menitipkan pesan bahwa ini dari Papamu."
"Dari Papa?" Gadis yang kini berambut coklat sebahu menerima surat yang diulurkan padanya. Belum habis kebingungannya dengan surat yang dititipkan sang ayah untuk kedua adik kelasnya, dikejutkan lagi dia dengan surat lainnya.
Tidak membuang waktu, Riko bergegas membuka surat yang diberikan padanya. Hanya selembar surat disertai stempel khas sekolah Seirin serta daftar nama-nama yang sangat dihafalnya di luar kepala. "SURAT DISPENSASI UNTUK SATU TIM KE TOKYO NATIONAL GYM?!" pekiknya histeris.
Seruannya sukses membuahkan seruan lain, "HEEE?!"
"Tunggu, tunggu sebentar! Aku selesaikan membaca dulu—" Riko membalikkan badan ketika orang-orang yang dilatihnya merangsek maju untuk memastikan kebenaran yang diserukannya. Setelah selesai menatap Shizuka dengan mata berbinar-binar. "Shizuka-chan! Di luar ada bus?"
"Eto … bus sekolah?" Shizuka memiringkan kepala, tadi saat ia melintasi lapangan dari gedung sekolah ke gym ia memang sempat melihat bus sekolah parkir di sana.
"Iya!"
"Ah, ada. Parkir di lapangan upacara. Ada apakah, Riko-chan?" tanya Shizuka khawatir.
Riko menghirup napas dalam-dalam, berusaha menahan eksitasi meletup-letup yang instan menggemuruhi hatinya. "Aku boleh minta tolong, Shizuka-chan? Tolong fotocopy kertas ini, dan berikan kepada kelas-kelas yang tertulis di daftar ini," katanya seraya menunjukkan daftar kelas di sisi deretan nama-nama yang tertera di kertas.
Shizuka membaca sekilas surat dispensasi yang diperlihatkan padanya. Terkejut. "Apa kalian ada pertandingan? Belum musimnya, kan?"
"Pertandingan?" Pemuda-pemuda di hadapan mereka semakin bingung dan tidak mengerti situasi yang tengah terjadi.
"Belum. Masih satu bulan lagi. Aku tidak tahu—tapi yang jelas ini penting. Ukh, Papaku benar-benar … aaarrrghhh!" Riko sangat gemas dengan hal misterius yang dilakukan papanya. Ia menangkupkan kedua tangan di depan wajah, memasang wajah amat memelas. "Kumohon tolong kami, ya!"
Shizuka tercenung sejenak, sebelum mengangguk ringan. "Tentu saja. Apa kalian akan berangkat sekarang?"
Riko balas mengangguk. "Ya! Terima kasih atas pertolonganmu, Shizuka-chan. Kami harus bergegas!"
"Hei, Kantoku, sebenarnya ada apa? Apa maksudmu dengan kita dapat surat dispensasi?" tanya Hyuga tak sabar.
"Satu tim dapat surat dispensasi ke Tokyo National Gym … seperti Kuroko dan Kagami juga?" Kiyoshi ikut memastikan.
"Benar-benar dispensasi?!" kompak Koganei dan Tsuchida.
"Aku juga tidak tahu. Pokoknya, kita harus segera berangkat ke Tokyo National Gym diantar bus sekolah karena sudah diberi dispensasi langsung oleh kepala sekolah. Aku yakin ada hubungannya dengan Kuroko-kun dan Kagami-kun, dan Papaku yang mengatur semua ini," ujar gadis yang diberondong pertanyaan. Dia tersenyum, mengepalkan tangannya dan mengacungkan ke udara penuh semangat. "Ayo kita berangkaaat!"
Jeda sejenak.
"YEAH! BATAL IKUT PRAKTIKUM BIOLOGI MEMBELAH KATAK!"
Teriakan ceria trio Fukuda, Furihata, dan Kawahara, menjadi awal sorakan semangat yang lainnya juga. Koganei dan Tsuchida ber-highfive karena mereka lolos tes individual mata pelajaran membosankan yaitu sastra Jepang klasik. Izuki mengemukakan dia lega karena harus terbebas dari jadwal piket. Hyuga mensyukuri untung saja hari ini di kelasnya tidak ada ujian apa pun. Kiyoshi bilang dirinya dan Mitobe terbebas dari guru killer bahasa Inggris berkepala botak nan galak. Kuroko menyayangkan dirinya tidak ikut pelajaran Home Economic, memasak. Kagami menanyakan apa yang akan Kuroko masak—karena dengan tema bebas ia sebenarnya sudah memutuskan untuk memasak pasta, jawaban rekan setimnya itu inosen: telur rebus.
"Telur rebus juga semua orang bisa memasaknya," komentar Kagami—sweatdrop. Ekspresinya berubah serius. "Menurutmu, ada apa, Kuroko?"
"Entahlah. Tapi, mengingat bahwa ayahnya Kantoku adalah sport trainer ternama, kemudian kita diundang untuk mengikuti rapat di Tokyo National Gym, serta dispensasi langsung dari kepala sekolah … rapat apa pun itu, kurasa benar-benar penting." Kuroko menarik konklusi.
Sepasang mata biru bertatapan dengan mata merah, keduanya sunyi di antara keramaian.
Sepakat tanpa kata.
'Dan pasti tentang basket—karena itulah ini benar-benar penting.'
.
To be continue
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Chapter satu~ ah, alur yang klise ini pasti mudah ketebak, ya? *senyum miris*#galilubangkubur
Tapitapi, saya enjoy menulis fic ini. *sobs*
Cieee ahay! Generation of Miracles udah disebut. Apa yang akan terjadi berikutnya? Nantikan chapter selanjutnya! Sampai jumpa. *wink*
. Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan